Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketika Masyarakat Jawa Mendikte Lidah Orang Belanda

10 Februari 2022   08:00 Diperbarui: 15 Mei 2022   19:51 2427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi suasana perniagaan di sebuah pasar | milieart.com

Rijstaffel adalah budaya kuliner yang lahir di masa kolonial. Namun, embrio kebudayaan kuliner ini sejatinya sudah ada sejak era Kerajaan Mataram. 

Dalam sejarahnya Indonesia mungkin dikenal sebagai bangsa yang besar dan kaya akan sumber daya alam, namun kurang memiliki budaya kuliner yang kuat. Tidak seperti halnya Perancis, Italia, Spanyol, Tiongkok, India, Jepang, atau Thailand yang memang terkenal dengan budaya kuliner dan gastronominya, Indonesia tampaknya masih perlu untuk kembali dan terus mencari beberapa potongan yang hilang mengenai kebudayaan kuliner dan gastronominya itu.

Hal ini mengingatkan penulis, bahwa negara-negara yang sudah disebutkan tadi memang telah merasakan dampak nyata dari bagaimana keseriusan mereka dalam mengkapitalisasi kekayaan kulinernya dan menerapkannya menjadi modal pembentukan citra dan ekonomi negara. 

Tentu sebagai bangsa yang besar, Indonesia sangat memerlukan pendekatan seperti ini, mengingat negara kita memiliki keanekaragaman hayati yang pastinya berdampak pada ragamnya kuliner.

Meski Indonesia mungkin tidak memiliki kebudayaan kuliner yang terekam jelas dan diketahui oleh semua orang, namun penulis menemukan ada satu hubungan sejarah kuliner yang menarik antara jamuan makan di keraton Yogyakarta dengan tata cara hidang (table manners) ala Belanda, di mana keduanya mengalami akulturasi budaya dan melahirkan suatu bentuk kebudayaan kuliner baru nan bergengsi di kalangan Belanda di sekitaran abad ke-19 sampai abad ke-20.

Dalam artikel kali ini, penulis akan mengajak pembaca untuk melihat hubungan sejarah antara jamuan makan di keraton Yogyakarta dengan tata cara hidang (table manners) gaya Belanda yang melahirkan budaya makan rijsttafel, yang sangat diagung-agungkan dan diklaim sebagai 'milik' Belanda. Dalam sejarahnya, jamuan makan di keraton Yogyakarta masih mengadopsi gaya jamuan makan yang dahulunya berlaku di seluruh kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Jawa.

Menurut Kirana (2021), rekam jejak sejarah itu dapat ditemukan dalam relung-relung dan pahatan relief di Candi Borobudur, di mana terdapat suatu cerita dan catatan penting mengenai kemashyuran jamuan makan dan minum kerajaan Hindu-Buddha diperiode sekitar abad kedelapan sampai sembilan masehi. Catatan tersebut meggambarkan jamuan makan raja sebagai satu hal yang harus dilaksanakan dengan meriah dan adiluhung.

Hal ini terlihat dari adanya sejumlah penggambaran mengenai aneka ragam menu yang tersaji secara menggunung dan digelar bersama dengan para pembesar, sembari duduk bersila bersebelah-sebelahan dan mengudap beragam menu makanan tersebut dengan tangan. Catatan pada relief tersebut di satu sisi semakin membuktikan bahwa kerajaan pada saat itu (Mataram Kuno) sudah memiliki perhatian yang cukup besar dalam melihat kuliner sebagai bagian dari kekuatan politik.

Seiring dengan runtuhnya kekuatan politik kerajaan Hindu-Buddha dan semakin kuatnya influensi Islam di tanah Jawa, perlahan tapi pasti tentu ada begitu banyak kerajaan-kerajaan baru di Jawa yang muncul dan akhirnya membentuk suatu pola kebudayaan baru di dalam habitusnya. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, budaya jamuan makan dari masa lalu (Hindu-Buddha) pada faktanya tetap bertahan dan bahkan terus lestari hingga di masa kerajaan selanjutnya.

Salah satu bukti sejarah ini dapat ditemukan dari sebuah catatan perjalanan (Itinerario) Rijklofs van Goens, duta VOC yang pada waktu itu melakukan perjalanan ke Keraton Mataram Plered yang saat itu kedudukannya berada di bawah perintah Sunan Amangkurat I (1645-1677) (Kirana, 2021). Dalam catatannya, keraton Mataram saat itu menjamu Goens dengan berbagai menu makanan nan melimpah yang seluruhnya ditempatkan di atas daun-daun pisang.

Menurut Onghokham dalam Rahman (2016: 41), berbagai menu lauk-pauk yang dihadirkan saat jamuan tersebut sudah menggunakan metode memasak yang terbilang cukup beragam untuk di abad itu. Catatan tersebut menjelaskan bahwa berbagai jenis masakan dari daging, ayam, ikan, sayur yang disajikan diolah dengan berbagai teknik yang beragam, mulai dari dikukus, digoreng, dan dibakar. Budaya makan saat itu pun masih terbilang cukup sederhana.

Bale Raos, salah satu restoran milik Keraton Yogyakarta yang menyediakan makanan khas Keraton | Kompas.com
Bale Raos, salah satu restoran milik Keraton Yogyakarta yang menyediakan makanan khas Keraton | Kompas.com

Namun, dalam konteks ini keraton Mataram (yang diteruskan oleh keraton Yogyakarta) sudah memiliki embrio tata cara hidang (table manners) yang secara khusus diperuntukan untuk menjamu tamu-tamu macanegara. Penggunaan piring dan mangkuk dalam jamuan makan sudah mulai diterapkan di keraton Mataram Plered, namun belum dalam tataran yang mencakup secara keseluruhan orang yang ada di dalam proses jamuan makan tersebut.

Kebiasaan makan menggunakan tangan, duduk bersila bersebelah-sebelahan, dan makan beralasakan daun pisang adalah suatu pemandangan yang umum untuk di abad-abad tersebut (Reid dalam Kirana, 2021). Dalam temuan sejarahnya, Onghokham dalam Rahman (2016: 42) juga menilai jika kebudayaan rijsttafel yang lahir di abad-abad berikutnya memiliki kesamaan bentuk dan habitus jamuan makan yang berlaku di keraton Mataram saat itu.

Hal itu ditemukan dari adanya penyajian makanan yang begitu melimpah dalam satu waktu dan juga adanya penggunaan tenaga pelayan (abdi dalem) yang begitu banyak. Kedua hal ini menurutnya adalah wujud manifestasi dari pengiriman upeti berupa bahan makanan pada keluarga raja, di mana para bupati pada saat itu hingga sekarang wajib menyerahkan hasil bumi dan makanan khasnya untuk dihidangkan di atas meja raja.

Kewajiban menyerahkan upeti berupa hasil bumi dan makanan khas dari para bupati ini, khususnya di masa-masa sekarang dilakukan kurang lebih sebanyak dua kali dalam setahun, yakni pada acara Grebeg Mulud dan Grebeg Syawal (Carey dalam Palupi, 2021). Penyerahan hasil bumi dan makanan inilah yang kemudian menyebabkan menu makanan raja menjadi melimpah, di mana kondisi ini dalam Babad Ngayogyakarta dikenal sebagai dhahar kembul dan dhahar warni-warni.

Dhahar kembul dapat dipahami sebagai suatu proses makan bersama dengan jumlah orang yang banyak, sedangkan dhahar warni-warni mengacu pada beragamnya menu makanan yang disajikan melimpah ruah di atas meja makan. Beberapa abad kemudian, tradisi dhahar kembul dan dhahar warni-warni terus bertahan. Namun, khususnya pada abad ke-19 masehi tata cara penyajian yang digunakan pun sudah mengacu pada etiket jamuan Eropa.

Dalam konteks inilah rijsttafel kemudian lahir sebagai bagian dari kebudayaan kuliner Indonesia yang kemudian diklaim sebagai kebudayaan kuliner milik Belanda, karena meski menyajikan masakan pribumi (Indonesia), namun etiket jamuan makan Eropa lah yang tetap berlaku. Sehingga dalam perjalanannya Belanda merasa berhak untuk mengklaim rijsttafel sebagai bagian dari kebudayaan kulinernya, lengkap dengan dikotomi antara penjajah dengan terjajah.

Dalam sejarahnya, rijstaffel adalah suatu kebudayaan kuliner yang lahir atas konsekuensi dari asimilasi budaya (pernikahan) antara pria Belanda yang hidup membujang dengan perempuan pribumi di tanah Jawa (Nieuwenhyus dalam Rahman, 2016). Asimilasi budaya ini kemudian melahirkan suatu bentuk kebudayaan baru yang diberi nama sebagai kebudayan Indis (Indo). Di sini lah kemudian terbentuk akulturasi kuliner yang melahirkan rijsttafel.

Rijstaffel pada hakikatnya adalah sebuah kebudayaan kuliner yang baru lahir sekitar tahun 1870-an. Kebudayaan kuliner ini sejatinya lahir dari gaya hidup mewah tuan tanah perkebunan di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur (Onghokham dalam Rahman, 2016). Menurut Ido dalam Wijanarko (2021), rijsttafel memiliki arti sebagai 'suatu sajian makan nasi yang dihidangkan secara spesial.' Definisi ini selaras dengan kehidupan perniagaan di Pulau Jawa saat itu.

Menurut Boxer dalam Rahman (2016), aktivitas niaga di Pulau Jawa sepanjang abad ke-17 sampai 18 masehi banyak didominasi oleh perdagangan rempah-rempah dan beras. Awalnya, dua komoditas primadona ini hanyalah sekadar barang niaga saja. Memasuki abad ke-19, rempah-rempah dan beras perlahan menjadi dua komoditas penting yang akhirnya semakin banyak digunakan di seluruh rumah tangga masyarakat Belanda.

Ilustrasi suasana perniagaan di sebuah pasar | milieart.com
Ilustrasi suasana perniagaan di sebuah pasar | milieart.com

Maraknya konsumsi rempah dan beras di abad ke-19, pada dasarnya disebabkan karena dibukanya terusan Suez ditahun 1869. Di bukanya terusan itu secara tidak langsung membawa beberapa dampak, seperti terciptanya reunifikasi antara pria-pria Belanda yang hidup membujang dengan istrinya, semakin maraknya kebudayaan rijsttafel, dan semakin maraknya arus keluar masuk populasi masyarakat Eropa dari dan ke Hindia (Onghokham dalam Rahman, 2016).

Dengan adanya peristiwa ini, praktis rijsttafel pun ikut menjadi suatu hal yang populer bagi kalangan orang-orang Belanda yang sedang melancong ke Hindia. Hal itu dapat dibuktikan dari diterbitkan buku panduan yang berjudul Gids voor Reizigers (panduan bagi yang akan melakukan perjalanan). Menurut Nieuwenhuys dalam Rahman (2016: 39), buku panduan tersebut diterbitkan di tahun 1878 dan menjadi salah satu sumber informasi penting.

Buku ini secara sekilas berusaha membahas tata cara penyesuain diri bagi para pendatang yang akan ke Hindia Belanda. Dengan di bukanya terusan Suez, munculnya promosi pariwisata yang semakin giat di Eropa untuk ke Hindia Belanda, dan munculnya kembali 'gaya hidup Barat', perlahan rijsttafel pada akhirnya semakin menjadi suatu hal yang sangat ekskulisf dan bertransformasi menjadi sarana penunjukkan status.

Di satu sisi, rijsttafel yang tadinya merupakan ruang antarbudaya yang tak terlalu berjarak karena adanya perkawinan campuran, akhirnya berubah menjadi suatu gaya hidup eksklusif yang kental dengan nuansa tata cara hidang kolonial yang kolot dan kaku (Termorshuizen dalam Rahman, 2016). Tata cara hidang kolonial yang lekat dengan penggunaan pisau, sendok, garpu, dan piring menurut Lombard dalam Rahman (2016) tidak cocok dengan hidangan pribumi.

Adanya usaha pembaratan terhadap hidangan yang dipresentasikan di dalam rijsttafel sejatinya adalah suatu cara untuk menciptakan dikotomi antara penjajah dengan si terjajah dan membuat rijsttafel semakin memiliki prestise tertentu yang mana hal tersebut tidak bisa diambil oleh orang-orang pribumi. Namun, menurut Graaf dalam Rahman (2016), tindakan tersebut adalah suatu hal yang konyol, di mana pribumi ditempatkan sebagai 'unsur tambahan saja' dalam rijsttafel. 

Padahal dalam kenyataannya rijsttafel itu sangat menekankan hidangan kuliner masyarakat pribumi yang jauh lebih dominan ketimbang hidangan kuliner Belanda dalam penyajiannya. Menurut Lombard dalam Rahman (2016), penolakan bahwa rijsttafel adalah miliki pribumi tentu saja muncul, karena dalam tata cara penyajiannya etiket Eropa yang justru lebih kedepankan ketimbang makanan yang disajikan di atas meja dan disantap.

Di satu sisi, menurut Soekiman dalam Rahman (2016), Belanda berusaha mengkapitalisasi sajian makanan yang ada di dalam rijsttafel sebagai miliknya. Hal ini dikarenakan dua hal. Yang pertama Belanda dikenala sebagai negara di Eropa yang kurang memiliki budaya kuliner yang adiluhung seperti Perancis atau Italia. Kedua, hidangan pribumi yang akan rempah membuat makanan tersebut memiliki cita rasa yang eksotis sehingga membuat sangat bernilai.

Pada akhirnya, entah milik Belanda atau pribumi, toh pada kenyataan rijsttafel tetaplah sebuah makan yang bisa dinikmati oleh siapapun tanpa harus memandang suku bangsa tertentu. Urusan adanya penambahan tata cara dalam menyatap pun juga tidak terlalu berpengaruh, karena pada hakikatnya makanan lah yang sejatinya menjadi daya tawar politik bukan pada tata caranya yang terkesan kaku dan mendikotomi suatu bangsa.

Dalam sejarahnya, kita melihat bahwa Belanda sejatinya adalah negara yang jauh lebih misikin budaya kulinernya, sampai-sampai mereka ketakutan jika dianggap mengambil kekayaan intelektual Indonesia yang tersaji dalam jamuan makan yang mempesona. Pada akhirnya, kita bisa menyimpulkan bahwa eksotisme rasa dan hidangan rijsttafel muncul dari adanya kebiasan jamuan keraton di zaman dahulu yang menjelam dalam bentuk lain.

Maka dari itu, sudah selayaknya jika kita mempertahankan dan menjaga warisan budaya ini, agar eksistensinya semakin diakui dan semakin mendapatkan perhatian dari seluruh kalangan. Kita bisa mengklaim balik bahwa rijsttafel adalah milik kita, sebab dari situ lah lahir dan tumbuh embrio kekayaan intelektual bangsa kita dalam rupa kuliner yang sayangnya kita tidak perhatikan. Maka dari itu, ada yang ingin ikut menjaga warisan kuliner yang satu ini? Mari bercerita.

Daftar Pustaka:

Rahman, F. 2016. Rijsttafel: Budaya Kuliner Di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

Wijanarko, F. 2021. Bojakrama: Jamuan Kenegaraan Keraton Yogyakarta. Yogyakarta. Pohon Cahaya.

Palupi, A. 2021. Dari Tanah Olahan Hingga Meja Hidangan: Menu-Menu Sajian Dalam Kenegaraam Keraton Yogyakarta. Yogyakarta. Pohon Cahaya. 

Kirana, A. 2021. Di Atas Meja Makan Jamuan Kenegaraan Keraton Yogyakarta. Yogyakarta. Pohon Cahaya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun