Ada mentalitas kolonial yang tersirat, di balik fenomena foto bareng bule dan doyan makan makanan cepat saji
"Kenapa orang Indonesia suka banget foto bareng turis asing, alias bule?" Pertanyaan tadi mungkin terdengar cukup menggelitik bagi sebagian kalangan. Ya, fenomena "foto bareng bule" mungkin merupakan fenomena yang sangat lumrah di mata kita. Tidak sulit untuk menemukan fenomena seperti ini. Anda hanya perlu berkunjung ke satu tempat wisata terkenal di dekat tempat tinggal anda dan di sana, pasti anda akan dengan mudah menemukan fenomena tersebut.
Uniknya, fenomena seperti ini ternyata tidak hanya terjadi di negara kita saja. Fenomena "foto bareng bule" toh nyatanya juga dapat ditemukan di negara lain, khususnya di negara-negara Asia. Sebutlah seperti di India ataupun Tiongkok misalnya, fenomena "foto bareng bule" nyatanya juga kebanyakan terjadi di banyak destinasi wisata terkenal, seperti di Tembok Besar Cina, di Taj Mahal, ataupun di tempat wisata lain yang biasanya menjadi destinasi wajib bagi turis asing.
Tidak hanya persoalan "foto bareng bule" saja, kasus kecintaan dan kekaguman kita terhadap nilai kebarat-baratan (kebulean), nyatanya juga dapat kita temukan dengan mudah di berbagai ranah kehidupan lain. Dalam segi kuliner misalnya, saat kita makan disebuah restoran cepat saji yang baru saja di buka, beberapa orang mungkin akan cenderung merasa bangga dan memiliki gengsi jika mereka pernah makan di sana atau mungkin pernah menjadi bagian dari suatu tren kuliner.
Pada pembukaan restoran Taco Bell dan KFC Naughty by Nature di bilangan Jakarta Selatan pada beberapa waktu yang lalu misalnya, kita bisa membayangkan seberapa besarnya riak antusiasme yang muncul, khususnya dari anak-anak muda yang ingin menjadi bagian dari tren kuliner tersebut, yang kemudian pengalamannya bisa mereka pamerkan lewat akun media sosial masing-masing, karena telah berhasil menjadi bagian dari tren yang sedang hype (populer).
Meskipun dua fenomena di atas terkesan lumrah, namun ternyata fenomena tersebut justru mengisyaratkan adanya mental bekas penjajah yang terus diwarisi. Lalu, bagaimana hal itu dapat terjadi? Untuk bisa menjawabnya, kita perlu meminjam sudut pandang kajian poskolonialisme. Poskolonialisme adalah seperangkat teori dalam bidang filsafat, film, sastra dan bidang lainnya, yang bertugas mengkaji legalitas budaya mengenai peran kolonial di masa lalu (Nurhadi, 2007).
Dalam studi poskolonialisme, kata "pos" (post) diartikan dan dipahami sebagai suatu hal yang bersifat "melampaui" rentang waktu dari peristiwa kolonialisme itu sendiri, atau dapat juga dipahami sebagai cara pandang yang terus berusaha menilisik berbagai peninggalan kolonialisme di masa lalu yang kemudian menjelma dan dirawat ke dalam suatu bentuk kolonialisme yang bersifat lebih lunak, cair, dan bersahabat di era globalisasi seperti sekarang (Nurhadi, 2007).
Menurut Edward Said, salah satu tokoh penting dalam bidang studi kajian poskolonial, yang berhasil mempopulerkan sebuah istilah bernama Orientalisme (Orientalism), dalam bukunya yang berjudul Orientalism (1995: 204), menjelaskan bahwa studi poskolonialisme secara komperhensif melihat berbagai bentuk dari sejarah penjajahan yang erat kaitannya dengan praktik dan pendekatan untuk dapat mendominasi, mengkonstruksi dan menundukan Timur secara ajeg.
Lambat laun, berbagai konsep pemikiran pun dibentuk oleh para penjajah (Barat), untuk semakin membuat Timur tampak tak berdaya secara pemikiran dan karakter mereka. Secara lebih lanjut, menurut analisis Nurhadi (2007: 2), studi poskolonial yang digagas oleh Said mengenai Orientalisme, terinspirasi dari teori hegemoni Antonio Gramsci dan teori diskursus Michel Foucault, yang menawarkan metode analisis dalam melihat praktik kolonialisme ala Barat.
Menurut Said (1995) teori hegemoni dan diskursus sangat berguna dalam studi poskolonialisme, karena kedua teori tersebut menawarkan suatu cara pandang yang kritis dan makro dalam melihat berbagai peristiwa penjajahan dan pertukaran budaya yang bersifat eksplisit. Seperti adanya penanaman nilai-nilai Barat yang selalu digaungkan lebih tinggi stratanya dari pada Timur, yang akhirnya berdampak pada banyak segi kehidupan masyarakat kolonial.