Berbagai macam kasus yang terjadi dalam ranah femnisme Marxis, pada dasarnya selalu memandang ekonomi kapitalis sebagai awal mula dari tindakan penindasan dan subordinasi terhadap derajat perempuan. Subordinasi ini kemudian menciptakan status sekunder dari perempuan, dimana perempuan kemudian dipandang sebagai pihak atau kaum yang sekiranya perlu dilindungi dan bergantung pada peran serta laki-laki (Rahadian, 2019).
Hal ini pun kemudian menciptakan sebuah konsekuensi baru, dimana perempuan harus tunduk atas tindakan-tindakan penindasan dan subordinat tersebut atas konstruksi sosial yang dibangun. Dari adanya pembentukan ini, kemudian Marxis menganalisis secara jauh lebih dalam, bahwa prinsip dan metode kapitalisme di dalam masyarakat menciptakan jurang pemisah yang berdampak pada terbentuknya ketidaksetaraan pada aspek kekayaan bagi semua orang.
Dalam konteks ini, feminisme Marxis dengan tegas menolak segala bentuk pandangan terkait dengan pelacuran. Pelacuran menurut femnisme Marxis adalah sebuah bentuk dari terciptanya ketidakadilan di masyarakat yang menyasar kepada kaum perempuan, sehingga hal tersebut memaksa mereka untuk menjual tubuh dan reproduksinya secara terpaksa. Feminisme Marxis mempertegas fenomena pelacuran ini dengan dalam dua sudut pandang, yakni (Lisa, 2017):
a). Fenomena pelacuran menunjukan bahwa adanya sebuah fenomena kelas, dimana segelintir perempuan yang tidak mampu dalam artian tidak memiliki keahlian apapun, harus bekerja dengan menjual dirinya secara terpaksa demi bisa bertahan hidup.
b). Adanya fenomena pelacuran ini kemudian menciptakan sebuah pandangan alienasi, dimana dirinya diasingkan dari pekerjaannya dan dari nilai-nilai kemanusiaannya. Alasan ini muncul karena pekerjaan ini pada dasarnya bukanlah sesuatu yang bermakna bagi diri sendiri.
Dua sudut pandangan ini kemudian semakin mempertegas bahwa kaum perempuan selalu menjadi sasaran empuk untuk ditindas dan diambil segala bentuk haknya. Ketika perempuan dipandang statusnya sebagai sekunder di dalam tataran masyarakat, maka kaum perempuan praktis juga akan sangat sulit untuk bisa mendapatkan berbagai macam akses terhadap segala macam pekerjaan yang bermakna dengan upah yang layak, serta hak lainnya (Rahadian, 2019).
Kesulitan ini pun kemudian membentuk sebuah stigma, bahwa menjual diri adalah mungkin cara yang baik untuk bisa bertahan hidup dan menghidupi orang lain. Adapun juga, feminisme Marxis pernah menyebutkan, bahwa jika kita melawan sebuah bentuk kapitalisme, sejatinya kita telah melawan segala bentuk pelacuran (Lisa, 2017). Posisi laki-laki yang selalu dianggap lebih superior membuat mereka memiliki hak lebih dalam penguasaan properti dan profit.
Tidak seperti halnya kaum perempuan yang disubordinasi dan ditindas, atau dengan kata lain yang lebih populer adalah golongan masyarakat, berpotensi menciptakan kelas sosial yang lebih besar bagi perempuan. Dalam perkembangan selanjutnya, Lenin dalam Lisa (2017) kemudian menjelaskan bahwa kelas sosial dianggap sebagai golongan sosial dalam sebuah tatanan masyarakat, yang ditentukan oleh posisi tertentu dalam setiap proses produksi.
Ketika suatu kelompok manusia perlahan menyadari jika kelompoknya adalah kelas, maka kelompok-kelompok yang dicap sebagai superior akan bersatu sesuai dengan jumlah dan kekuatannya untuk mencapai suatu tujuan. Orang-orang yang tereksploitasi, kemudian juga akan merasa dan terpantik untuk memiliki jumlah dan kekuatan pula, sehingga mereka bisa berhak bebas berbicara dan bertindak secara adil, seperti orang-orang yang mengeksploitasinya. Â
Selain adanya rasa persaingan dan kesadaran kelas ini, konsep lain yang juga berperan aktif dalam membentuk pemahaman sekunder dan penindasan terhadap perempuan adalah alienasi. Alienasi menurut Marx dalam Seri Panduan Marxisme karya Henri Lefebvre (2015), adalah sebuah pengalaman yang mengakibatkan terciptanya perasaan terpecah belah. Dimana sesuatu yang signifikan bagi kehidupan manusia justru dipandang sebagai suatu hal yang saling terpecah.