Namun, yang belum terjawab dalam artikel ini adalah sejak kapan kah masyarakat Nusantara mulai mengkonsumsi sambal?Â
Menurut Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 jilid I: Tanah di Bawah Angin (1992), masyarakat Nusantara khususnya yang ada di Pulau Jawa banyak mengkonsumsi kunyit dan terasi, yang dicampur; dihaluskan; dan kemudian dihidangkan bersama dengan sajian makanan lainnya, seperti ikan contohnya.
Pada masa itu, komoditas seperti kunyit dan terasi adalah salah dua dari sekian banyaknya komoditas yang masuk ke dalam kategori produk ekspor. Karena melimpahnya kunyit dan terasi, praktis dua komoditas ini pun sering diperjualbelikan dan sering disajikan untuk disantap oleh banyak kalangan.Â
Dalam bukunya, Reid melanjutkan bahwa terasi adalah salah satu jenis makanan yang saat itu sangat digemari oleh masyarakat Nusantara, selain kunyit.
Pada waktu itu, masyarakat Nusantara tidak punya akses yang bebas untuk mengkonsumsi daging dan protein tertentu, seperti unggas-unggasan. Satu-satunya sumber protein yang bisa diandalkan untuk dikonsumsi dalam jumlah besar dan ajeg adalah ikan.Â
Karena ikan menjadi salah satu makanan populer saat itu, maka menurut pengamatan Reid, kunyit berfungsi menghilangkan bau amis dan terasi sebagai makanan pendamping, selain campuran antara kunyit dan terasi pastinya.
Namun, berbeda dengan Reid, menurut Prof. Murdijati Gardjito seperti yang dikutip dari alinea.id, sumber cita rasa pedas yang disantap oleh orang Nusantara saat itu, sejatinya juga bersumber dari banyak bahan-bahan lainnya.Â
Setidaknya ada tiga jenis bahan yang dapat menimbulkan sensasi dan cita rasa pedas, seperti jahe; cabai lempuyang dan lada. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, cabai lempuyang pernah menjadi salah satu sumber cita rasa pedas yang sohor.
Dalam sejarahnya, cabai lempuyang yang sekilas mirip seperti halnya cabai, memang pernah digunakan sebagai subtitusi atau pengganti dari lada.Â
Seperti yang dikutip dari historia.id, menurut catatan perjalanan seorang berkebangsaan Belanda pada tahun 1596, menyatakan bahwa saat itu seorang Gubernur Banten menceritakan tentang pengalamannya mengganti lada dengan cabai lempuyang saat lada sedang mengalami kelangkaan.