Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Artikel Utama

Mencintai Gastronomi Indonesia

17 Februari 2021   08:00 Diperbarui: 9 September 2022   16:49 1032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sajian smoked duck miso rice cake dari TEPPAN by Chef Yonemura yang begitu menggugah selera (Dok. Resorts World Sentosa via KOMPAS.com)

Ada banyak cara untuk mencintai Indonesia, salah satunya dengan belajar gastronomi. 

Siapa yang disini pernah mendengar atau bahkan mungkin sudah pernah makan di restoran bernama Namaaz Dining? Ya, Namaaz Dining adalah salah satu restoran bergengsi di Jakarta milik seorang restaurateur bernama Adrian Ishak. Namaaz Dining sempat mencuri perhatian publik dan para pecinta kuliner di tahun 2018 silam, karena berhasil di review oleh Raditya Dika dan Anissa Aziza yang menurut mereka sangat unik, baik dari makanannya maupun cara penyajiannya.

Dalam ilmu tata boga dan teknologi pangan, praktik pengolahan dan penyajian kuliner yang dilakukan oleh Namaaz Dining disebut sebagai gastronomi molekuler. Gastronomi molekuler menurut Winarno & Andino dalam buku Gastronomi Molekuler (2017) adalah seni memasak dan cara mengkonsumsi suatu makanan dengan menggunakan pendekatan ilmu sains, yang meliputi teknik memasak, nutrisi dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kelezatan, rasa dan aroma.

Bisa dibilang, gastronomi molekuler adalah ilmu tata boga yang paling unik dan berbeda, karena pendekatan soal ilmu-ilmu sains sangat dikedepankan dalam proses memasak maupun dalam presentasi hidangannya. Jika pembaca pernah menonton video Raditya Dika, yang me-review hidangan Namaaz Dining, pembaca mungkin akan cukup terheran-heran dan sampai membuat geleng-geleng kepala, karena penyajiannya yang tidak biasa dan namun outstanding.

Dari video tersebut, perlahan tapi pasti akhirnya banyak dari kita yang mulai menyangkut pautkan konteks mengenai gastronomi dalam kuliner sebagai sesuatu yang penuh dengan pedekatan sains, dan mungkin lebih mirip seperti laboratorium. Namun, semua hal ini kemudian ditepis oleh Profesor Murdijati Gardjito, seorang guru besar Ilmu dan Teknologi Pangan (pensiun) Unversitas Gadjah Mada yang telah lama mengabdi dibidang ilmu gastronomi dan kuliner Indonesia.

Lantas, seperti apakah itu gastronomi yang sesungguhnya, bagaimana kita harus menyikapinya dan kenapa gastronomi menjadi sebuah hal penting bagi perjalanan sejarah sebuah bangsa? Untuk bisa menjawabnya, penulis akan menggunakan dua buah sumber, yakni dari hasil wawancara penulis dengan professor pada tahun 2019 silam dan sebuah buku yang berjudul Gastronomi Indonesia jilid I (2019), yang ditulis oleh professor sendiri berserta dengan tim penulis.

Raditya Dika dan Annisa Aziza sedang menyantap salah satu hidangan penutup dari Namaaz Dining | nova.grid.id
Raditya Dika dan Annisa Aziza sedang menyantap salah satu hidangan penutup dari Namaaz Dining | nova.grid.id

Dalam buku Gastronomi Indonesia (2019), Gastronomi dipahami sebagai suatu kajian rasional mengenai semua hal yang berhubungan dengan manusia sepanjang dia mampu menikmati makanan yang dikonsumsi. Definisi ini berangkat dari buah pemikiran seorang Brilliat Savarin, seorang filsuf kuliner Perancis pada abad ke-18. Dalam konteks keilmuannya, gastronomi berkelindan dengan berbagai disiplin ilmu yang jauh lebih kompleks.

Menurut Gardjito, kurang lebih ada sekitar 16 kajian dari berbagai disiplin ilmu yang dipelajari dalam ilmu gastronomi. Kegiatan mempelajari seperti sejarah penggunaan bahan makanan; budaya dapur; alat memasak; cara pengolahan bahan makanan; keterkaitannya dengan kegiatan ritus masyarakat; faktor sains; cara penghidangan dan lainnya, adalah serangkaian hal yang dipelajari oleh seorang gastronom (orang yang mempelajari gastronomi).

“Di dalam gastronomi, kita bisa bagi menjadi tiga konsentrasi. Pertama yang konsentrasi di budaya; antropologi; komunikasi dan sosial. Kedua yang konsentrasi di bidang sains, seperti reaksi kimia dan fisika makanan, termasuk gastronomi molekuler. Dan yang ketiga adalah praktik memasak; tata hidang (table manner) dan lainnya”, ungkap Gardjito.

Kompleksitas dalam mempelajari ilmu gastronomi, pada dasarnya bisa dimulai dari mempelajari tiga pemahaman dasar yang utama, yakni biodiversity, agrobiodiversity dan indigenous knowledge (kearifan lokal). Tiga ilmu dasar inilah yang menjadi pondasi bagi 16 ilmu lain yang akan dipelajari oleh seorang gastronom kelak. Mari kita bahas tiga ilmu dasar gastronomi ini satu persatu, mulai dari ilmu soal biodiversity lalu agrobiodiversity.

Kreasi klepon dari restoran Nusa Gastronomy dengan menggunakan pendekatan gastronomi molekuler | dewimagazine.com
Kreasi klepon dari restoran Nusa Gastronomy dengan menggunakan pendekatan gastronomi molekuler | dewimagazine.com

Dalam gastronomi, secara sederhana biodiversity dapat dipahami sebagai sebuah kajian yang secara khusus membahas keterkaitan antara alam dengan bahan baku makanan yang tersedia di alam tersebut. Menurut Benn dalam Gastronomi Indonesia (2019) biodiversity adalah singkatan dari biological diversity, yang merujuk pada keanekaragaman organisme hidup yang berasal dari ekosistem darat; laut dan kompleks ekologi tempat organisme tersebut hidup.

Biodiversty dapat kita lihat contohnya seperti mikroorganisme bersel satu, organisme jamur, tumbuhan dan hewan yang hidup di ekosistem tertentu. Selain itu, gurun pasir, hutan hujan, sabana, terumbu karang, areal persawahan dan lainnya, merupakan kumpulan dari keanekaragaman hayati yang ada di bumi. Keanekaragaman hayati adalah penyokong hidup manusia yang memberikan banyak kontribusi, salah satunya adalah terbentuknya jaring rantai makanan.

Ketika membahas biodiversity, maka konteks mengenai keanekaragaman hayati pertanian pun juga tidak dapat dipisahkan. Jika biodiversity dipahami sebagai penunjang kehidupan yang umum, maka agrobiodiversity berperan sebagai pemenuh kebutuhan manusia yang khusus, yakni kebutuhan untuk makan. Menurut FAO dalam Gardjito (2019), ada sekitar 10.000-15.000 tanaman yang dapat dimakan dan 7.000 di antaranya digunakan dalam pertanian.

Keberhasilan dalam mengoptimalkan agrobiodiversity sangat bergantung sekali pada manusianya, yang bertugas untuk mengatur sumber daya alam, yang berfungsi sebagai tempat dimana tumbuhan dan hewan berada serta selanjutnya diproses untuk menjadi makanan. Maka dari itu, dalam gastronomi, pendekatan mengenai budaya yang dalam konteks ini adalah kearifan lokal (indigenous knowledge) sangat perlu diperhatikan dan dipelajari.

Kenapa kearifan lokal menjadi hal penting dalam ilmu gastronomi? Karena secara tidak langsung, seperti yang sudah dijelaskan di atas, keberhasilan dalam memanfaatkan dan membentuk jaring rantai makanan yang baik hanya bisa diperoleh jika manusianya berhasil dalam mengatur bagaimana mereka seharusnya memperlakukan alam mereka. Kebijaksanaan dalam memperlakukan dan merawat alam banyak tertuang dalam kebudayaan lokal.

Kearifan lokal menurut Suyatno dalam Gardjito (2019) diartikan sebagai sebuah kekayaan budaya lokal yang mengandung kebijakan hidup; pandangan hidup; akomodasi dari kebijakan dan kearifan hidup, yang secara keseluruhan kemudian diwariskan ke setiap generasi berikutnya. Dalam konteks gastronomi Indonesia, kita sejatinya dapat menemukan banyak sekali bentuk kearifan lokal masyarakat, dalam merawat alamnya demi mendapatkan bahan makanan yang baik.

“Misalnya yang paling dekat. Dalam kebudayaan pangan Jawa ada yang namanya pranta mangsa, yakni ketentuan untuk menetapkan waktu yang tepat dalam membudidayakan beragam hasil pangan, ritual panen dan bagaimana caranya hasil panen tersebut aman disimpan sampai masuk ke tahap panen berikutnya”, ungkap Gardjito.

Kearifan lokal di Indonesia dalam memperlakukan alam dan bahan pangan, menurut Gardjito adalah sebuah identitas yang menjadikan Indonesia berbeda dan unik dari bangsa-bangsa lainnya. Pendekatan-pendekatan kepercayaan misalnya dapat kita temukan salah satunya di dalam masyarakat Bali. Masyarakat Bali memliki sebuah konsep hidup bernama “Tri Hita Karana”, mengenai tiga elemen dasar bagi manusia untuk hdup secara bijak (Agung dalam Gardjito, 2019).

“Tri Hita Karana” mengatur hubungan antara manusia dengan dewa dan dewi; hubungan manusia dengan sesamanya; dan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Dari konsep mengenai Tri Hita Karana ini, masyarakat Bali kemudian mentrasfernya ke dalam banyak bentuk produk kebudayaan, yang salah satunya adalah makanan. Dalam setiap upacara keagamaan di Bali, masyarakat Bali akan menyiapkan hidangan penuh nilai filosofis.

Kenampakan dari bumbu base genep yang tengah dirajang halus dengan blakas (pisau khas Bali) | idntimes.com
Kenampakan dari bumbu base genep yang tengah dirajang halus dengan blakas (pisau khas Bali) | idntimes.com

Salah satunya yang paling sering dan terkenal adalah bumbu base genep atau bumbu dasar masakan Bali yang terbuat dari 16 unsur rempah yang dijadikan satu. Menurut Gardjito (2019), base genep memiliki empat unsur utama, yakni lengkuas, kunyit, jahe dan kencur. Selanjutnya, empat unsur tersebut ditambahkan dengan tiga unsur tambahan, dua unsur laut dan satu unsur pengunci yang terdiri dari enam campuran rempah.

Lengkuas yang berwarna merah mewakili arah Selatan (Dewa Brahma). Kunyit berwarna kuning mewakili arah Barat (Dewa Mahadewa). Jahe berwarna hitam mewakili arah Utara (Dewa Wisnu). Lalu, kencur berwarna putih mewakili arah Timur (Dewa Iswara). Setelah empat bumbu dasar ini tercampur, lalu dicampurkan lah bawang merah, bawang putih dan cabai rawit merah yang merupakan perwakilan unsur dari gunung.

Lalu, dua unsur lainnya seperti garam dan terasi mewakili unsur dari laut. Bertemunya dua unsur antara gunung dan laut dalam kosmologi masyarakat Bali melambangkan bertemunya sisi maskulin dan sisi feminis dalam diri manusia. Dan yang terakhir adalah rempah-rempah, yang berfungsi sebagai unsur pengunci. Rempah-rempah dalam base genep biasanya disebut sebagai wangen, dan terdiri dari lada hitam, lada putih, kemiri, ketumbar, pala dan jinten. 

“Kalau harus diceritakan soal kerifan lokal orang Indonesia dalam memperlakukan bahan makanannya, cerita ini baru bisa selesai tiga hari tiga malam. Karena, pada dasarnya kekayaan kuliner Indonesia tidak cukup hanya diceritakan saja, namun juga harus dikapitalisasi lewat bidang pengetahuan dan gerakan kuliner yang kreatif”, ungkap Gardjito.

Menurut klaim Gardjito, sebagai negara dengan dapur gastronomi terbesar di dunia, tantangan kuliner yang harus dihadapi oleh Indonesia dalam ranah globalisasi saat ini, seperti merebaknya restoran cepat saji; ketergantungan masyarakat luas terhadap satu komoditas makanan pokok (beras) yang semakin tinggi; massifnya media yang mempopulerkan produk budaya pop barat dan lainnya, akan membuat perjuangan gastronomi Indonesia semakin penuh rintangan.

Dampak yang bisa dirasakan dari merebaknya semua hal tersebut, sudah pasti yang pertama adalah berkurang atau mungkin punahnya eksistensi makanan tradisional Indonesia yang menggunakan pendekatan kearifan lokal. Di mulai dari merebaknya restoran cepat saji. Banyak kalangan, terkhususnya kaum urban yang pada akhirnya harus terpaksa lebih banyak mengkonsumsi berbagai makanan cepat saji dalam keseharian menu makan mereka.

Alasan ini tentu dipicu oleh tinggi rutinitas dan mobilitas serta tren mengenai kuliner yang sedang berkembang di masyarakat. Tren dalam mengkonsumsi makanan cepat saji, pada hakikatnya tidak terlepas dari campur tangan media elektronik dan daring yang ikut mempopulerkan berbagai makanan tertentu, yang dianggap lebih memiliki nilai prestise dan gengsi, yang akhirnya menyebabkan tingginya masyarakat untuk mengikuti gaya hidup yang serupa.

Merebaknya restoran cepat saji dan budaya makan fast food yang menjadi tren berkat campur tangan media, selanjutnya tentu akan membawa dampak bagi munculnya ketergantungan masyarakat terhadap makanan pokok. Seperti kita contohnya, orang Indonesia yang saat ini sangat bergantung sekali pada nasi sebagai makanan pokok. Perpaduan dari kesemua hal tersebut, pada akhirnya akan membawa dampak yang lebih besar lagi bagi masyarakat.

Yakni naiknya tren angka penyakit non-menular seperti diabetes, stroke; obesitas dan lainnya. Dari masalah ini, Gardjito menekankan pentingnya kita sebagai orang Indonesia untuk mulai belajar dan memahami apa itu gastronomi. Menurut Gardjito, jika kita orang Indonesia ingin diakui sebagai bangsa yang berdaulat secara pangan dan kuliner serta kesehatan, ilmu gastronomi adalah solusi terbaik untuk bisa mencapai impian besar tersebut.

“Gastronomi itu tidak hanya persoalan meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian kita orang Indonesia, tapi juga berfungsi sebagai dalam bentuk bidang lain, mulai dari politik, pariwisata, pendidikan, perdagangan bahkan sampai perdaimana dunia. Ini tugas kita bersama, jadi ayo kita mulai bergerak sekarang”, tutup Gardjito sembari melontarkan senyuman.

***

Daftar Pustaka:

Gardjito, M dkk. 2019. Gastronomi Indonesia (Jilid I). Yogyakarta. Global Pustaka Utama.

Winarno & Andino. 2017. Gastronomi Molekuler. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun