Dalam gastronomi, secara sederhana biodiversity dapat dipahami sebagai sebuah kajian yang secara khusus membahas keterkaitan antara alam dengan bahan baku makanan yang tersedia di alam tersebut. Menurut Benn dalam Gastronomi Indonesia (2019) biodiversity adalah singkatan dari biological diversity, yang merujuk pada keanekaragaman organisme hidup yang berasal dari ekosistem darat; laut dan kompleks ekologi tempat organisme tersebut hidup.
Biodiversty dapat kita lihat contohnya seperti mikroorganisme bersel satu, organisme jamur, tumbuhan dan hewan yang hidup di ekosistem tertentu. Selain itu, gurun pasir, hutan hujan, sabana, terumbu karang, areal persawahan dan lainnya, merupakan kumpulan dari keanekaragaman hayati yang ada di bumi. Keanekaragaman hayati adalah penyokong hidup manusia yang memberikan banyak kontribusi, salah satunya adalah terbentuknya jaring rantai makanan.
Ketika membahas biodiversity, maka konteks mengenai keanekaragaman hayati pertanian pun juga tidak dapat dipisahkan. Jika biodiversity dipahami sebagai penunjang kehidupan yang umum, maka agrobiodiversity berperan sebagai pemenuh kebutuhan manusia yang khusus, yakni kebutuhan untuk makan. Menurut FAO dalam Gardjito (2019), ada sekitar 10.000-15.000 tanaman yang dapat dimakan dan 7.000 di antaranya digunakan dalam pertanian.
Keberhasilan dalam mengoptimalkan agrobiodiversity sangat bergantung sekali pada manusianya, yang bertugas untuk mengatur sumber daya alam, yang berfungsi sebagai tempat dimana tumbuhan dan hewan berada serta selanjutnya diproses untuk menjadi makanan. Maka dari itu, dalam gastronomi, pendekatan mengenai budaya yang dalam konteks ini adalah kearifan lokal (indigenous knowledge) sangat perlu diperhatikan dan dipelajari.
Kenapa kearifan lokal menjadi hal penting dalam ilmu gastronomi? Karena secara tidak langsung, seperti yang sudah dijelaskan di atas, keberhasilan dalam memanfaatkan dan membentuk jaring rantai makanan yang baik hanya bisa diperoleh jika manusianya berhasil dalam mengatur bagaimana mereka seharusnya memperlakukan alam mereka. Kebijaksanaan dalam memperlakukan dan merawat alam banyak tertuang dalam kebudayaan lokal.
Kearifan lokal menurut Suyatno dalam Gardjito (2019) diartikan sebagai sebuah kekayaan budaya lokal yang mengandung kebijakan hidup; pandangan hidup; akomodasi dari kebijakan dan kearifan hidup, yang secara keseluruhan kemudian diwariskan ke setiap generasi berikutnya. Dalam konteks gastronomi Indonesia, kita sejatinya dapat menemukan banyak sekali bentuk kearifan lokal masyarakat, dalam merawat alamnya demi mendapatkan bahan makanan yang baik.
“Misalnya yang paling dekat. Dalam kebudayaan pangan Jawa ada yang namanya pranta mangsa, yakni ketentuan untuk menetapkan waktu yang tepat dalam membudidayakan beragam hasil pangan, ritual panen dan bagaimana caranya hasil panen tersebut aman disimpan sampai masuk ke tahap panen berikutnya”, ungkap Gardjito.
Kearifan lokal di Indonesia dalam memperlakukan alam dan bahan pangan, menurut Gardjito adalah sebuah identitas yang menjadikan Indonesia berbeda dan unik dari bangsa-bangsa lainnya. Pendekatan-pendekatan kepercayaan misalnya dapat kita temukan salah satunya di dalam masyarakat Bali. Masyarakat Bali memliki sebuah konsep hidup bernama “Tri Hita Karana”, mengenai tiga elemen dasar bagi manusia untuk hdup secara bijak (Agung dalam Gardjito, 2019).
“Tri Hita Karana” mengatur hubungan antara manusia dengan dewa dan dewi; hubungan manusia dengan sesamanya; dan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Dari konsep mengenai Tri Hita Karana ini, masyarakat Bali kemudian mentrasfernya ke dalam banyak bentuk produk kebudayaan, yang salah satunya adalah makanan. Dalam setiap upacara keagamaan di Bali, masyarakat Bali akan menyiapkan hidangan penuh nilai filosofis.