Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Foodie

The Next Sate Ratu, Semangat Baru dari Sate Ratu

10 Februari 2021   08:00 Diperbarui: 9 September 2022   16:48 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sate merah sedang dibakar oleh staff dapur | Dok. pribadi/ Thomas Panji

Cita rasanya memang khas dan beda. Pantas saja disinggahi lebih dari 85 negara dan akan terus bertambah. 

"Semuanya tampak makan dengan lahap. Sampai-sampai suara hujan pada malam itu, yang cukup deras dan disertai dengan petir, dihiraukan oleh para pelanggan. Di tengah bau air hujan yang jatuh ke tanah dan memancarkan aroma relaksasi, aroma sate yang harum dan menggugah selera juga ikut menemani derasnya hujan malam itu. Antara aroma relaksasi dan rasa lapar yang memburu pada malam hari yang dingin, sebuah perpaduan yang serasi bukan?"

Begitulah kira-kira gambaran yang terjadi di restoran baru milik Sate Ratu, yang diberi nama The Next Sate Ratu. Pada malam itu semua orang nampak dengan lahap menyatap sate dan begitu juga dengan kami, para penulis Kompasiana Jogja yang saat itu diundang untuk datang pada acara Dolan Kuliner Kompasiana Jogja, di restoran baru milik Sate Ratu yang berlokasi di Jl. Sidomukti, Tiyosan, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta.

Acara Dolan Kuliner ini adalah acara yang ke-tiga kalinya digelar di Sate Ratu. Namun, karena Sate Ratu baru saja pindah, tentu saja acara Dolan Kuliner kali ini akan terasa sangat berbeda. Mana lagi ditambah dengan lokasi baru, tentu pasti juga akan menghadirkan berbagai fitur baru yang bisa dirasakan oleh para pelanggan. Saat itu hari Rabu, 3 Februari 2021, sekitar pukul 17.10 WIB, penulis baru saja tiba di restoran baru milik Sate Ratu.

Begitu tiba, penulis langsung melihat pemandangan yang berbeda. Restoran baru Sate Ratu terlihat tampak lebih luas dan lapang. Dengan paduan cat tembok berwarna putih dan lantai beton yang tidak ditutup keramik, membuat suasana restoran Sate Ratu tampak seperti rumah modern gaya industrial, yang sangat digandrungi oleh anak-anak muda urban generasi millenial dan Z. Pepohonan hijau dan berbagai tanaman pun juga ikut membuat suasana menjadi lebih asri. 

Dengan hadirnya pepohonan dan berbagai tanaman, membuat Fabian Budi Seputro selaku pemilik dari Sate Ratu melakukan inovasi dengan membuka area makan berkonsep outdoor di bagian belakang yang berdekatan dengan dapur, tempat dimana sate khas dari Sate Ratu diramu dan dibakar hingga harum dan menggoda hidung. Bisa dibayangkan, makan sate ditambah dengan bau asap sate yang sedang dibakar, perpaduan yang sempurna bukan?

Tak lupa juga, parkiran Sate Ratu pun saat ini juga terlihat lebih luas dan mampu menampung lebih banyak kendaraan. Tapi, ada satu hal yang berbeda dari parkiran restoran baru Sate Ratu. Di ujung parkiran, terdapat sebuah papan neon box yang berisi tulisan “Juara Nasional 2019 Ngulik Rasa Unilever”. Ya pada tahun 2019 lalu, Sate Ratu berhasil keluar sebagai juara pertama untuk kuliner kategori sate dalam kompetisi kuliner yang diselenggarakan oleh Unilever.

Kemenangan ini akhirnya menjadi sebuah branding baru bagi Sate Ratu, selain brandingnya yang terkenal, yakni sering disinggahi turis mancanegara, yang sekarang sudah berjumlah sekitar 85 negara dan akan terus bertambah. Tidak hanya menghasilkan branding baru saja, dari kompetisi ini Sate Ratu juga berhasil mengeluarkan sebuah varian menu baru bernama Sate Kanak. Namun, varian ini ternyata belum dimasukan ke dalam daftar menu setelah pindah ke lokasi baru.

Neon box yang berisikan penghargaan terhadap Sate Ratu | Dok.pribadi/ Thomas Panji
Neon box yang berisikan penghargaan terhadap Sate Ratu | Dok.pribadi/ Thomas Panji

Akhirnya, setelah menunggu peserta yang lain, acara Dolan Kuliner Kompasiana Jogja yang berkolaborasi dengan Sate Ratu pun dimulai. Pada malam itu, Budi selaku pemilik dari Sate Ratu membuka pertemuan dengan membagi-bagikan sebuah buku ke setiap penulis. Buku itu berjudul Kok Bisa Gitu? Rahasia Memiliki Pelanggan Dari 85 Negara. Buku ini adalah keluaran terbaru dari Sate Ratu yang ditulis langsung oleh Budi selama masa awal pandemi korona.

Buku ini pada intinya mengulas tentang awal mula dari bagaimana Sate Ratu berdiri hingga sukses sebagai restoran sate yang sering dikunjungi oleh para turis mancanegara; berhasil memenangkan kompetisi kuliner; berhasil diulas oleh Trip Advisor sebagai restoran sate terbaik di Kabupaten Sleman dan sederet pengalaman lainnya. Setelah membagi-bagikan buku, acara pun dilanjutkan dengan sesi tanya jawab antara Kompasianer dengan Budi, selaku pemilik Sate Ratu.

Namun, belum sampai sekitar satu jam kami melakukan sesi tanya jawab, sate-sate yang masih panas dan beraroma khas bersama dengan nasi putih dan secawan kuah kaldu pun sudah tersedia di atas meja makan kami semua. Pelayan nampak sibuk saat itu untuk menghitung jumlah porsi makanan yang harus disediakan kepada kami para penulis. Sesi tanya jawab yang tadi fokus mendengarkan, sudah pasti terdistraksi dengan sate-sate yang sangat menggugah selera ini.

Setelah semua sate dihidangkan, tanpa berlama-lama Budi mempersilahkan kami makan malam. Tak lupa juga, karna kami adalah penulis sudah tentu, hal pertama yang dilakukan sebelum makan selain berdoa adalah memfoto makanaan se-kreatif dan se-fotogenik mungkin. Setelah itu, barulah kami tancap gas untuk makan malam. Selagi teman-teman penulis makan dengan khidmat, penulis justru menganalisis dan bertanya-tanya kepada Budi mengenai produk satenya.

Budi menerangkan bahwa sate disini tidak dimakan dengan lontong. Budi merasa, jika sate dimakan dengan lontong maka sensasi dari makan sate itu akan terasa kurang puas bagi pelanggan. Maka dari itu, Sate Ratu menghidangkan nasi sebagai makanan pokok bersamaan dengan kuah kaldu. Kuah kaldu ini berfungsi sebagai penambah rasa dan mengatasi rasa serat saat makan sate bersamaan dengan nasi putih hangat.

Setelah bertanya-tanya, akhirnya penulis makan malam. Saat itu hidangan yang datang di atas meja adalah sate merah sebanyak enam tusuk, secawan kuah kaldu dan sepiring nasi putih. Sate merah menurut Budi adalah salah satu menu andalan Sate Ratu, selain sate kanak; sate kulit; lilit basah; ceker tugel dan menu lainnya. Secara penampilan, warnanya sangat merah merekah, seperti habis dicelupkan ke dalam saus cabai yang sangat kental.

Warna merah ini tentu berasal dari cabai yang dihaluskan sampai menjadi sambal dan sudah dicampurkan dengan berbagai rempah, yang membuat harumnya begitu khas. Pada gigitan pertama, penulis kaget karena warna merah merekah yang penulis rasa akan terasa sangat pedas, ternyata tidak sepedas seperti yang diekspektasikan. Rasa pedas manis menjadi rasa utama yang langsung terasa lidah. Perpaduan cabai, rempah dan gula merah tercampur dengan sempurna.

Tampilan dari sate merah khas Sate Ratu, bersama dengan nasi putih hangat dan kuah kaldu | Dok.pribadi/ Thomas Panji
Tampilan dari sate merah khas Sate Ratu, bersama dengan nasi putih hangat dan kuah kaldu | Dok.pribadi/ Thomas Panji

Rasa lengket pada sate akibat karamelisasi gula merah saat dipanggang membuat daging menjadi lebih legit. Bumbu sate yang digunakan untuk sate merah, penulis duga adalah bumbu sambal balado yang biasanya dipakai untuk memasak berbagai hidangan. Namun, peran gula merah membuat warnanya menjadi lebih gelap dan secara tidak langsung membuat rasanya menjadi lebih khas. Ketika makan, sensasi cita rasa pedas cabai tetap masih bisa kita rasakan.  

Tapi, rasa pedas cabai itu bisa dinetralisir dengan rasa manis dari gula merah. Sensasi rasa pedas dan manis dalam satu gigitan, membuat penulis tidak bisa fokus untuk menganalisis. Sensasi pedas manis ini tidak hanya ada dibagian permukaan sate, namun juga sampai meresap ke dalam daging, yang membuat selera makan menjadi lebih nikmat. Penulis berasumsi, sepertinya daging sate dimarinasi terlebih dahulu, sekitar empat sampai dengan enam jam lamanya sebelum dibakar.

Selain cita rasa pedas manis yang khas, daging yang digunakan pun juga bukan sembarangan. Jika biasanya sate ayam menggunakan seluruh bagian ayam untuk isian sate, Sate Ratu hanya menggunakan bagian paha ayam saja untuk isian satenya. Inilah mengapa sebabnya daging ayam dari Sate Ratu terasa lebih gurih, legit dan beraroma. Bagian paha ayam, baik paha atas maupun paha bawah memang memiliki lebih banyak konten lemak dan rasanya lebih gurih.

Konten lemak dalam protein seperti paha ayam, sering disebut sebagai dark meat. Disebut dark meat karena ketika dimasak lemak yang keluar dari paha ayam akan sangat banyak jumlahnya dan ini tentu menimbulkan proses karamelisasi yang jauh lebih maksimal, ketimbang bagian ayam yang lain, seperti dada ataupun sayap. Dark meat pada dasarnya adalah daging yang sudah sangat gurih, sehingga tidak perlu ditambahkan dengan bumbu yang kompleks.

Setelah selesai makan, tanpa berlama-lama penulis yang sudah penasaran dengan sate merah, akhirnya bergegas menuju dapur, untuk bertanya-tanya kepada para staff dan tentu mengobservasi proses produksi serta mencari tahu bumbu apa saja yang dipakai. Dapur Sate Ratu dibagi menjadi dua bagian. Bagian depan digunakan sebagai dapur umum, dan dapur bagian belakang digunakan sebagai tempat untuk membakar sate.

Terdapat empat buah panggangan yang terus mengepul membakar sate. Setiap panggangan di isi oleh dua orang staff dan terdapat dua cook helper yang bertugas mengolah bumbu dan menyajikan sate yang sudah matang. Seorang staff mengizinkan penulis masuk ke dalam area dapur dan kemudian menjelaskan banyak hal soal produksi sate pada penulis. Staff tersebut menjelaskan bahwa dalam sehari Sate Ratu bisa menghabiskan sekitar ratusan kilogram paha ayam.

Yang menarik dari penjelasannya adalah satu paha ayam, baik paha atas maupun bawah digunakan untuk mengisi satu tusuk sate! Berarti dari empat paha ayam akan menghasilkan empat tusuk sate, dengan potongan daging yang berukuran besar. Setelah daging dipotong, barulah daging dimarinasi ke dalam bumbu merah selama tiga jam lamanya. Inilah salah satu alasan mengapa bumbunya begitu meresap sampai ke dalam daging dengan sempurna.

Selain itu, untuk membakarnya arang yang digunakan pun bukan arang bambu atau kayu, melainkan arang dari tempurung kelapa. Arang tempurung kepala menurut keterangan salah seorang staff dapur memiliki ciri khas, yakni dapat memberikan aroma yang lebih wangi ketimbang arang kayu ataupun arang bambu. Selain itu, arang tempurung kelapa dipakai karena lebih bagus untuk memasak makanan yang memang tekniknya dipanggang atau diasapkan.

Soal harga, untuk bisa makan puas di Sate Ratu, pembaca hanya perlu merogoh kocek sebesar mulai dari Rp 5.000,00-Rp 25.000,00. Mahal? Tentu, tapi kualitas boleh diadu dengan jenis sate-sate lain yang ada di Yogyakarta. Jika pembaca ingin makan bersama dengan keluarga atau teman dekat, Sate Ratu boleh jadi tempat yang pas. Tetap ingat, selama masa pandemi korona, selalu patuhi protokol kesehatan secara bijak, supaya makan tetap happy, kesehatan no worry.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun