Meminjam pandang dari Karl Marx (Storey, 2006), sepeda saat ini boleh jadi dipahami sebagai produk yang mencerminkan sebuah identitas bagi suatu golongan atau kelas masyarakat, dimana sepeda menjadi gambaran dari bentuk gaya hidup ideal atau kemapanan. Semakin seseorang dapat mengikuti idealisme yang disodorkan oleh media lewat berita dan iklan, maka orang tersebut akan semakin dianggap memiliki identitas diri yang kuat di dalam masyarakat.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Herbert Marcuse dalam Storey (2006), yang menjelaskan bahwa pengiklan lewat ideologi konsumerisme mendorong terciptanya kebutuhan palsu dan kebutuhan ini bekerja sebagai kontrol sosial.
Disini, konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat dapat membentuk identitasnya, serta dapat berfungsi sebagai pengikat kelas sosial. Dari sini, kita bisa melihat bahwa kelas-kelas sosial memainkan perannya masing-masing.
Dimulainya kampanye menggunakan sepeda di Eropa dan tingginya akan pembelian sepeda di Indonesia, membuat banyak sekali iklan-iklan sepeda berseliweran di internet. Sebagai contoh, hampir di semua portal berita yang penulis jadikan sumber pada waktu itu, menyajikan iklan sepeda dengan merek Rad Power Bikes. Seperti yang dikutip dari radpower bikes.com, Rad Power Bikes adalah perusahaan sepeda elektrik (ebike) asal Amerika Serikat
Berkaitan dengan Covid-19, dalam laman resmi perusahaannya, ada sebuah tautan yang berbunyi “COVID-19 Update: Learn more about what we’re doing to improve our customer experience”. Isi dari tautan ini menjelaskan bahwa produk dari Rad Power Bikes mengalami kenaikan permintaan produk sebesar 297%. Peningkatan permintaan ini, sampai-sampai membuat banyak perombakan, seperti menambah staff, bahan baku, meningkatkan alat produksi dan lainnya.
Di lain hal, orang-orang Indonesia yang kebanyakan membeli sepeda baru adalah mereka yang memang cukup mampu. Hal ini bisa dibuktikan dari sebuah daftar harga sepeda yang di jual. Dikutip dari tribunnews.com, sebuah toko sepeda bernama Rukun Makmur yang ada di, Kota Solo, Jawa Tengah, memiliki harga sepeda yang bervariasi. Mulai dari yang paling murah, yakni di kisaran Rp 900.000 hingga yang paling mahal di kisaran harga Rp 93.000.000.
Tidak hanya pembelian sepeda baru saja yang marak, namun pembelian sepeda bekas juga marak di Yogyakarta. Dikutip dari harianjogja.com, pembelian sepeda bekas di pasar GAPSSTA juga terjadi. Meski memang terbilang cukup murah, yakni di kisaran angka Rp 150.000-Rp 1.500.000, namun masih ada banyak saja pembelinya. Ada perbedaan mengenai harga dan kualitas, tapi kesamaannya adalah ada sebuah tren yang kembali hidup, yakni bersepeda
Tren ini akhirnya mempengaruhi bagaimana masyarakat menyesuaikan dengan kekuatan ekonominya masing-masing. Pembelian sepeda antara baru maupun yang bekas, pada dasarnya juga menimbulkan sebuah gejala baru, yakni kelas-kelas yang berkuasa, selalu dan mewajibkan diri untuk ikut terlibat di dalam merawat budaya populer. Kelas-kelas yang berkuasa jelas sangat tidak ingin kehilangan kekuasaan hegemoniknya terhadap kelas-kelas yang lebih rendah.
Orang-orang yang membeli sepeda baru dengan kisaran harga yang mahal dapat dipandang sebagai orang yang berkuasa. Sedangkan, orang-orang yang mungkin tidak memiliki faktor ekonomi yang cukup dan digambarkan sebagai pembeli sepeda bekas adalah orang-orang yang juga berusaha mengikuti hal serupa, dimana mereka kemudian dipandang sebagai orang-orang yang masuk ke dalam budaya rendah.
Disinilah, muncul yang dinamakan dengan persaingan kelas, dalam teori konsumsi, dimana orang-orang yang memiliki kapital akan melihat bahwa membeli sepeda baru menjadi hal yang keren dan mengikuti trend serta bertransformasi menjadi gaya hidup baru. Sedangkan, orang-orang yang membeli sepeda bekas akan dipandang sebagai orang yang menyimpang dari marwah trendnya dan hanya dicap sebagai budaya pengikut yang rendahan.