Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Covid-19, Sepeda, dan Tren Pembelian Konsumtif

16 Desember 2020   08:00 Diperbarui: 9 September 2022   13:36 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tren bersepeda yang hidup kembali selama pandemi | Kompas.com

Sudah ada tren apa saja yang muncul selama pandemi? Dan, kenapa kita selalu jatuh ke dalam tren tersebut?

Selama beberapa bulan kemarin atau mungkin sampai dengan sekarang, ada begitu banyak orang yang membeli tanaman hias. Akhirnya, karena semakin banyak orang yang membeli, kegiatan ini pun berubah menjadi tren. Yang sampai-sampai juga membuat viral di jagat sosial media kita. Sebagai contoh, beberapa waktu yang lalu, cnnindonesia.com melaporkan soal kegiatan jual beli mobil yang transaksinya dilakukan dengan cara barter tanaman hias.

Tulisan artikel kali ini sebetulnya tidak akan membahas tren pembelian tanaman hias selama pandemi. Tapi yang akan dibahas adalah tren mengenai hidupnya kembali budaya bersepeda, yang terjadi tidak hanya di Indonesia, namun juga di beberapa negara maju seperti di Eropa. Kalau pembaca masih ingat, tren ini pernah muncul di masa awal penyebaran Covid-19 atau sekitar di akhir bulan April menuju ke pertengahan bulan Juli.

Jika pembaca harus menebak alasan dibalik kenapa tren ini muncul, jawabannya mungkin adalah karena adanya rasa bosan atau mungkin karena adanya kebutuhan untuk menjaga kesehatan serta saling jaga jarak. 

Jawaban di atas tentu tidak salah, namun kurang tepat. Dalam memahami sebuah tren, ada berbagai aspek yang bisa dianalisis dan dikaji. Oleh karena itu, harapannya kita tidak hanya mengetahui tren secara praktis, namun juga secara mendalam dan empirik.

Teori Konsumsi 

Untuk dapat memahami fenomena ini secara dalam, kita dapat menggunakan teori konsumsi yang dicetuskan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels dalam melihat fenomena kembalinya tren bersepeda sebagai alat transportasi di masa sekarang. 

Dalam teori konsumsi, pertama-tama kita harus pahami terlebih dahulu perbedaan antara cara hidup masyarakat sosial kapitalis dengan masyarakat pra-kapitalis. Masyarakat pra-kapitalis dapat dimengerti sebagai masyarakat feodal.

Masyarakat pra-kapitalis adalah jenis masyarakat yang kegiatan konsumsinya bersifat segera di konsumsi atau ditukar dengan barang lain (Storey, 2006). 

Sifat feodal akhirnya perlahan runtuh seiring dengan hadirnya konsep kapitalisme, yang berorientasi pada pasar, uang dan keuntungan sebesar-besarnya. Kegiatan konsumsi menjadi terpisah, dari kebutuhan sederhana untuk memenuhi hajat hidup menjadi suatu aspek bagi manusia untuk mendapatkan hiburan.

Dari pergeseran makna mengenai kegiatan konsumsi, Karl Marx dan Friedrich Engels dalam Jhon Storey (2006), mengutarakan pandangannya bahwa transisi sosial-antropologi ini membawa pergeseran juga pada transisi produksi. 

Transisi produksi membuat penciptaan produk yang dulunya berfokus pada pemenuh kebutuhan hidup yang primer, akhirnya bergeser ke pemenuh kebutuhan tersier, keuntungan dan prestise.

Karena transisi ini, para pekerja atau buruh membuat barang-barang yang punya tujuan untuk memenuhi kebutuhan tersier, agar mereka bisa mendapatkan upah. 

Fenomena buruh membeli barang hasil dari produksinya dengan menggunakan upahnya sendiri, disebut Karl Marx sebagai masyarakat konsumen. Tipe masyarakat konsumen lahir sebagai akibat dari munculnya hiperrealitas yang distimulasi oleh iklan untuk menggambarkan suatu bentuk kemapanan hidup.

Hiperrealitas adalah suatu kondisi dimana, sebuah kehidupan masyarakat digambarkan secara berlebihan dari kenyataan sosial yang terjadi. Hiperrealitas dapat berfungsi sebab, ada kelompok yang memiliki pengetahuan dan kekuasaan untuk memampukan mereka membentuk konstruksi dalam menciptakan ideologi dan hegemoni tertentu. Pembentukan ini bertujuan untuk semakin menancapkan dominasi ide dan relasi kuasa yang ajeg dalam kehidupan sosial.

Dari hiperrealitas, lalu munculah fenomena bernama alienasi di dalam kegiatan konsumsi masyarakat. Karl Marx menjelaskan, alienasi bekerja dengan cara membentuk sebuah paham dalam produksi. Paham tersebut berbunyi: manusia belum bisa memiliki identitas dalam diri mereka (jati diri). Sehingga mereka “dipaksa” untuk menemukan jati diri mereka lewat produk-produk yang harus mereka konsumsi supaya mereka bisa “merasa” dapat menemukan jati dirinya.

Herbert Marcuse dalam Jhon Storey (2006), juga menjelaskan, pengiklan lewat ideologi konsumerisme mendorong terciptanya kebutuhan palsu dan kebutuhan ini bekerja sebagai kontrol sosial. Akibatnya, masyarakat mengenali diri mereka dari berbagai komoditas produk yang mereka kenakan, yang dianggap dapat menjadi wakil dari identitas diri mereka dalam masyarakat. Hal ini juga menjadi pengikat pada kehidupan suatu golongan sosial di masyarakat.

Paduan dari WHO Eropa | euro.who.int 
Paduan dari WHO Eropa | euro.who.int 

Deskripsi Fenomena

Seperti yang dilansir dari katadata.co.id, Produk hobi menjadi salah satu hal yang sangat diminati selama Covid-19, dimana pembelian sepeda menjadi salah satu produk hobi yang sangat diminati. 

Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya pembelian masyarakat terhadap sepeda dengan merek Polygon sebesar 1.036%. Tidak hanya itu, seperti yang dikutip dari okezone.com, di Solo, Jawa Tengah pembelian sepeda dilaporkan naik sebesar 300%, meski harga tiap sepeda naik 15%.

Munculnya tren konsumsi sepeda yang ada di Indonesia sejatinya menandai dari akan dimulainya era new normal, bersamaan dengan pelonggaran lockdown yang terjadi di negara-negara Eropa. 

Dikutip dari tempo.com, beberapa negara Eropa mulai mengkampanyekan “bike to work” seiring dengan di longgarkannya lockdown. Kampanye ini bertujuan untuk mengurangi beban transportasi umum yang belum bisa pulih 100% akibat lockdown di beberapa kota.

Sebagai contoh, Perancis dan Inggris telah memulai langkah ambisiusnya untuk kembali menghidupkan sepeda sebagai transportasi pribadi yang ramah lingkungan. Perancis berencana akan menggelontorkan dana sebesar 20 juta Euro, sedangkan Inggris akan menghibahkan dana sebesar 250 juta Poundsterling. Kampanye mengenai “bike to work” yang dilakukan oleh beberapa negara Eropa, sejatinya juga dilatarbelakangi oleh beberapa alasan.

Dilansir dari liputan6.com, menurut Agus Taufik, Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), menyebutkan transportasi umum menjadi salah satu agen atau tempat yang sangat berperan besar dalam menyebarkan Covid-19. Hal bisa terjadi, karena di dalam sistem transportasi ada sebuah interaksi dalam bentuk kerumunan, dan hal ini menjadi indikator yang sangat penting, jika virus dapat menyebar dan menularkan dengan sangat mudah.

Terlepas dari maraknya tren bersepeda, kampanye mengenai supaya orang-orang untuk kembali bersepeda lagi, sejatinya datang dari anjuran yang diberikan oleh WHO Eropa. Seperti yang dikutip dari mainsepeda.com, Badan Kesehatan Dunia (WHO) merilis sebuah panduan teknis tentang beraktivitas selama pandemi virus corona. WHO menganjurkan masyarakat untuk bersepeda dan berjalan kaki guna menghindari kontak fisik serta memperlambat penularan virus.

Analisis Fenomena

Dari pemaparan data diatas beserta dengan menggunakan teori konsumsi, kita dapat menganalisis bahwa sepertinya memang bukan WHO Eropa yang punya tujuan untuk menjadikan sepeda sebagai sebuah tren bertransportasi. Lalu, kira-kira siapakah pelaku yang membuat kegiatan ini akhirnya menjadi tren? Sudah pasti tentunya adalah media kita. Pendekatan teori konsumsi yang dipakai oleh media membantu mereka untuk dapat mereproduksi tren ini.

Media lewat berbagai produk berita dan iklannya, menjadikan tren bersepeda akhirnya kembali diminati oleh khalayak luas. Ingatlah bahwa media memiliki sebuah teori komunikasi bernama jarum hipodermik, yang memampukan mereka untuk membuat khalayak dapat langsung mempercayai sebuah pesan tersebut tanpa harus berpikir dua kali ketika mereka sedang mengkonsumsi berita atau iklan di sebuah media (Onong Uchjana. 2003, hal. 84).

Media lewat jarum hipodermiknya, berhasil membuat publik merasa takut. Pemberitaan seperti ditampilkannya angka infeksi yang semakin naik, jumlah korban bertambah, dan lainnya, membuat orang akhirnya menjadi cepat percaya dan tak jarang menimbulkan hoax

Karena media berhasil membentuk ke semua hal tersebut, akhirnya masyarakat juga berhasil masuk ke dalam sebuah bentuk kehidupan hiperrealitas. Disinilah bentuk dari sebuah teori konsumsi itu terjadi.

Hiperrealitas yang dibentuk oleh media lewat produk berita kemudian dirawat dengan baik oleh iklan. Iklan berusaha memberikan sebuah penawaran produk yang sekiranya bisa dikonsumsi oleh masyarakat dan membuat mereka (masyrakat) menjadi terasa lebih aman dan tenang, ketika harus berhadapan dengan ancaman Covid-19. Pembentukan berbagai penawaran iklan bersumber dari rasa takut yang dibentuk dan direproduksi oleh media lewat produk berita.

Meminjam pandang dari Karl Marx (Storey, 2006), sepeda saat ini boleh jadi dipahami sebagai produk yang mencerminkan sebuah identitas bagi suatu golongan atau kelas masyarakat, dimana sepeda menjadi gambaran dari bentuk gaya hidup ideal atau kemapanan. Semakin seseorang dapat mengikuti idealisme yang disodorkan oleh media lewat berita dan iklan, maka orang tersebut akan semakin dianggap memiliki identitas diri yang kuat di dalam masyarakat.

Para pesepeda yang tidak menjaga fisik saat car free day di Jakarta | DW.com
Para pesepeda yang tidak menjaga fisik saat car free day di Jakarta | DW.com

Hal serupa juga diungkapkan oleh Herbert Marcuse dalam Storey (2006), yang menjelaskan bahwa pengiklan lewat ideologi konsumerisme mendorong terciptanya kebutuhan palsu dan kebutuhan ini bekerja sebagai kontrol sosial. 

Disini, konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat dapat membentuk identitasnya, serta dapat berfungsi sebagai pengikat kelas sosial. Dari sini, kita bisa melihat bahwa kelas-kelas sosial memainkan perannya masing-masing.

Dimulainya kampanye menggunakan sepeda di Eropa dan tingginya akan pembelian sepeda di Indonesia, membuat banyak sekali iklan-iklan sepeda berseliweran di internet. Sebagai contoh, hampir di semua portal berita yang penulis jadikan sumber pada waktu itu, menyajikan iklan sepeda dengan merek Rad Power Bikes. Seperti yang dikutip dari radpower bikes.com, Rad Power Bikes adalah perusahaan sepeda elektrik (ebike) asal Amerika Serikat

Berkaitan dengan Covid-19, dalam laman resmi perusahaannya, ada sebuah tautan yang berbunyi “COVID-19 Update: Learn more about what we’re doing to improve our customer experience”. Isi dari tautan ini menjelaskan bahwa produk dari Rad Power Bikes mengalami kenaikan permintaan produk sebesar 297%. Peningkatan permintaan ini, sampai-sampai membuat banyak perombakan, seperti menambah staff, bahan baku, meningkatkan alat produksi dan lainnya.

Di lain hal, orang-orang Indonesia yang kebanyakan membeli sepeda baru adalah mereka yang memang cukup mampu. Hal ini bisa dibuktikan dari sebuah daftar harga sepeda yang di jual. Dikutip dari tribunnews.com, sebuah toko sepeda bernama Rukun Makmur yang ada di, Kota Solo, Jawa Tengah, memiliki harga sepeda yang bervariasi. Mulai dari yang paling murah, yakni di kisaran Rp 900.000 hingga yang paling mahal di kisaran harga Rp 93.000.000.

Tidak hanya pembelian sepeda baru saja yang marak, namun pembelian sepeda bekas juga marak di Yogyakarta. Dikutip dari harianjogja.com, pembelian sepeda bekas di pasar GAPSSTA juga terjadi. Meski memang terbilang cukup murah, yakni di kisaran angka Rp 150.000-Rp 1.500.000, namun masih ada banyak saja pembelinya. Ada perbedaan mengenai harga dan kualitas, tapi kesamaannya adalah ada sebuah tren yang kembali hidup, yakni bersepeda

Tren ini akhirnya mempengaruhi bagaimana masyarakat menyesuaikan dengan kekuatan ekonominya masing-masing. Pembelian sepeda antara baru maupun yang bekas, pada dasarnya juga menimbulkan sebuah gejala baru, yakni kelas-kelas yang berkuasa, selalu dan mewajibkan diri untuk ikut terlibat di dalam merawat budaya populer. Kelas-kelas yang berkuasa jelas sangat tidak ingin kehilangan kekuasaan hegemoniknya terhadap kelas-kelas yang lebih rendah.

Orang-orang yang membeli sepeda baru dengan kisaran harga yang mahal dapat dipandang sebagai orang yang berkuasa. Sedangkan, orang-orang yang mungkin tidak memiliki faktor ekonomi yang cukup dan digambarkan sebagai pembeli sepeda bekas adalah orang-orang yang juga berusaha mengikuti hal serupa, dimana mereka kemudian dipandang sebagai orang-orang yang masuk ke dalam budaya rendah.

Disinilah, muncul yang dinamakan dengan persaingan kelas, dalam teori konsumsi, dimana orang-orang yang memiliki kapital akan melihat bahwa membeli sepeda baru menjadi hal yang keren dan mengikuti trend serta bertransformasi menjadi gaya hidup baru. Sedangkan, orang-orang yang membeli sepeda bekas akan dipandang sebagai orang yang menyimpang dari marwah trendnya dan hanya dicap sebagai budaya pengikut yang rendahan.

Kesimpulan

Covid-19 adalah sumber histeria massal dan media adalah agen yang mereplikasi histeria tersebut. Ketika media berhasil mereplikasi ketakutan secara ajeg, maka praktis masyarakat akan segera tunduk pada supremasi media. Tren boomingnya pembelian sepeda adalah wujud dari bagaimana media berhasil mendikte khalayak untuk melakukan suatu hal. Bentuk aktivitas ini disebut sebagai konsumsi dan bersumber dari adanya hiperrealitas.

Salah satu hiperrealitas tersebut adalah hadirnya opsi kepada masyarakat untuk bersepeda agar tetap sehat dan tetap bisa menjaga jarak fisik. Maka, iklan berusaha untuk merawat dan memelihara bentuk hiperrealitas tersebut dan menyodorkan idealisme mengenai konsumsi. Konsumsi yang dimaksud adalah konsumsi massal, yang praktis akan menimbulkan sebuah bentuk budaya populer di masyarakat, yang tak jarang juga akan menimbulkan persaingan antar kelas sosial.

Daftar Pustaka:

Storey, J. (2006). Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta. Jalasutra.

Uchjana O. (2003). Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung. Citra Aditya Bakti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun