Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Demonstrasi, Kebudayaan Tutur dan Rendahnya Aktivitas Literasi Membaca

4 November 2020   07:00 Diperbarui: 4 November 2020   07:04 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mahasiswa sedang mengikuti demo| mediaparahyangan.com

Berdasarkan penjelasan diatas, mengenai budaya kolektivisme dan pola budaya komunikasi konteks tinggi, masyarakat Indonesia sangat erat hubungannya sebagai masyarakat dengan budaya tutur yang kuat. 

Komunikasi, baik dalam bentuk verbal maupun nonverbal dalam masyarakat menjadi aspek yang paling penting untuk menjaga dan merawat kebersamaan di dalam kehidupan bermasyarakat.

Permasalahan mengenai rendahnya minat membaca dan karakter masyarakat Indonesia yang lekat dengan budaya tutur, menjadi asumsi bahwa aksi-aksi demo di Indonesia tidak pernah bisa disikapi dengan cara yang kritis dan skeptis. Dimana hal itu bisa dilakukan lewat pendekatan literasi yang bagus. 

Sebuah liputan yang diterbitkan oleh Kompas.com menampilkan sebuah analisis yang kemukakan oleh Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono.

Analisis yang dilaporkan dalam berita tersebut menitiberatkan pada sebuah pertanyaan, mengapa ada begitu banyak pelajar dari tingkat SMP hingga SMA yang ikut serta dalam demo menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja? Hasil analisis yang dikemukakan oleh Kartono menyebutkan bahwa ada tiga pihak utama yang menggerakan sebuah aksi demo. Pertama adalah koordinator lapangan; kedua adalah pengembang isu aksi dan ketiga adalah peserta demo.

Kartono menilai bahwa para pelajar ini datang sebagai peserta aksi demo, karena hanya untuk ikut-ikutan atas ajakan dari berbagai pihak. Analisis ini membuat Kartono yakin bahwa banyak dari mereka (para pelajar SMP/SMA) pasti tidak tahu secara tepat mengenai poin dan masalah yang diserukan dalam aksi demo. Disatu sisi, Kartono juga menilai bahwa para pelajar memanfaatkan aksi demo ini hanya untuk eksis dan menjadi bagian dari pergolakan sejarah.

Aksi demo yang terjadi, menurut laporan yang juga diterbitkan oleh Republika.co.id, menyebutkan bahwa para peserta demo yang didominasi oleh para pelajar, terinspirasi dari media sosial. Menurut Ketua KPAI Susanto, hampir 40 persen pelajar yang hadir di lokasi demonstrasi telah terpengaruh ajakan di media sosial (medsos). Menurut dia, anak-anak hanyalah korban karena teperdaya provokasi dan ajakan pihak-pihak yang tak bertanggung jawab.

Susanto dalam laporan tersebut menjelaskan bahwa salah satu alasan kuat yang membuat pelajar untuk ikut demo. Alasan tersebut adalah supaya mereka bisa menjadi viral. 

Tentu aksi ini diliputi atas ajakan dari berbagai pihak di media sosial yang digaungkan dalam bentuk tagar, seperti halnya tagar di Twitter #STMBergerak. Ajakan ini tentu cukup menginspirasi anak-anak ikut terlibat (unjuk rasa). Lalu, (pelajar) diajak oleh temannya agar bisa disebut sebagai pengikat solidaritas.

Tidak ada kebudayaan di dunia ini yang salah, sekalipun itu adalah kebudayaan tutur yang menjadi identitas sosial-antropologis dari masyarakat Indonesia. Tetapi, minat membaca dan literasi yang rendah di masyarakat kita, justru menjadi faktor dari rusaknya kebudayaan tutur.

Hal itu bisa dibuktikan dari penjabaran diatas, bahwa ada begitu banyak pelajar yang ikut demo tapi tidak mengerti dan tidak peduli mengenai konteks dan substansi yang diserukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun