Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Soekarno dan Kitab Kulinernya

17 Agustus 2020   07:00 Diperbarui: 18 Agustus 2020   09:00 2187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret dapur Gudeg Yu Djum yang masih menggunakan metode memasak tradisional dengan kayu bakar| Dok. pribadi/Thomas Panji

Podium dari seorang Soekarno tidak hanya sebatas di ranah politik, tetapi juga ada di ranah kuliner dan meja makan. 

Dirgahayu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ke-75! Tidak terasa Indonesia sudah bertumbuh menjadi bangsa yang besar dan ikut berkontribusi terhadap kehidupan bernegara di dunia. 

Umur 75 tahun bukanlah sekadar angka, tetapi juga menjadi penanda akan betapa panjangnya perjalanan sejarah yang telah ditempuh untuk bisa sampai ke tahap ini. Di mulai dari Soekarno hingga Jokowi saat ini, Indonesia telah melewati berbagai rintangan zaman.

Perlu dedikasi dan kosistensi tinggi untuk bisa membangun sebuah peradaban bangsa dan negara yang merdeka serta berdaulat seperti sekarang. 

Untuk lebih memahami bagaimana perjalanan sejarah serta rintangan yang di hadapi oleh bangsa kita, sepertinya akan menarik jika penulis membahas sebuah proyek politik yang pernah diusung oleh Bung Karno untuk menjadikan bangsa kita berdaulat atas pangan dan mempunyai fondasi kuat terhadap nilai-nilai kebudayaan kuliner. 

Mungkin bagi para penganut Sukarnois, cerita mengenai proyek politik yang pernah digagas oleh Bung Karno ini sudah tidak asing ditelinga mereka. 

Dimulai dari tahun 1960-1966, proyek politik yang digagas oleh Bung Karno ini kelak menjadi cikal bakal lahirnya sebuah buku memasak legendaris yang diharapkan menjadi pendoman bagi rakyat Indonesia untuk mau menghargai kekayaan kulinernya dengan menggunakan dan mengkonsumsi bahan baku lokal.

Buku itu bernama Mustikarasa. Mustikarasa adalah proyek yang diidamkan oleh Soekarno untuk menancapkan sebuah falsafah, yakni jika negara yang merdeka dan berdaulat adalah negara yang mampu menjamin ketahanan pangan bagi rakyatnya.

Tidak hanya itu, serta mampu memanfaatkan dan mengoptimalkan seluruh sumber daya pangan yang ada. Mustikarasa mungkin menjadi salah satu buku yang cukup kompleks dalam membahas kebudayaan kuliner rakyat Indonesia.

Bayangkan saja, untuk menulis buku ini, dibutuhkan waktu sekitar tujuh tahun dengan melibatkan banyak sekali instansi, ahli dan cendekiawan. 

Semua kerja keras selama tujuh tahun itu akhirnya tertuang ke dalam sebuah buku dengan total halaman sebanyak 1.123 halaman dan diisi oleh berbagai macam resep masakan nusantara; tata cara pengeolahan bahan makanan; ulasan dan esai mengenai gizi dari sebuah makanan; tata cara untuk bekerja di dapur dan masih banyak lagi.

Menulis sebuah buku selama tujuh tahun dan menghasilkan seribuan halaman, tentu bukan pekerjaan yang mudah. Mustikarasa memang proyek politik Soekarno.

Tapi pertanyaan mendasar yang membuat penulis penasaran adalah dari mana ide Soekarno ini berasal dan apa cita-cita terbesar yang ingin digapainya lewat buku kuliner ini? Untuk bisa tahu jawabannya, kita harus mengenal terlebih dahulu bagaimana selera makan dari seorang Soekarno.

Menurut JJ Rizal dalam Mustikarasa (2016), selera makan Soekarno pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan selera makan rakyat Indonesia pada umumnya. 

Menu makanan seperti sambel pecel, sambel lele, balado ikan, rendang daging, rendang ikan, empal daging, tempe bacem, sayur asem, tahu telur, segelas kopi dan secangkir teh manis adalah menu makanan dan minuman kesukaan dari Soekarno. Soekarno mungkin adalah orang yang setia dengan makanan Indonesia.

Kenampakan dari buku Mustikarasa cetakan ke-2| thejakartapost.com
Kenampakan dari buku Mustikarasa cetakan ke-2| thejakartapost.com

Menurut pengakuan dari Guntur Soekarno dalam Mustikarasa (2016), setiap kali ada acara untuk melawat ke luar negeri, Soekarno pasti akan selalu membawa segenap kru dapur istana untuk memasak dan menyediakan masakan yang dimintanya. 

Soekarno mungkin adalah orang yang sangat sulit berkompromi dengan selera lidahnya. Menurut cerita dari Guntur Soekarno, sambel pecel adalah makanan pokok yang akan selalu dibawa oleh Soekarno kemanapun dia pergi.

Bagi Soekarno, sambel pecel adalah azimat ketika dirinya tidak bisa menemukan atau menerima makanan yang cocok dengan selera lidahnya. Menurut cerita dari Guntur Soekarno, dalam lawatannya ke Mongolia, Soekarno hanya makan roti dengan sambel pecel saja setiap hari. 

Ini dikarenakan hampir seluruh makanan Mongolia selalu dicampur dengan susu kuda. Berangkat dari masalah itulah, Soekarno mengukuhkan sikapnya untuk semakin mencintai masakan Indonesia.

Selain memiliki adiksi besar terhadap sambel pecel, Soekarno juga sangat terkenal sebagai pribadi yang unik dalam urusan makanan.

Soekarno terkenal sebagai pribadi yang suka makan dengan tangan; gemar menyantap sambel langsung dari cobeknya; suka minum teh dengan sakarin; tidak suka makan mangga yang sudah dikupas lama dan terkena udara luar; tidak suka makan jengkol dan pete; serta keunikan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Keunikan makan dan juga kecintaannya yang begitu besar terhadap kuliner Indonesia, kemudian memantiknya untuk menemukan formula dalam memanfaatkan kekayaan kuliner sebagai komoditas politik negara dan alat diplomasi.

Menurut Roeslan Abdul Gani dalam Mustikarasa (2016), pemikiran Soekarno untuk memanfaatkan makanan sebagai komoditas politik dan alat diplomasi sudah muncul sejak ibu kota RI masih berkediaman di Yogyakarta.

Soekarno mendapatkan inspirasi untuk menjadikan kuliner sebagai komoditas politik dan alat diplomasi saat dirinya mengetahui bahwa makanan menjadi unsur penting karena dinilai memiliki kekuatan magis untuk mempengaruhi keputusan dan persepsi politik. 

Bagi Soekarno, bersantap sedap saja tidaklah cukup. Sebagai seorang negarawan dan politikus sejati, Soekarno harus bereksperimen dengan banyak cara agar dapat memenangkan pertarungan politik.

Salah satu cara yang ditempuh oleh Soekarno adalah dengan memanfaatkan jamuan makan kenegaraan. Dalam praktiknya, menururt Roeslan Abdul Gani, Soekarno sering sekali turun tangan untuk menjadi supervisor dalam menyeleksi makanan-makanan apa saja yang harus dihidangkan. 

Soekarno selalu memberikan arahan dan perintah untuk menghidangkan menu makanan Indonesia totok, seperti soto, gado-gado, sate, klepon, pukis, lemper, dawet dan aneka menu lainnya.

Misi Soekarno untuk membangun citra politik dan diplomasinya lewat makanan mencapai puncaknya ketika Konferensi Asia-Afrika di gelar di Bandung pada tahun 1955. 

Soekarno yang terkenal sebagai tokoh anti terhadap kapitalisme dan kolonialisme ini, semakin menunjukkan taji diplomasi kulinernya dengan menyuguhkan beranekaragam produk panganan khas suku Sunda, seperti opak, bandrek, colenak dan juga sate Madrawi Bandung yang menjadi kesukaan Soekarno.

Keseriusan Soekarno terhadap politik kuliner semakin menjadi ketika dirinya menjalankan saran dari Sunardjo, seorang ahli makanan dari Lembaga Makanan Rakyat dan B. Napitupulu dari Akademi Pendidikan Nutrisionis (Rizal, 2016). 

Kedua tokoh tersebut adalah mereka yang berusaha untuk mencari data dan fakta yang dapat menandingi temuan FAO dalam sebuah laporan yang berjudul Production Yearbook FAO pada tahun 1958.

Dalam laporan tersebut, FAO menyatakan bahwa Indonesia memiliki persediaan pangan yang rendah. Temuan dari FAO kemudian menyulut Soekarno untuk mencari strategi agar bangsa Indonesia dapat dipandang secara politis sebagai bangsa yang makmur dan kaya dari segi ketahanan pangannya. 

Sedikit untuk diulas, Production Yearbook FAO sejatinya hanya mengulas produk pangan yang jenisnya sangat umum diproduksi dan dikonsumsi dalam jumlah massal.

Kecukupan stok beras yang dimiliki oleh Indonesia menjadi perhatian utama FAO untuk mengkritik pemerintahan Soekarno yang tidak becus dalam menyediakan kebutuhan pangan yang cukup bagi rakyatnya.  

Dari sinilah Soekarno memulai proyek politiknya untuk memproduksi Mustikarasa sebagai alat tanding untuk menunjukkan jika Indonesia adalah negara yang kaya akan pangan dan tidak melulu makan nasi sebagai panganan pokok.

Lewat penandatanganan memo 98/Kabmen pada 12 Desember 1960 yang dilakukan oleh Menteri Pertanian saat itu, Brig. Djen. Dr. Azis Saleh yang ditunjukan kepada Sekretaris Djendral Pertanian, proyek untuk membuat buku Mustikarasa resmi dimulai.

Disinilah impian politik terbesar dari pemikiran Soekarno, yakni menciptakan self-reliance atau percaya kepada kekuatan sendiri dan self-supporting atau swadaya dalam memanfaatkan bahan pangan yang ada.

Self-reliance dan self-supporting sebetulnya menjadi dua misi Soekarno untuk mencari panganan pokok alternaltif yang dapat berfungsi sebagai pengganti beras sebagai makanan pokok. 

Buku Mustikarasa kemudian dijadikan alat untuk memberikan panduan dan pengetahuan bagi masyarakat supaya mereka lebih mengetahui aneka bahan pangan yang bisa menjadi pengganti beras. Semangat self-reliance adalah tidak bergantung pada beras saja sebagai panganan pokok.

Potret dapur Gudeg Yu Djum yang masih menggunakan metode memasak tradisional dengan kayu bakar| Dok. pribadi/Thomas Panji
Potret dapur Gudeg Yu Djum yang masih menggunakan metode memasak tradisional dengan kayu bakar| Dok. pribadi/Thomas Panji

Jika semangat dari self-reliance ini kemudian berjalan, maka selanjutnya Soekarno akan melaksanakan self-supporting untuk dapat memproduksi beras secara mandiri dan tidak bergantung pada negara manapun untuk mengimpor. 

Soekarno tahu betul bahwa rakyatnya sudah sangat kencaduan dengan beras sebagai panganan pokok. Alasan ini lah yang kemudian mendesaknya untuk menemukan panganan alternaltif bagi rakyatnya.

Rakyat Indonesia yang sudah kecanduan beras kemudian menyebabkan masalah. Meski produk beras di dalam negeri meningkat, tetapi kapasitasnya tidak cukup untuk seluruh masyarakat.

Alhasil, Soekarno setiap tahunnya harus mengeluarkan uang sampai 150 juta dollar hanya untuk impor beras (Rizal, 2016). Inilah hal yang tidak diinginkan oleh Soekarno. Sehingga, ambisi proyek politik kuliner lewat Mustikarasa menjadi salah satu priotitas proyek strategisnya.

Proyek politik ini kemudian mulai dijalankan dengan melibatkan banyak sekali institus, mulai dari institusi pendidikan, pertanian, perikanan, kesehatan dan lainnya.

Proyek ini juga ikut melibatkan tiga sarjana muda dari Akademi Pendidikan Nutrisionis untuk mengumpulkan data seperti resep dari sumber-sumber ahli kuliner, seperti wartawan kuliner; koki di hotel ternama; restoran; warung makan tradisional dan juga dapur rumah tangga (Rizal, 2016).

Selain itu juga, tiga sarjana ini juga melakukan serangkaian cooking test untuk menguji ketepatan dan keakuratan data yang didapat dengan hasil masakan yang sesuai ekspektasi. 

Setelah selesai dikerjakan kurang lebih selama empat tahun, buku yang diidam-idamkan oleh Soekarno ini pun akhirnya selesai, meski masih dalam bentuk dumi atau purwarupa dan masih harus diteliti oleh dewan ahli. Buku ini memiliki 1.600 resep masakan dan memiliki sekitar 1.123 halaman.

Selesainya pengerjaan dumi buku Mustikarasa pun kemudian disambut baik oleh Soekarno dan menjadi penanda dari dimulainya era untuk memperkuat kekuatan politik dan revolusi pangan untuk menggantikan kedudukan beras sebagai makanan pokok.

Puncak dari proyek politik pangan yang sering digaungkan oleh Soekarno sebagai self-reliance dan self-supporting ini, mencapai puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1964.

Dalam pidato kenegaraannya yang bertajuk Tahun Vivere Pericoloso (Tavip), Soekarno pernah mengucapkan sebuah kalimat yang akan mengubah karir politiknya. 

“Sejak 17 Agustus 1964 ini saya mengkehendaki kita tidak akan membikin kontrak baru bagi pembelian beras dari luar negeri!” 

Pernyataan isi dari pidato tersebut, sontak saja langsung menyulut amarah dari masyarakat luas dan langsung membuat harga bahan pangan meroket tajam.

Beras kemudian menjadi bahan pangan yang paling terdampak, sampai-sampai rakyat Indonesia harus membuat Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) yang salah isinya menyurakan untuk menurunkan harga pangan, yakni beras.

Menurut JJ Rizal dalam Mustikarasa (2016), Soe Hok Gie pernah membuat sebuah esai yang mengulas tentang guncangan sosial yang diakibatkan oleh langkanya bahan pokok. Soe Hok Gie melaporkan bahwa harga beras naik mulai dari 300-500% besarnya!

Situasi yang kacau balau selain dikarenakan oleh naiknya harga pangan, juga harus diikuti oleh meletusnya kasus G-30S/PKI dan tidak baiknya kinerja dari kabinet Dwikora.

Ketiga masalah inilah yang kemudian menjadi bumerang bagi Soekarno atas ambisi politiknya. Krisis kepercayaan terhadap pemerintah merebak dan sampailah di peristiwa kudeta merangkak terhadap dirinya yang dilakukan oleh kelompok tentara pimpinan Soeharto pada bulan Februari 1967.

Meski dirinya telah dikudeta dan dilupakan oleh rekan-rekan sejawatnya, termasuk Hatta, proyek politik buku Mustikarasa dambaan Soekarno tetap diterbitkan oleh Kementrian Pertanian di bawah pimpinan Menteri Soetjipto pada tahun 1967.

Buku Mustikarasa tetap menjadi salah satu aset yang bagus bagi dunia kuliner Indonesia. Buku ini tidak hanya berhasil menjelaskan alasan politisnya saja, tetapi juga menjadi akar pengetahuan gastronomi kuliner Indonesia.

Mustikarasa adalah sebuah mahakarya politik yang disusun dengan penuh dedikasi dan kerja keras. Meski kita tahu bahwa saat itu Mustikarasa cenderung memaksakan hak masyarakat untuk tidak mengkonsumsi beras.

Namun satu hal yang perlu diingat adalah Mustikarasa membuka jalan atas keluputan kita bahwa Indonesia di anugerahi dengan kekayaan kuliner yang luar biasa. Sebagai negara yang merdeka, kita patut untuk bangga dan terus mewarisinya. Merdeka!

Daftar Pustaka:

Dewan Pertanian. 2016. Mustikarasa Resep Masakan Indonesia Warisan Soekarno Cetakan II. Jakarta. Komunitas Bambu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun