Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Soekarno dan Kitab Kulinernya

17 Agustus 2020   07:00 Diperbarui: 18 Agustus 2020   09:00 2187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kenampakan dari buku Mustikarasa cetakan ke-2| thejakartapost.com

Rakyat Indonesia yang sudah kecanduan beras kemudian menyebabkan masalah. Meski produk beras di dalam negeri meningkat, tetapi kapasitasnya tidak cukup untuk seluruh masyarakat.

Alhasil, Soekarno setiap tahunnya harus mengeluarkan uang sampai 150 juta dollar hanya untuk impor beras (Rizal, 2016). Inilah hal yang tidak diinginkan oleh Soekarno. Sehingga, ambisi proyek politik kuliner lewat Mustikarasa menjadi salah satu priotitas proyek strategisnya.

Proyek politik ini kemudian mulai dijalankan dengan melibatkan banyak sekali institus, mulai dari institusi pendidikan, pertanian, perikanan, kesehatan dan lainnya.

Proyek ini juga ikut melibatkan tiga sarjana muda dari Akademi Pendidikan Nutrisionis untuk mengumpulkan data seperti resep dari sumber-sumber ahli kuliner, seperti wartawan kuliner; koki di hotel ternama; restoran; warung makan tradisional dan juga dapur rumah tangga (Rizal, 2016).

Selain itu juga, tiga sarjana ini juga melakukan serangkaian cooking test untuk menguji ketepatan dan keakuratan data yang didapat dengan hasil masakan yang sesuai ekspektasi. 

Setelah selesai dikerjakan kurang lebih selama empat tahun, buku yang diidam-idamkan oleh Soekarno ini pun akhirnya selesai, meski masih dalam bentuk dumi atau purwarupa dan masih harus diteliti oleh dewan ahli. Buku ini memiliki 1.600 resep masakan dan memiliki sekitar 1.123 halaman.

Selesainya pengerjaan dumi buku Mustikarasa pun kemudian disambut baik oleh Soekarno dan menjadi penanda dari dimulainya era untuk memperkuat kekuatan politik dan revolusi pangan untuk menggantikan kedudukan beras sebagai makanan pokok.

Puncak dari proyek politik pangan yang sering digaungkan oleh Soekarno sebagai self-reliance dan self-supporting ini, mencapai puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1964.

Dalam pidato kenegaraannya yang bertajuk Tahun Vivere Pericoloso (Tavip), Soekarno pernah mengucapkan sebuah kalimat yang akan mengubah karir politiknya. 

“Sejak 17 Agustus 1964 ini saya mengkehendaki kita tidak akan membikin kontrak baru bagi pembelian beras dari luar negeri!” 

Pernyataan isi dari pidato tersebut, sontak saja langsung menyulut amarah dari masyarakat luas dan langsung membuat harga bahan pangan meroket tajam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun