Soekarno terkenal sebagai pribadi yang suka makan dengan tangan; gemar menyantap sambel langsung dari cobeknya; suka minum teh dengan sakarin; tidak suka makan mangga yang sudah dikupas lama dan terkena udara luar; tidak suka makan jengkol dan pete; serta keunikan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Keunikan makan dan juga kecintaannya yang begitu besar terhadap kuliner Indonesia, kemudian memantiknya untuk menemukan formula dalam memanfaatkan kekayaan kuliner sebagai komoditas politik negara dan alat diplomasi.
Menurut Roeslan Abdul Gani dalam Mustikarasa (2016), pemikiran Soekarno untuk memanfaatkan makanan sebagai komoditas politik dan alat diplomasi sudah muncul sejak ibu kota RI masih berkediaman di Yogyakarta.
Soekarno mendapatkan inspirasi untuk menjadikan kuliner sebagai komoditas politik dan alat diplomasi saat dirinya mengetahui bahwa makanan menjadi unsur penting karena dinilai memiliki kekuatan magis untuk mempengaruhi keputusan dan persepsi politik.Â
Bagi Soekarno, bersantap sedap saja tidaklah cukup. Sebagai seorang negarawan dan politikus sejati, Soekarno harus bereksperimen dengan banyak cara agar dapat memenangkan pertarungan politik.
Salah satu cara yang ditempuh oleh Soekarno adalah dengan memanfaatkan jamuan makan kenegaraan. Dalam praktiknya, menururt Roeslan Abdul Gani, Soekarno sering sekali turun tangan untuk menjadi supervisor dalam menyeleksi makanan-makanan apa saja yang harus dihidangkan.Â
Soekarno selalu memberikan arahan dan perintah untuk menghidangkan menu makanan Indonesia totok, seperti soto, gado-gado, sate, klepon, pukis, lemper, dawet dan aneka menu lainnya.
Misi Soekarno untuk membangun citra politik dan diplomasinya lewat makanan mencapai puncaknya ketika Konferensi Asia-Afrika di gelar di Bandung pada tahun 1955.Â
Soekarno yang terkenal sebagai tokoh anti terhadap kapitalisme dan kolonialisme ini, semakin menunjukkan taji diplomasi kulinernya dengan menyuguhkan beranekaragam produk panganan khas suku Sunda, seperti opak, bandrek, colenak dan juga sate Madrawi Bandung yang menjadi kesukaan Soekarno.
Keseriusan Soekarno terhadap politik kuliner semakin menjadi ketika dirinya menjalankan saran dari Sunardjo, seorang ahli makanan dari Lembaga Makanan Rakyat dan B. Napitupulu dari Akademi Pendidikan Nutrisionis (Rizal, 2016).Â
Kedua tokoh tersebut adalah mereka yang berusaha untuk mencari data dan fakta yang dapat menandingi temuan FAO dalam sebuah laporan yang berjudul Production Yearbook FAO pada tahun 1958.