Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Jurnalisme Ramah Publik, Strategi Menangkal Bias Optimisme

1 Juli 2020   08:10 Diperbarui: 1 Juli 2020   16:41 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi ini sudah sangat menakutkan. Meski begitu, kenapa masih banyak orang yang melanggar aturan kesehatan?

Kita sepakati bersama jika virus korona (Covid-19) adalah musuh masyarakat global. Secara kalkulasi, kurva kasus pasien positif terus mengalami peningkatan diseluruh dunia. 

Meski terus meningkat, namun, ada beberapa negara yang sudah berhasil untuk meredam penyebaran bahkan menumpas habis virus ini. Selandia Baru, Thailand, Timor Leste, Vietnam, Fiji, Tanzania, Madagaskar dan Tiongkok adalah beberapa negara yang berhasil mengalahkan virus ini. 

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Berita baiknya, Indonesia menunjukkan tren positif dalam menekan penyebaran virus ini yang dibuktikan dengan meroketnya jumlah pasien sembuh secara perhitungan nasional. Meski dinilai cukup berhasil, namun tampaknya Covid-19 masih akan tetap menggerogoti Indonesia dalam waktu yang cukup lama.

Pandangan pesimis ini datang dari masyarakat yang masih suka melanggar aturan kesehatan. Pelanggaran kesehatan tentu akan sangat merusak perencanaan dan penerapan dari normal baru (new normal) yang digagas oleh pemerintah. 

Dikutip dari Tirto.id, Pemerintah Indonesia melalui juru bicara penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, menyebutkan, penerapan normal baru adalah sebuah upaya yang digalakkan pemerintah untuk kembali menghidupkan geliat aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat yang diikuti oleh penerapan protokol kesehatan. 

Normal baru memang menjadi solusi. Namun, jika masyarakat tetap tidak mematuhi aturan kesehatan, maka rencana ini bisa menjadi petaka. Kalau impian masyarakat adalah ingin bebas sepenuhnya dari cengkraman korona, lalu mengapa masih banyak orang yang suka melanggar aturan kesehatan?

Melanggar peraturan adalah sebuah fenomena yang tidak lepas dari urusan ilmu psikologi. Menurut Becky Storey dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Augustine Dwiputri dengan judul “Mematuhi Aturan” yang diterbitkan oleh Koran Harian Kompas (2/5/2020), menjelaskan, manusia cenderung menaati aturan karena mereka takut akan hukuman atau bisa jadi karena mereka benar-benar meyakini atas apa yang diperintahkan. 

Kedua bentuk ketaatan tersebut dimulai dari pemahaman secara personal yang kemudian berubah menjadi suatu pemahaman umum karena makin banyak orang yang menaati peraturan.

Media memainkan kemampuan merepetisi pesan komunikasi untuk semakin mempengaruhi banyak orang agar menaati sebuah peraturan dan memahami konsekuensi yang diterima jika melanggar. 

Pesan yang terus di repetisi secara ajeg dan konsisten, akan menimbulkan suatu fenomena, dimana psikis seseorang akan menjadi sangat lemah dan timbul suatu sudut pandang yang menormalisasi sebuah keadaan, jika semuanya tampak positif saja dan seolah tidak terjadi ada apa-apa, yang sebetulnya berkebalikan dari kondisi asli yang diklaim baik-baik saja. Para psikolog sering menyebutnya dengan bias optimisme.

Bias optimisme atau optimism bias menurut Sharot (2011) adalah sebuah keadaan kognisi, dimana manusia cenderung hanya menerima dan melebih-lebihkan kemungkinan positif serta meremehkan kemungkinan negatif yang bisa saja terjadi kepadanya di esok hari. 

Fenomena ini lahir karena otak manusia memiliki kemampuan kognitif untuk mengabaikan segala bentuk peristiwa yang tidak diinginkan dan hanya mau menerima fantasi soal rasa positif yang kadang dilebih-lebihkan. 

Ketika seseorang belum pernah merasakan secara langsung hal yang tidak diinginkan, maka mereka akan menganggap semuanya tampak baik-baik saja. 

Namun, saat peristiwa yang tidak diharapkan datang, mereka mulai panik dan menjadi kapok karena telah meremehkan keadaan yang sedang terjadi disekitar mereka.

lustrasi mengenai penggunaan masker dan mematuhi aturan kesehatan | id.nfplitigation.com
lustrasi mengenai penggunaan masker dan mematuhi aturan kesehatan | id.nfplitigation.com

Bias optimisme berasal dari amygdala, yakni bagian di otak yang mencatat rasa takut dan mengaktifkan hormon stress serta sistem saraf simpatetik yang menimbulkan respon flight or fight (hindari atau hadapi) ketika menghadapi sebuah ancaman (Rachman & Jakob, 2020). 

Semakin sering amygdala menerima informasi tentang Covid-19 dari berita-berita dan pembahasan isu di media secara progresif, maka amygdala menjadi bingung untuk menentukan rangsangan sikap dan akan membuat kerjanya menjadi pasif. 

Rasa bingung dan pasif inilah yang kemudian memampukan amygdala untuk menghasilkan caution fatigue.

Caution fatigue menurut Jacqueline Gollan dalam Rachman & Jakob (2020) adalah sebuah keadaan, ketika individu merasa lelah untuk menaati protokol kesehatan, karena sering terpapar oleh derasnya arus berita dan informasi dari media mengenai korona dan aturan kesehatannya. 

Karena terlalu sering terpapar, caution fatigue memiliki kemampuan untuk mereduksi daya sensitivitas kita terhadap sebuah peringatan yang terus diulang-ulang mengenai Covid-19 di media, atau mudahnya kita mulai menjadi “bodo amat” atas kondisi yang ada. 

Di sinilah cara berpikir bias optimisme terbentuk. Ketika amygdala sudah lelah dan sampai menimbulkan caution fatigue, maka bias optimisme akan mengarahkan otak kita untuk mencoba melanggar aturan kesehatan.

Amygdala mengalami konflik antara aturan yang harus ditaati dengan adanya keinginan emosional yang harus dipenuhi. Terciptanya konflik semata-mata juga tidak datang dari arus informasi yang deras, namun juga dipengaruhi oleh temuan observasi masyarakat yang berbeda dari yang sering di repetisi oleh media. 

Ketika masyarakat menemukan masih banyak orang yang melanggar aturan kesehatan, maka mereka akan memiliki sudut pandang yang sama, yakni tampaknya akan baik-baik saja sekalipun tidak menaati aturan kesehatan yang sering disampaikan oleh media. Hal ini tentu sangat berbahaya, karena masyarakat menjadi semakin tidak waspada dan justru menganggap enteng sebuah situasi krisis

Dalam artikel ini, tampaknya penulis mengikutsertakan media sebagai pihak yang berkontribusi dalam melahirkan bias optimisme. 

Sebetulnya, media selama pandemi ini justru menjadi agen yang berjasa untuk mengingatkan masyarakat dalam memahami seberapa bahayanya Covid-19 dan bagaimana caranya agar masyarakat siap untuk menghadapi sebuah situasi krisis karena pandemi. Media kita tidak punya tujuan dan waktu untuk menciptakan bias optimisme.

Namun, banyaknya informasi yang beredar adalah konsekuensi karena kita selama ini melihat media hanya sebagai barang pasar (market goods) yang ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran, bukan sebagai barang publik (public goods) yang kerjanya ditujukan atas nama kepentingan publik. 

Dengan begitu, media harus membuat banyak konten berita secara progresif agar engagement-Nya naik dan mendapat keuntungan besar, supaya kerja jurnalismenya bisa bertahan. 

Konsekuensinya bagi kita, arus informasi jadi semakin deras dan membuat daya berpikir kita lelah sehingga keinginan untuk melanggar aturan semakin besar.

Tampak dua pelanggar PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) sedang menjalani hukuman membersihkan jalan | fajar.co.id
Tampak dua pelanggar PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) sedang menjalani hukuman membersihkan jalan | fajar.co.id

Cerita ini tentu akan berbeda jika masyarakat melihat media sebagai barang publik. Meminjam gagasan dari Roy Thaniago, dalam artikelnya yang berjudul Selamatkan Jurnalisme Bukan dengan Sekoci, yang dimuat dalam Koran Harian Kompas (8/6/2020), menyebutkan, jika media dipandang sebagai barang publik dan ada tindakan untuk merawat serta mendukung kerja jurnalisme, seperti memberikan donasi dan lainnya, maka, otomatis masyarakat bisa mendapatkan informasi dan berita yang berkualitas dengan jumlah berita beredar yang disesuaikan dengan jumlah permintaan dari pihak yang merawat serta membantu kerja jurnalisme agar ramah terhadap publik dan suatu komunitas masyarakat. Dengan begitu, publik menjadi cerdas dan semakin mapan dalam melihat sebuah situasi yang sedang mereka hadapi.

Dalam artikelnya, Roy Thaniago memiliki empat gagasan yang menjadi dasar untuk negara dan masyarakat dalam membantu jurnalisme agar kerjanya menjadi ramah terhadap publik. 

Gagasan tersebut seperti, mengubah entitas sebuah media dari berorientasi laba menjadi nirlaba, seperti:

  1. Pendapatan media, dalam porsi yang besar harus dialokasikan dan dipakai untuk mengongkosi kerja dari jurnalisme, bukan untuk pengambilan keuntungan secara pribadi oleh si pemilik media.
  2. Mengubah struktur kepemilikan media, dari kepemilikan tunggal ke kepemilikan bersama. Seperti memasukan serikat pekerja media ke dalam perusahaan untuk menjadi kelompok yang dapat berkontribusi dalam menentukan arah kerja dari jurnalisme yang berpihak dan ramah pada publik.
  3. Mendirikan badan independen untuk mengelola dana bagi kerja jurnalisme. Badan independen ini nantinya dapat diisi oleh berbagai elemen publik yang beragam, seperti kelompok marginal, seniman lokal, aktivis kemanusiaan dan lainnya untuk menjadi dewan pengawas. Cara yang demikian dapat membentuk sikap yang adil terhadap semua golongan
  4. Pemerintah bisa memberi kebijakan insentif pengurangan pajak bagi individu wartawan agar kerja dan dedikasinya semakin dihargai. Seperti memberikan pendidikan tambahan bagi para jurnalis, memberikan keringanan dalam urusan kesehatan, kebutuhan dasar dan lainnya

Pada akhirnya, kita harus menyadari bahwa dengan jurnalisme yang ramah publik, maka masyarakat bisa menjaga kewarasan, karena mereka telah memiliki sumber informasi yang bisa dipercaya dan dijadikan acuan untuk membantu dalam mengatasi ketidakmampuan menyaring banjir informasi yang bisa menimbulkan rasa lelah berpikir dan memicu lahirnya pemikiran bias optimisme yang dapat menciptakan tindakan melanggar aturan kesehatan. 

Dengan media ramah publik, konten berita yang disajikan tentunya berkualitas serta disesuaikan jumlahnya dengan kebutuhan publik. Keadaan seperti ini diharapkan dapat membuat masyarakat menjadi semakin yakin dalam mengatasi dan mencegah munculnya pemikiran bias optimisme, yang tentunya sangat merugikan semua orang.

Daftar Pustaka
Thaniago. 2020. Selamatkan Jurnalisme Bukan dengan Sekoci. Jakarta. Koran Harian Kompas
Rachman & Jakob. 2020. Caution Fatigue. Jakarta. Koran Harian Kompas
Dwiputri. 2020. Mematuhi Aturan. Jakarta. Koran Harian Kompas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun