Amygdala mengalami konflik antara aturan yang harus ditaati dengan adanya keinginan emosional yang harus dipenuhi. Terciptanya konflik semata-mata juga tidak datang dari arus informasi yang deras, namun juga dipengaruhi oleh temuan observasi masyarakat yang berbeda dari yang sering di repetisi oleh media.
Ketika masyarakat menemukan masih banyak orang yang melanggar aturan kesehatan, maka mereka akan memiliki sudut pandang yang sama, yakni tampaknya akan baik-baik saja sekalipun tidak menaati aturan kesehatan yang sering disampaikan oleh media. Hal ini tentu sangat berbahaya, karena masyarakat menjadi semakin tidak waspada dan justru menganggap enteng sebuah situasi krisis
Dalam artikel ini, tampaknya penulis mengikutsertakan media sebagai pihak yang berkontribusi dalam melahirkan bias optimisme.
Sebetulnya, media selama pandemi ini justru menjadi agen yang berjasa untuk mengingatkan masyarakat dalam memahami seberapa bahayanya Covid-19 dan bagaimana caranya agar masyarakat siap untuk menghadapi sebuah situasi krisis karena pandemi. Media kita tidak punya tujuan dan waktu untuk menciptakan bias optimisme.
Namun, banyaknya informasi yang beredar adalah konsekuensi karena kita selama ini melihat media hanya sebagai barang pasar (market goods) yang ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran, bukan sebagai barang publik (public goods) yang kerjanya ditujukan atas nama kepentingan publik.
Dengan begitu, media harus membuat banyak konten berita secara progresif agar engagement-Nya naik dan mendapat keuntungan besar, supaya kerja jurnalismenya bisa bertahan.
Konsekuensinya bagi kita, arus informasi jadi semakin deras dan membuat daya berpikir kita lelah sehingga keinginan untuk melanggar aturan semakin besar.
Cerita ini tentu akan berbeda jika masyarakat melihat media sebagai barang publik. Meminjam gagasan dari Roy Thaniago, dalam artikelnya yang berjudul “Selamatkan Jurnalisme Bukan dengan Sekoci”, yang dimuat dalam Koran Harian Kompas (8/6/2020), menyebutkan, jika media dipandang sebagai barang publik dan ada tindakan untuk merawat serta mendukung kerja jurnalisme, seperti memberikan donasi dan lainnya, maka, otomatis masyarakat bisa mendapatkan informasi dan berita yang berkualitas dengan jumlah berita beredar yang disesuaikan dengan jumlah permintaan dari pihak yang merawat serta membantu kerja jurnalisme agar ramah terhadap publik dan suatu komunitas masyarakat. Dengan begitu, publik menjadi cerdas dan semakin mapan dalam melihat sebuah situasi yang sedang mereka hadapi.
Dalam artikelnya, Roy Thaniago memiliki empat gagasan yang menjadi dasar untuk negara dan masyarakat dalam membantu jurnalisme agar kerjanya menjadi ramah terhadap publik.
Gagasan tersebut seperti, mengubah entitas sebuah media dari berorientasi laba menjadi nirlaba, seperti:
- Pendapatan media, dalam porsi yang besar harus dialokasikan dan dipakai untuk mengongkosi kerja dari jurnalisme, bukan untuk pengambilan keuntungan secara pribadi oleh si pemilik media.
- Mengubah struktur kepemilikan media, dari kepemilikan tunggal ke kepemilikan bersama. Seperti memasukan serikat pekerja media ke dalam perusahaan untuk menjadi kelompok yang dapat berkontribusi dalam menentukan arah kerja dari jurnalisme yang berpihak dan ramah pada publik.
- Mendirikan badan independen untuk mengelola dana bagi kerja jurnalisme. Badan independen ini nantinya dapat diisi oleh berbagai elemen publik yang beragam, seperti kelompok marginal, seniman lokal, aktivis kemanusiaan dan lainnya untuk menjadi dewan pengawas. Cara yang demikian dapat membentuk sikap yang adil terhadap semua golongan
- Pemerintah bisa memberi kebijakan insentif pengurangan pajak bagi individu wartawan agar kerja dan dedikasinya semakin dihargai. Seperti memberikan pendidikan tambahan bagi para jurnalis, memberikan keringanan dalam urusan kesehatan, kebutuhan dasar dan lainnya
Pada akhirnya, kita harus menyadari bahwa dengan jurnalisme yang ramah publik, maka masyarakat bisa menjaga kewarasan, karena mereka telah memiliki sumber informasi yang bisa dipercaya dan dijadikan acuan untuk membantu dalam mengatasi ketidakmampuan menyaring banjir informasi yang bisa menimbulkan rasa lelah berpikir dan memicu lahirnya pemikiran bias optimisme yang dapat menciptakan tindakan melanggar aturan kesehatan.