Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hikayat Watu Gilang: Kesederhanaan, Amarah, dan Kejayaan

19 April 2020   08:00 Diperbarui: 17 Mei 2022   10:13 2222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bangunan yang melindungi Watu Gilang, tahun 1925| pinterest.com/Uploaded by Oud Indie

Setiap kerajaan diseluruh dunia pasti akan memiliki sebuah singgasana. Singgasana pada hakikat dan fungsinya memang diperuntukan sebagai tempat duduk atau kursi bagi seorang Raja untuk bertakhta atas kekuasaan yang dimilikinya. 

Singgasana raja dalam perspektif dan imaji masyarakat umum mungkin digambarkan sebagai rupa dari kursi yang mahal, berlapis emas, terlihat megah nan elok dan kedudukannya pasti jauh lebih tinggi dari hamba-hambanya. 

Namun, siapa sangka jika ternyata pernah ada sebuah kerajaan di Indonesia yang memiliki singgasana yang sangat sederhana yang jauh dari imaji megah dan elok. 

Bayangkan saja, singgasana ini terbuat dari sebuah batuan andesit alami, berbentuk pahatan persegi, berukuran 2x2 meter dan memiliki ketebalan hampir 30 sentimeter. Singgasana raja ini terletak disebuah kota kuno di Provinsi D. I Yogyakarta. 

Kota itu bernama Kotagede, kota pertama yang muncul di tanah Yogyakarta dan sekaligus menjadi ibu kota pertama dari kerajaan paling termashyur di Indonesia saat itu, Kerajaan Mataram Islam. Singgasana raja itu sering disebut penduduk lokal sebagai Watu Gilang.

Watu Gilang sejatinya adalah satu dari sekian banyak peninggalan artefak sejarah dari Kerajaan Mataram Islam saat ibu kota Mataram masih berlokasi di Kotagede. Watu Gilang sendiri sebagai artefak sejarah dianggap masih menyimpan begitu banyak misteri. 

Salah satu misteri yang belum terpecahkan adalah apakah benar Watu Gilang dahulunya di peruntukan sebagai singgasana raja? Pajarno, seorang abdi dalem dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang bertugas menjadi juru kunci dari situs sejarah Watu Gilang kemudian menjadi pemandu wisata saya untuk menjelaskan secara lebih dalam terkait dengan sejarah dan seluk beluk dari situs sejarah Watu Gilang. 

Pajarno menjabarkan dan mengklaim secara cukup gamblang bahwa memang situs Watu Gilang pada dasarnya adalah singgasana Raja bagi Raja pertama Mataram Islam kala itu, yakni Panembahan Senopati.

Pajarno menjelaskan bahwa Watu Gilang ini adalah sebuah batuan alami yang sudah berada disana sebelum Kerajaan Mataram Islam berdiri. Watu Gilang sendiri pada dasarnya berada di sebuah hutan yang bernama Hutan Mentaok atau dalam bahasa Jawa disebut Alas Mentaok

Alas Mentaok pada awal sejarahnya adalah sebuah pemberian hadiah tanah dari Raja Pajang, Hadiwijaya kepada Ki Ageng Pemanahan, ayah dari Panembahan Senopati. 

Pemberian hadiah itu pada dasarnya diberikan atas jasa dari Ki Ageng Pemanahan yang telah berhasil mengalahkan musuh dari Kerajaan Pajang, yakni Arya Penangsang. 

Atas pemberian hadiah berupa Alas Mentaok tersebut, kemudian Ki Ageng Pemanahan dan Panembahan Senopati bersama dengan para pengikutnya mulai untuk membangun kerajaan baru dan kelak diberi nama Kerajaan Mataram Islam. 

Kabarnya, nama dari Mataram sendiri diambil dari nama menatok, pohon yang menjadi flora dominan di hutan tersebut. Kata menatok ini kemudian digabungkan dengan kata harum yang kemudian dikenal sebagai menatok arum atau menatok yang harum. Kemudian nama tersebut berubah menjadi Mentaram dan kemudian berubah lagi menjadi Mataram sampai sekarang.

Bangunan yang melindungi Watu Gilang, tahun 1925| pinterest.com/Uploaded by Oud Indie
Bangunan yang melindungi Watu Gilang, tahun 1925| pinterest.com/Uploaded by Oud Indie

“Watu Gilang itu dipakai oleh Panembahan Senopati sebagai singgasana raja karena posisinya lebih tinggi dari tanah supaya para kawulanya bisa sujud dan mengabdi kepada sang raja,” tutur Pajarno saat ditemui Selasa (21/1/2020).

Watu Gilang pada dasarnya mengandung sebuah arti yang cukup filosofis, yang kental dan lekat dengan kepercayaan masyarakat Jawa. Pajarno menjelaskan bahwa Watu Gilang itu terdiri dari dua arti kata. Yang pertama adalah Watu yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai batu. 

Sedangkan, kata Gilang sendiri menurut penjelasan Pajarno diambil dari kata prayogi atau prayoga. Kata prayogi atau prayoga dalam bahasa Jawa memiliki arti sebagai tindakan “berdoa” atau dilain hal dapat dimengerti sebagai “kebenaran yang pertama”. Pajarno kemudian menjelaskan apa maksud dari dua gabungan kata ini yang kemudian membentuk nama bagi Watu Gilang.

Menurut penjelasan Pajarno, Watu Gilang pada dasarnya diperuntukan sebagai tempat untuk orang bersemedi dan berdoa demi mencari serta mendapatkan sebuah ilham. 

Arti dari kata “Kebenaran yang Pertama” inilah yang konon membuat mengapa Watu Gilang itu memiliki keskaralan, bahwa tidak boleh sembarangan orang dan orang yang hanya digariskan saja yang berhak untuk duduk diatasnya, yang dalam konteks ini adalah Panembahan Senopati raja pertama Mataram Islam. 

Pajarno kemudian juga menceritakan bahwa Kanjeng Panembahan Senopati sering melakukan semedi untuk mendapatkan ilham dan petunjuk Tuhan dalam mengatur kerajaan. Hal inilah yang kemudian membuat mengapa Watu Gilang menjadi begitu sakral.

“Kalau meditasi atau semedi itu biasanya dalam kepercayaan Jawa itu dikenal sebagai raga sukma atau melepas jiwa dari raga, jadi seolah-olah melepas jiwa dan bertemu dengan Tuhan,” tutur Pajarno.

Watu Gilang dan Kematian Ki Ageng Mangir

Ilustrasi saat Ki Ageng Mangir akan meminta restu kepada Panembahan Senopati| instagram.com/hayuningyokta/
Ilustrasi saat Ki Ageng Mangir akan meminta restu kepada Panembahan Senopati| instagram.com/hayuningyokta/

Nilai kesakralan yang dimiliki oleh Watu Gilang sendiri tidak hanya berhenti diseputaran nama dan sejarah akan fungsinya saja. Watu Gilang secara sejarah menurut penjelasan Pajarno juga pernah berfungsi sebagai alat untuk menghabisi nyawa dari musuh Kanjeng Panembahan Senopati, yakni Ki Ageng Mangir. 

Bukti fisik sejarah tersebut dapat kita temukan pada permukaan Watu Gilang yang berbentuk seperti cekung kecil di bagian ujung depan kanan Watu Gilang. Kisah mengenai permusuhan ini dimulai dari keengganan Ki Ageng Mangir untuk tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam. 

Mangir sendiri merupakan sebuah wilayah yang saat ini berlokasi di daerah Kabupaten Bantul. Ki Ageng Mangir pada awalnya adalah seorang tumenggung atau seorang penguasa daerah (setara seperti kecamatan atau kabupaten). 

Awalnya Ki Ageng Mangir tidak mengetahui bahwa dirinya mendirikan daerah kekuasaan di dalam lingkup Kerajaan Mataram Islam. Menurut penjelasan Pajarno, Ki Ageng Mangir saat itu menganggap bahwa daerah itu adalah tanah tak bertuan yang layak ditempati oleh siapapun. Ki Ageng Mangir disatu sisi juga dikenal sebagai orang sakti karena memiliki pusaka berupa mata tombak yang bernama Kiai Baru Klinting.

“Konon katanya pusaka ini bisa menghancurkan siapa saja, dengan cara tombak di arahkan pada suatu target. Alhasil nanti targetnya pasti akan kena (tombak),” tutur Pajarno.

Singkat cerita, Panembahan Senopati tidak ingin Mangir menjadi kerajaan baru didalam daerah kekuasaannya. Kemudian untuk bisa mengalahkan dan mengambil pusakanya, maka Panembahan Senopati memerintahkan anak perempuannya yang paling tua, yakni Putri Pembayun untuk membawa Ki Ageng Mangir masuk ke istana Kotagede tanpa membawa Kiai Baru Klinting

Putri Pembayun melaksanakan misi tersebut dengan menyamar menjadi seorang pengamen di daerah Mangir. Ki Ageng Mangir segera mengetahui hal tersebut dan tak lama kemudian terpincut dengan kecantikan dari Putri Pembayun. 

Singkat cerita, Ki Ageng Mangir dan Putri Pembayun pun sepakat untuk menikah. Kesepakatan itu pun harus dipenuhi oleh Ki Ageng Mangir dengan meminta restu dari Panembahan Senopati selaku ayah dari Putri Pembayun. Saat akan meminta restu Panembahan Senopati, Ki Ageng Mangir kemudian bergegas menuju singgasana Watu Gilang. 

Pajarno kemudian menceritakan bahwa Ki Ageng Mangir berlutut sambil menunduk di hadapan Panembahan Senopati. Tak lama berselang, kedua tangan Panembahan Senopati memegang kepala Ki Ageng Mangir dan sontak kepalanya dibenturkan ke atas Watu Gilang. Ki Ageng Mangir pun kemudian tewas di tempat dan akhirnya Mangir berhasil jatuh ke Mataram.

“Saat ini, jenazah dari Ki Ageng Mangir dimakamkan di makam raja Mataram Kotagede. Kuburannya pun juga unik, karena sebagian badan kuburan masuk ke areal komplek dan sisanya keluar area komplek,” cerita Pajarno.

Laweyan Putih dan Empat Bahasa Asing 

Inskripsi asing di atas Watu Gilang| catatanflashpacker.com
Inskripsi asing di atas Watu Gilang| catatanflashpacker.com

Watu Gilang sebagai singgasan raja dan peninggalan sejarah mungkin selalu digambarkan sebagai tenpat yang sakral dan menakutkan. Namun siapa sangka, dibalik semua hal tersebut Watu Gilang pernah menjadi saksi bisu dari sebuah ikatan persahabatan antar bangsa yang ditandai dengan empat buah tulisan bahasa asing yang masih menjadi teka-teki hingga sekarang. 

Pajarno kemudian menceritakan kepada saya perihal empat bahasa asing tersebut. Pajarno sendiri mengakui bahwa dirinya tidak mengetahui pelafalan dan arti dari empat bahasa asing tersebut. 

Menurut travel.tempo.co (Rudiana, 2019), ke-empat bahasa asing itu masing-masing ditulis secara melingkar dalam bahasa Belanda (ZOO GAT DE WERELD); bahasa latin (ITA MOVETUR MUNDUS); bahasa Perancis (AINSI VA LE MONDE) dan bahasa Italia (COSI VAN IL MONDU). Ke-empat kalimat itu pada dasarnya memiliki kesamaan arti yakni “demikianlah perubahan dunia”. 

Pada bagian tengahnya terdapat tulisan Latin “AD AETERNAM SORTIS INFELICIS” yang artinya “untuk memperingati nasib yang kurang baik”. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana bisa ada beberapa tulisan bahasa asing diatas sebuah singgasana raja yang sakral?

Pajarno kemudian mulai menceritakan sejarah dari kehadiran tulisan asing ini. Dahulu (tidak disebutkan tahunnya) Panembahan Senopati sangat gemar untuk bermeditasi di pantai selatan. 

Saat sedang bermeditasi, kemudian Panembahan Senopati menemukan ada dua orang terdampar di pantai selatan. Dua orang tersebut berkulit putih dan kemudian beliau menganggap bahwa dua orang kulit putih itu adalah laweyan putih atau orang asing berkulit putih yang tidak diketahui dari mana asalnya. 

Singkat cerita, dua orang asing yang terdampar ini terlihat sangat sekarat. Kemudian, Panembahan Senopati membawa dua orang asing tersebut untuk dirawat dan dipelihara di Kotagede sampai keadaan mereka pulih. 

Setelah sekian lama menetap di Kotagede, dua orang asing ini kemudian menjelaskan asal usul mereka kepada Panembahan Senopati. Dua orang asing ini menurut cerita Pajarno berasal dari Portugis dan Italia.

Mereka adalah kru dari dagang kapal Portugis yang tenggelam di Samudra Hindia karena diterjang oleh badai besar. Kemudian dua orang asing ini hendak pamit untuk kembali ke daerah asal mereka setelah mereka pulih. 

Sebagai kenang-kenangan atas bentuk persahabatan dan perpisahan itu, Panembahan Senopati kemudian mempersilahkan kepada dua orang asing ini untuk menuliskan salam perpisahan. 

Kemudian, isi dari salam perpisahan itu adalah refleksi mereka atas kejadian tragis yang pernah menimpa mereka yang ditulis dalam empat bahasa asing tersebut.

Keunikan Watu Gilang

Sebagai salah satu peninggalan dari Kerajaan Mataram Islam, Watu Gilang pada dasarnya menjadi satu-satunya situs sejarah yang kedudukan dan kepemilikannya di pegang oleh dua kerajaan sekaligus. Kedua kerajaan itu adalah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta

Menurut penuturan Pajarno, kedua kerajaan ini adalah kerajaan yang mewarisi legasi dari Kerajaan Mataram Islam, dimana Kerajaan Mataram Islam sendiri terbagi menjadi dua akibat dari perjanjian Giyanti pada tahun 1755. 

Pembagian akan kepemilikan dari Watu Gilang ini dilakukan untuk menghindari konflik kepentingan antara Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunan Surakarta soal hak waris dari peninggalan Kerajaan Mataram Islam.

“Tujuannya itu supaya hasil warisannya bisa adil untuk dua kerajaan, jadi makanya kenapa Watu Gilang itu dibagi kepemilikannya,” terang Pajarno.

Pembagian akan kepemilikan Watu Gilang tersebut kemudian tertuang ke dalam sebuah kesepakatan jadwal yang dibuat antara Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Kasunanan Surakarta. 

Kesepakatan jadwal ini berisi tentang siapa yang berhak untuk mengambil alih Watu Gilang yang ditetapkan berdasarkan hari, jam dan tanggal yang sudah disepakati secara bersama. 

Menurut Pajarno, pembagian jadwal ini secara teknis dilakukan setiap dua minggu sekali, dimana pergantian ini dilakukan pada hari Jumat di minggu kedua setiap jam 15.00 WIB petang. Disamping pembagian jadwal tersebut, masing-masing kerajaan harus mengirimkan para abdi dalem untuk menjadi juru kunci Watu Gilang.

Akhirnya kita bisa memahami bahwa sejarah itu adalah sebuah misteri hidup bagi kita. Kita perlu waktu untuk mencari titik terang kebenaran dari sebuah sejarah. 

Dimasa-masa pencarian itu kita bisa mengisinya dengan berbagai refleksi mengenai bagaimana kita bisa merawat dan melestarikannya untuk selama-lamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun