Mereka adalah kru dari dagang kapal Portugis yang tenggelam di Samudra Hindia karena diterjang oleh badai besar. Kemudian dua orang asing ini hendak pamit untuk kembali ke daerah asal mereka setelah mereka pulih.
Sebagai kenang-kenangan atas bentuk persahabatan dan perpisahan itu, Panembahan Senopati kemudian mempersilahkan kepada dua orang asing ini untuk menuliskan salam perpisahan.
Kemudian, isi dari salam perpisahan itu adalah refleksi mereka atas kejadian tragis yang pernah menimpa mereka yang ditulis dalam empat bahasa asing tersebut.
Keunikan Watu Gilang
Sebagai salah satu peninggalan dari Kerajaan Mataram Islam, Watu Gilang pada dasarnya menjadi satu-satunya situs sejarah yang kedudukan dan kepemilikannya di pegang oleh dua kerajaan sekaligus. Kedua kerajaan itu adalah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta.
Menurut penuturan Pajarno, kedua kerajaan ini adalah kerajaan yang mewarisi legasi dari Kerajaan Mataram Islam, dimana Kerajaan Mataram Islam sendiri terbagi menjadi dua akibat dari perjanjian Giyanti pada tahun 1755.
Pembagian akan kepemilikan dari Watu Gilang ini dilakukan untuk menghindari konflik kepentingan antara Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunan Surakarta soal hak waris dari peninggalan Kerajaan Mataram Islam.
“Tujuannya itu supaya hasil warisannya bisa adil untuk dua kerajaan, jadi makanya kenapa Watu Gilang itu dibagi kepemilikannya,” terang Pajarno.
Pembagian akan kepemilikan Watu Gilang tersebut kemudian tertuang ke dalam sebuah kesepakatan jadwal yang dibuat antara Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Kasunanan Surakarta.
Kesepakatan jadwal ini berisi tentang siapa yang berhak untuk mengambil alih Watu Gilang yang ditetapkan berdasarkan hari, jam dan tanggal yang sudah disepakati secara bersama.
Menurut Pajarno, pembagian jadwal ini secara teknis dilakukan setiap dua minggu sekali, dimana pergantian ini dilakukan pada hari Jumat di minggu kedua setiap jam 15.00 WIB petang. Disamping pembagian jadwal tersebut, masing-masing kerajaan harus mengirimkan para abdi dalem untuk menjadi juru kunci Watu Gilang.