Ketika iklan sudah menjadi alat yang semakin kuat untuk mempengaruhi atensi konsumen, maka hal baru yang muncul setelah itu adalah komersialisasi produk yang juga semakin kuat untuk dapat bersaing dengan produk-produk lainnya.Â
Sebagai contoh, hal ini pun kemudian berimbas pada terciptanya acara televisi yang dapat menarik atensi banyak orang yang kemudian disesuaikan jadwal tayangnya dengan seberapa banyak orang yang menonton pada waktu-waktu tertentu, atau bisa kita sebut sebagai siaran prime time.Â
Siaran prime time adalah surga dunia bagi para kaum kapitalis. Dengan banyaknya jumlah penonton pada suatu waktu, praktis akan menjadi ladang perebutan bagi para pengiklan untuk bisa mendapatkan tempat terbaik.Â
Usut punya usut, pengiklan yang ingin menempatkan iklan di siaran prime time harus memiliki kapital yang besar demi mengamankan tempat mereka.Â
Besarnya gelontoran dari dana iklan yang diterima oleh sebuah program acara prime time akan berdampak pada keuntungan kedua pihak. Pemiilik media bisa mendapatkan kue iklan yang besar serta para pengiklan bisa menjaring pasar yang jauh lebih besar lagi.
Kuatnya produksi produk budaya (program acara televisi dan film) dan keberhasilan media untuk mempromosikan segala macam iklan dan produk lewat media tersebut, secara eksplisit akan berimbas pada terciptanya perilaku yang konsumtif dalam masyarakat.Â
Perilaku konsumtif inilah yang cenderung lebih mengutamakan kegunaan nilai ketimbang kegunaan materiil. Pola perilaku konsumtif ini akan melahirkan sebuah sikap yang bisa disebut sebagai fetisisme atau pemberhalaan komoditas.Â
Fetisisme komoditas adalah kepercayaan yang mempercayai bahwa suatu barang itu mempunyai nilai di dalam dan dari dirinya sendiri terpisah dari kerja yang telah tertera ke dalamnya.Â
Dalam kasus produksi industri budaya seperti halnya kesenian, perilaku fetis memang kerap ditemui. Sebagai contoh, segelintir orang rela menggelontorkan dana yang sangat banyak untuk suatu karya seni yang menurut mereka memiliki nilai seni tinggi.
Menurut Adorno dan Horkheimer, esensi nilai seni tersebut merupakan hasil dari penilaian sosial yang disalahartikan oleh konsumen sebagai kualitas baik dari suatu karya seni. Konsumsi masyarakat tidak lagi sesuai dengan apa yang benar-benar mereka butuhkan dan ini melahirkan istilah kebutuhan palsu atau false need.Â