Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Menjadi Konsumtif karena "Budaya Massa"

10 Maret 2020   09:57 Diperbarui: 10 Maret 2020   12:09 1310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mengenai kerangka kerja budaya massa| englishblog.com

Pernahkah anda menonton program-program acara hiburan seperti Opera van Java, Yuk Kita Sahur, Ini Talk Show ataupun Tonight Show? Jika ya, berarti selamat! Anda adalah salah satu dari ratusan juta orang Indonesia yang mudah hanyut ke dalam sebuah tayangan hiburan yang membuat anda semakin “konsumtif”. “Konsumtif?” 

Bagaimana bisa saya berasumsi demikian dan menempatkan deretan program acara hiburan yang berbalut dengan komedi tersebut sebagai sebuah tayangan yang akan membuat anda semua menjadi jauh lebih “konsumtif?”.

Pada kenyataannya, cobalah anda lihat dengan seksama semua program hiburan komedi yang saya sebutkan diatas dan sekarang cobalah anda melihat berapa banyak sponsor yang menaungi program acara tersebut yang membuatnya semakin jauh lebih hidup, meriah dan semakin membuat anda menjadi “terlena”. 

Deretan sponsor dan promosi dari produk-produk yang ada di dalam setiap program hiburan tersebut pada kenyataan ingin menarik atensi anda dan mungkin mendikte anda supaya anda mengkonsumsi berbagai produk tersebut secara sadar atau tidak yang praktis juga membuat anda semakin konsumsitf.

Memang, sudah tidak menjadi rahasia umum bagi kita jika iklan atau sponsor bergerak dengan strategi yang demikian. Namun, yang menjadi pertanyaan besar di artikel ini adalah bukan pada program acaranya namun pada bagaimanakah alur proses terbentuknya fenomena ini dikehidupan kita yang sering kita acuhkan dan seringkali juga kita menyesal karenanya? Fenomena yang dijelaskan diatas dapat kita sebut sebagai “budaya massa”. 

Budaya massa merupakan sebuah budaya yang diproduksi oleh kaum borjuis (kapitalis) yang kemudian dikonsumsi oleh masyarakat kelas bawah. 

Produk budaya massa selalu bersumber dari budaya populer yang kemudian mengalami sebuah tahapan industrialisasi atau disebut dengan “media mass production” oleh para kapitalis untuk dapat menghasilkan keuntungan dan kekuasaan yang kontinu.

Ilustrasi foto keluarga sedang menonton televisi di tahun 1950-an| jareddodd.com
Ilustrasi foto keluarga sedang menonton televisi di tahun 1950-an| jareddodd.com

Fenomena budaya massa ini berawal dari munculnya serta berkembangnya teknologi produksi media yang bergerak di ranah audiovisual layaknya televisi dan film pada dasawarsa tahun 1920-1930-an. 

Perkembangan teknologi ini pun memuncak pada tahun 1950-an dan mendorong tumbuhnya produk-produk budaya yang diproduksi secara massal seperti program televisi dan film. 

Perkembangan teknologi produksi di media televisi dan film ini pun pada akhirnya mendorong kedua media ini untuk memproduksi lebih banyak produk yang kemudian justru berimbas pada berubahnya banyak hal, seperti pengendalian keuangan untuk produksi yang semakin ketat sehingga bisa balik modal untuk memproduksi secara kontinu; adanya pembagian kerja khusus yang dapat memproduski secara cepat hingga di lini produksi yang merubah substansi produk media televisi dan film yang selalu berfokus pada pengambilan keuntungan dan kekuasaan sebesar-besarnya.

Lantas, hal ini pun juga berimbas pada suatu momentum, dimana produk televisi dan film mulai kehilangan esensi dan manfaatnya bagi orang banyak karena sudah menjadi bagian dari komoditas industri saja. 

Ke semua hal yang dahulunya berangkat dari cerminan realita sosial dan lekat dengan kehidupan serta nilai-nilai “rakyat” yang bisa mengubah keadaan masyarakat secara lebih baik harus hilang karena industrialisasi budaya massa yang bergerak secara manipulatif dalam menempatkan kesemua hal tersebut hanya sebatas sebagai komoditas ekonomi dan politik saja. 

Disebut sebagai produk budaya manipulatif karena tujuan utamanya adalah agar bisa dibeli dan mudah dikonsumsi oleh massa secara kontinu serta tidak pernah mensyaratkan terlalu banyak kerja bagi para konsumen untuk mengolah sebuah pesan dan komunikasi dari substansi produk-produk budaya tersebut. 

Meletusnya fenomena ini pun akhirnya mendorong pemikir besar dan kritikus konservatif seperti Mazhab Frankfurt atau Frankfurt School untuk mencoba memahami situasi ini.

Adorno dan Horkheimer adalah dua orang yang berasal dari Mahzab Frankfurt yang kemudian mengkritik dan menentang munculnya bentuk kebudayaan seperti ini di Amerika Serikat pada tahun 1930-an atau pada era meletusnya indutsri budaya. 

Mereka mengkritik dan menyatakan bahwa produk budaya tak lebih dari sebuah komoditas yang dihasilkan oleh sebuah industri budaya yang kini sepenuhnya berkaitan dengan kepentingan ekonomi politik untuk mencari keuntungan sebesar mungkin dan pengaruh sekuat mungkin. 

Meski memang produk-produk budaya ini menurut mereka dibentuk dan dikemas dengan cara yang demokratis, individualis dan beragam, namun pada dasarnya kesemua produk tersebut bersifat otoriter karena menghegemoni konsep berpikir yang kemudian menempatkan kita sebagai konsumen yang pasif dan produk-produk tersebut menjadi terstandarisasikan dan tidak mengandung esensi tertentu bagi kita serta membuat semua orang memiliki sifat “maklum” dalam memandang semua produk tersebut.

Jika keadaannya sudah seperti itu, maka para kaum kapitalis atau dalam kasus ini bisa kita sebut sebagai pemilik media televisi atau film yang memproduksi produk-produk seperti ini akan semakin mudah untuk memperoleh kapital atau keuntungan yang sebesar mungkin dan kemudian akan menciptakan komodifikasi atas produk budaya lainnya.

Untuk bisa mencapai hal tersebut, maka iklan diperlukan sebagai pelumas bagi program-program acara ataupun dalam film untuk tetap bertahan dalam memproduksi program acara atau film bagi khalayak massa. Iklan ternyata juga menjadi sebuah ukuran keberhasilan dalam usaha komodifikasi produk budaya menjadi komoditas ekonomi kapitalis. 

Kehadiran iklan memiliki fungsi sebagai jembatan penghubung antara produsen dengan konsumen. Dengan perkembangan dan majunya teknologi produksi media di televisi dan film, iklan semakin memiliki kekuatan untuk mempromosikan segala macam produknya melalui media-media ini dengan bahasa yang lebih persuasif dan masif. Cara ini di klaim cukup efektif dalam menarik atensi banyak orang untuk membeli atau tertarik dengan produk mereka.

Ketika iklan sudah menjadi alat yang semakin kuat untuk mempengaruhi atensi konsumen, maka hal baru yang muncul setelah itu adalah komersialisasi produk yang juga semakin kuat untuk dapat bersaing dengan produk-produk lainnya. 

Sebagai contoh, hal ini pun kemudian berimbas pada terciptanya acara televisi yang dapat menarik atensi banyak orang yang kemudian disesuaikan jadwal tayangnya dengan seberapa banyak orang yang menonton pada waktu-waktu tertentu, atau bisa kita sebut sebagai siaran prime time. 

Siaran prime time adalah surga dunia bagi para kaum kapitalis. Dengan banyaknya jumlah penonton pada suatu waktu, praktis akan menjadi ladang perebutan bagi para pengiklan untuk bisa mendapatkan tempat terbaik. 

Usut punya usut, pengiklan yang ingin menempatkan iklan di siaran prime time harus memiliki kapital yang besar demi mengamankan tempat mereka. 

Besarnya gelontoran dari dana iklan yang diterima oleh sebuah program acara prime time akan berdampak pada keuntungan kedua pihak. Pemiilik media bisa mendapatkan kue iklan yang besar serta para pengiklan bisa menjaring pasar yang jauh lebih besar lagi.

Ini Talkshow, program prime time paling laris milik NET TV| wowkeren.com
Ini Talkshow, program prime time paling laris milik NET TV| wowkeren.com

Kuatnya produksi produk budaya (program acara televisi dan film) dan keberhasilan media untuk mempromosikan segala macam iklan dan produk lewat media tersebut, secara eksplisit akan berimbas pada terciptanya perilaku yang konsumtif dalam masyarakat. 

Perilaku konsumtif inilah yang cenderung lebih mengutamakan kegunaan nilai ketimbang kegunaan materiil. Pola perilaku konsumtif ini akan melahirkan sebuah sikap yang bisa disebut sebagai fetisisme atau pemberhalaan komoditas. 

Fetisisme komoditas adalah kepercayaan yang mempercayai bahwa suatu barang itu mempunyai nilai di dalam dan dari dirinya sendiri terpisah dari kerja yang telah tertera ke dalamnya. 

Dalam kasus produksi industri budaya seperti halnya kesenian, perilaku fetis memang kerap ditemui. Sebagai contoh, segelintir orang rela menggelontorkan dana yang sangat banyak untuk suatu karya seni yang menurut mereka memiliki nilai seni tinggi.

Menurut Adorno dan Horkheimer, esensi nilai seni tersebut merupakan hasil dari penilaian sosial yang disalahartikan oleh konsumen sebagai kualitas baik dari suatu karya seni. Konsumsi masyarakat tidak lagi sesuai dengan apa yang benar-benar mereka butuhkan dan ini melahirkan istilah kebutuhan palsu atau false need. 

Kebutuhan palsu inilah yang dapat mengakibatkan terbentuknya sebuah perilaku di dalam masyarakat yang cenderung menikmati, bertindak dan mengkonsumsi serta mengikuti apa yang ditawarkan iklan atau selera suatu individu yang kemudian di simpulkan menjadi sebuah selera umum atas campur tangan media.

Sehingga, jika sikap pasif dalam memilah atau menilai segala sesuatu yang ada di masyarakat ini terpelihara, maka sesuatu yang bisa dihasilkan dari sini adalah yang lebih merugikan kepada banyak pihak seperti halnya perilaku konsumtif yang tidak pernah berujung.

Daftar Pustaka:

Adorno. 1991. The Culture Industry. New York. Online book (download). Dikutip dari file:///C:/Users/user/Downloads/The-Culture-Industry-Selected-Essays-on-Mass-Culture-%20(1).pdf

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun