Perkembangan teknologi produksi di media televisi dan film ini pun pada akhirnya mendorong kedua media ini untuk memproduksi lebih banyak produk yang kemudian justru berimbas pada berubahnya banyak hal, seperti pengendalian keuangan untuk produksi yang semakin ketat sehingga bisa balik modal untuk memproduksi secara kontinu; adanya pembagian kerja khusus yang dapat memproduski secara cepat hingga di lini produksi yang merubah substansi produk media televisi dan film yang selalu berfokus pada pengambilan keuntungan dan kekuasaan sebesar-besarnya.
Lantas, hal ini pun juga berimbas pada suatu momentum, dimana produk televisi dan film mulai kehilangan esensi dan manfaatnya bagi orang banyak karena sudah menjadi bagian dari komoditas industri saja.
Ke semua hal yang dahulunya berangkat dari cerminan realita sosial dan lekat dengan kehidupan serta nilai-nilai “rakyat” yang bisa mengubah keadaan masyarakat secara lebih baik harus hilang karena industrialisasi budaya massa yang bergerak secara manipulatif dalam menempatkan kesemua hal tersebut hanya sebatas sebagai komoditas ekonomi dan politik saja.
Disebut sebagai produk budaya manipulatif karena tujuan utamanya adalah agar bisa dibeli dan mudah dikonsumsi oleh massa secara kontinu serta tidak pernah mensyaratkan terlalu banyak kerja bagi para konsumen untuk mengolah sebuah pesan dan komunikasi dari substansi produk-produk budaya tersebut.
Meletusnya fenomena ini pun akhirnya mendorong pemikir besar dan kritikus konservatif seperti Mazhab Frankfurt atau Frankfurt School untuk mencoba memahami situasi ini.
Adorno dan Horkheimer adalah dua orang yang berasal dari Mahzab Frankfurt yang kemudian mengkritik dan menentang munculnya bentuk kebudayaan seperti ini di Amerika Serikat pada tahun 1930-an atau pada era meletusnya indutsri budaya.
Mereka mengkritik dan menyatakan bahwa produk budaya tak lebih dari sebuah komoditas yang dihasilkan oleh sebuah industri budaya yang kini sepenuhnya berkaitan dengan kepentingan ekonomi politik untuk mencari keuntungan sebesar mungkin dan pengaruh sekuat mungkin.
Meski memang produk-produk budaya ini menurut mereka dibentuk dan dikemas dengan cara yang demokratis, individualis dan beragam, namun pada dasarnya kesemua produk tersebut bersifat otoriter karena menghegemoni konsep berpikir yang kemudian menempatkan kita sebagai konsumen yang pasif dan produk-produk tersebut menjadi terstandarisasikan dan tidak mengandung esensi tertentu bagi kita serta membuat semua orang memiliki sifat “maklum” dalam memandang semua produk tersebut.
Untuk bisa mencapai hal tersebut, maka iklan diperlukan sebagai pelumas bagi program-program acara ataupun dalam film untuk tetap bertahan dalam memproduksi program acara atau film bagi khalayak massa. Iklan ternyata juga menjadi sebuah ukuran keberhasilan dalam usaha komodifikasi produk budaya menjadi komoditas ekonomi kapitalis.
Kehadiran iklan memiliki fungsi sebagai jembatan penghubung antara produsen dengan konsumen. Dengan perkembangan dan majunya teknologi produksi media di televisi dan film, iklan semakin memiliki kekuatan untuk mempromosikan segala macam produknya melalui media-media ini dengan bahasa yang lebih persuasif dan masif. Cara ini di klaim cukup efektif dalam menarik atensi banyak orang untuk membeli atau tertarik dengan produk mereka.