Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Abaya, Perjuangan dan Kritik terhadap Fesyen "Seronok"

1 Maret 2020   01:07 Diperbarui: 1 Maret 2020   09:15 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mengenai abaya| fineartamerica.com

Roland Barthes pernah menyebutkan bahwa fesyen pada dasarnya adalah sebuah bentuk perilaku ekspresi pribadi yang mengisyaratkan sebuah nilai-nilai yang ditandakan dalam rupa fisik busana.

Konteks fisik ini menjadi sumber daya utama dalam ilmu semiotik untuk melihat berbagai nilai dan makna yang ada dibalik suatu kebiasaan ataupun dalam sebuah produk budaya. 

Dengan adanya semiotika kita dapat mengetahui mengapa ada sebuah nilai yang harus di produksi dan kenapa sebuah golongan masyarakat tertentu harus memahaminya.

Terkandungnya sebuah nilai-nilai tertentu ini akhirnya berkembang menuju ke arah terciptanya konsensus bagi masyarakat yang diwariskan secara turun termurun. 

Semiotika sekiranya bisa mendorong lahirnya sebuah konsep berpikir bahwa cara berbusana menjadi salah satu bentuk dari munculnya identitas bagi suatu golongan masyarakat.

Pada tulisan kali ini, penulis akan membahas tentang abaya, busana Muslim yang sarat dengan nilai-nilai politik budaya dan penuh dengan tantangan diskriminasi fesyen yang justru kini menjadi budaya fesyen tanding terhadap budaya fesyen yang dianggap "seronok". 

Penulis juga akan menggunakan sudut pandang semiotik untuk mempermudah analisis tulisan ini. 

Abaya Sebagai Produk Fesyen dan Budaya

Abaya sendiri adalah busana wajib bagi perempuan UEA (Uni Emirate Arab). Sejak UAE menemukan minyak pada tahun 1930-an, UEA praktis menjadi negara yang kaya dan mendorongnya untuk melakukan proyek modernisasi negara.

Untuk mewujudkan hal tersebut, maka dibuatlah sebuah program modernisasi yang juga ikut memberdayakan perempuan. Perempuan di negara Arab agaknya selalu dianggap marjinal oleh masyarakat, maka dari itu, program modernisasi yang dijalankan oleh UEA ini ingin menyasar pada semua pihak termasuk perempuan.

Namun, untuk tetap menghormati harkat dan identitas perempuan Arab, maka para perempuan UEA harus mengenakan sebuah busana yang dianggap sebagai busana adat dan akhirnya menjadi busana nasional perempuan UEA. Busana itu bernama abaya. Abaya biasanya berwarna hitam dengan bentuk baju seperti jubah yang menjuntai ke bawah.

Abaya dipercaya merupakan produk turunan fesyen dari Khimar, yakni busana khas orang Suriah dan Turki yang menyebar ke seluruh jazirah Arab dan berkembang sesuai dengan konteks budaya di masing-masing wilayah.

Kehadiran abaya bagi segelintir perempuan justru menjadi penghambat bagi munculnya sebuah gerakan modernisasi yang membela hak dan kewajiban dari perempuan, seperti halnya kebebasan dalam berekspresi dan berkarya bagi perempuan Arab.

Sayangnya, tuntutan modernisasi ini harus sering berbenturan dengan kepentingan lainnya, seperti halnya agama, lingkungan dan politik yang mengakibatkan penggunaan abaya yang saklek masih dipertahankan oleh pemerintah dan masyarakat dengan dalih untuk menjaga dan merawat identitas bangsa dan negara.

Seorang model sedang melakukan sesi pemotretan busana abaya di kota Metropolitan Dubai| bayut.com
Seorang model sedang melakukan sesi pemotretan busana abaya di kota Metropolitan Dubai| bayut.com

Fesyen dalam Ilmu Semiotika

Dalam konteks yang jauh lebih luas, busana layaknya abaya dianggap sebagai sebuah gagasan dari komunikasi. Busana dan komunikasi mengasumsikannya sebagai sebuah rasa yang berangkat dari selera pribadi yang perlahan berangkat menjadi selera umum.

Menurut Michael Foucault, busana adalah sebuah proses kategorisasi yang dilakukan oleh masyarakat untuk bisa mengawasi dan menjadi kontrol sosial bagi hidup dan berkembangnya suatu fesyen di dalam sebuah masyarakat.

Fesyen akhirnya menjadi cara bagaimana bentuk tubuh kita di dikte untuk dibentuk, dihadirkan dan dikendalikan sesuai dengan ekspektasi masyarakat.

Sebagai contoh, seragam seringkali dicap sebagai sebuah fesyen yang kaku, sarat dengan nilai-nilai kolektif dari sebuah institusi atau masyarakat dan punya peran sebagai in group bagi sebuah golongan masyarakat. 

Seragam pada akhirnya dinilai sebagai sebuah bentuk fesyen yang sangat mendikte para penggunanya untuk bertindak dan berperilaku sesuai dengan nilai yang terkandung didalamnya.

Namun, fakta unik dari fesyen seperti itu adalah ternyata bisa dijadikan sebagai sebuah alat perlawanan. Alat perlawanan ini berbicara soal bagaimana sebuah masyarakat marjinal mampu menciptakan sebuah budaya tanding atau sub-budaya melalui fesyen yang akhirnya menjadi sebuah trend baru dalam masyarakat.

Misalnya abaya dalam kasus ini. Abaya bisa saja hadir sebagai sebuah bentuk budaya fesyen tertutup, yang bisa mempromosikan segala hal-hal baik yang berakitan dengan sopan santun, etika dan lainnya dibandingkan dengan budaya fesyen Amerika misalnya yang tidak terlalu memperdulikan soal kaidah-kaidah tersebut.

Budaya Fesyen Tertutup dalam Muslim

Sebagai trend budaya fesyen yang tertutup dan masih dianggap marjinal, abaya memerlukan sebuah branding agar kebudayaan fesyen ini tampak pantas untuk diterapkan dalam percaturan fesyen global. 

Busana Muslim yang identik dengan tertutup layaknya abaya atau busana Muslim lainnya saat ini telah mengalami sebuah pergeseran bentuk dan konsep fisik penggunaannya.

Pergeseran itu mulai dari beragamnya bentuk dan model dari busana muslim yang bisa dikombinasikan dengan bentuk fesyen lain, layaknya celana jeans, syal dan jaket kulit. Sebagai contoh kecil, terjadi sebuah pergeseran trend fesyen Muslim di India dan Mesir.

Di dua negara ini, pergeseran tersebut terjadi setelah adanya inovasi baru dalam budaya berbusana Muslim yang bisa dikombinasikan dengan bentuk fesyen lainnya.

Adapun contoh kasus lainnya yang jauh lebih global dalam memperkenalkan dan memperhalus citra dari kebudayaan berbusana ala wanita Muslim yang selalu tertutup. Barbie Razanne adalah salah satu karakter Barbie yang di desain khusus yang menggunakan busana Muslim abaya.

Barbie Razzane yang dibuat di Amerika dan merepresentasikan kebudayaan fesyen Muslim adalah suatu bentuk branding secara global yang dapat mewakili kepentingan identitas busana Muslim di fesyen dunia.

Dengan adanya bentuk atau kegiatan pengenalan identitas secara global seperti ini, fesyen Muslim setidaknya dapat mempoles citranya, tanpa harus memperjuangan secara lebih mengenai hal-hal yang sudah dijelaskan diatas.

Ilustrasi dari Barbie Razanne| express.co.uk
Ilustrasi dari Barbie Razanne| express.co.uk

Fesyen sebagai Sebuah Substansi Pesan

Jika busana atau fesyen adalah suatu wacana menurut Foucault, maka bisa dikatakan bahwa busana adalah sebuah konten budaya. 

Konten budaya ini adalah suatu sudut pandang yang jauh lebih dalam dan kompleks untuk melihat berbagai bentuk dan fitur dari sebuah pakaian. Konten busana akan selalu erat dengan substansi, daya tahan dan fungsi dari pakaian.

Dengan demikian, konten di satu sisi akan menghasilkan konotasi-konotasi tertentu yang bisa menggambarkan maksud dari sebuah pakaian.

Dalam kasus ini, abaya memiliki kaitan yang erat dengan etika sosial, agama, keluarga, politik dan lainnya. Pemahaman budaya berbusana tertutup layaknya sebuah abaya sejatinya sarat akan nilai-nilai proteksi, perlindungan, rasa tenang menurut penilaian dan pemahaman sejumlah kebudayaan Muslim.

Namun, abaya kini telah bertransformasi dari sebuah busana yang terlihat berat secara fisik menjadi sebuah busana yang disesuaikan dengan keadaan lingkungan Timur Tengah yang akrab dengan panas dan angin gurun.

Penyesuaian itu terlihat dari model abaya yang sudah mulai tipis secara bahan tekstilnya dan terdapat "ventilasi" yang dapat menghadirkan rasa sejuk. Penyesuaian model abaya di masa sekarang ini merujuk pada majunya pandangan tentang modernitas dalam fesyen.

Meski abaya dinilai terlalu memberatkan sebagai sebuah identitas adat dan agama bagi banyak perempuan muda di UEA, namun disatu sisi permainan politik fesyen abaya ternyata ingin menjadi sebuah budaya tandingan terhadap trend fesyen yang dinilai "seronok".

Dalam memahami sebuah bentuk fesyen seperti abaya secara lebih luas, mungkin kita bisa memetik sebuah pemikiran dari Foucault yang menyatakan jika busana sebenarnya adalah wacana maka busana bisa diimakinasikan sebagai sebuah "skrip" yang tersirat yang ingin menjelaskan banyak hal, mulai dari fitur dan bentuk dari sebuah busana ataupun kebudayaan berpakaian.

Sehingga, di sini kita dapat menyimpulkan bahwa cara berbusana memungkinkan kita untuk menghuni wacana yang meresap ke dalam tubuh kita yang dapat memunculkan ide, nilai, dan sikap yang berperan dalam menentukan batasan dan identitas yang dimiliki oleh pemakainya.

Kita telah melihat bagaimana abaya memungkinkan tubuh untuk mewujudkan wacana identitas yang lebih profesional dan percaya diri dengan cara yang masih dapat tetap setia pada peran perempuan yang lebih tradisional, berorientasi keluarga, dan suportif yang akhirnya bisa dimodifikasi sebagai sebuah bentuk fesyen tanding yang mengisyaratkan nilai-nilai kesopanan, harga diri, kelembutan dan lainnya.

Daftar Pustaka:

Bouvier G. 2017. Visual Communication Article Clothing and meaning making: a multimodal approach to women's abayas. SAGE. Dikutip dari file:///C:/Users/user/Downloads/3%20(1).pdf 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun