Roland Barthes pernah menyebutkan bahwa fesyen pada dasarnya adalah sebuah bentuk perilaku ekspresi pribadi yang mengisyaratkan sebuah nilai-nilai yang ditandakan dalam rupa fisik busana.
Konteks fisik ini menjadi sumber daya utama dalam ilmu semiotik untuk melihat berbagai nilai dan makna yang ada dibalik suatu kebiasaan ataupun dalam sebuah produk budaya.Â
Dengan adanya semiotika kita dapat mengetahui mengapa ada sebuah nilai yang harus di produksi dan kenapa sebuah golongan masyarakat tertentu harus memahaminya.
Terkandungnya sebuah nilai-nilai tertentu ini akhirnya berkembang menuju ke arah terciptanya konsensus bagi masyarakat yang diwariskan secara turun termurun.Â
Semiotika sekiranya bisa mendorong lahirnya sebuah konsep berpikir bahwa cara berbusana menjadi salah satu bentuk dari munculnya identitas bagi suatu golongan masyarakat.
Pada tulisan kali ini, penulis akan membahas tentang abaya, busana Muslim yang sarat dengan nilai-nilai politik budaya dan penuh dengan tantangan diskriminasi fesyen yang justru kini menjadi budaya fesyen tanding terhadap budaya fesyen yang dianggap "seronok".Â
Penulis juga akan menggunakan sudut pandang semiotik untuk mempermudah analisis tulisan ini.Â
Abaya Sebagai Produk Fesyen dan Budaya
Abaya sendiri adalah busana wajib bagi perempuan UEA (Uni Emirate Arab). Sejak UAE menemukan minyak pada tahun 1930-an, UEA praktis menjadi negara yang kaya dan mendorongnya untuk melakukan proyek modernisasi negara.
Untuk mewujudkan hal tersebut, maka dibuatlah sebuah program modernisasi yang juga ikut memberdayakan perempuan. Perempuan di negara Arab agaknya selalu dianggap marjinal oleh masyarakat, maka dari itu, program modernisasi yang dijalankan oleh UEA ini ingin menyasar pada semua pihak termasuk perempuan.