Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rokok, Sejarah dan Rasa Jatuh Hati Bangsa Kita Padanya

2 Februari 2020   09:00 Diperbarui: 10 Mei 2022   05:43 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Boediman dan Onghokham (2016: 88) jurnal ini kurang lebih menceritakan secara cukup lengkap terkait dengan seberapa jatuh hatinya orang-orang Jawa saat itu dengan aktivitas merokok yang berkorelasi dengan uang pengeluaran harian mereka. J. W. Winter bercerita bahwa orang Jawa itu sangat sederhana sekali. 

Seorang laki-laki Jawa saja berdasarkan pengamatannya bisa hidup hanya dengan 12 duit sehari. Lanjutnya, 12 duit itu di bagi ke beberapa penggunaan, antara lain tiga duit untuk membeli makanan layaknya nasi, tempe dan garam; enam duit yang paling besar digunakan untuk membeli beras serta tiga duit sisanya dipakai untuk membeli tembakau ataupun sirih. Dengan begitu, jika di rumuskan dalam presentase, jatah uang merokok seorang laki-laki Jawa saat itu besarnya kira-kira mencapai 25% dari uang belanjanya.

Ilustrasi jenis-jenis cerutu|Sumber: id.wikipedia.org
Ilustrasi jenis-jenis cerutu|Sumber: id.wikipedia.org
Dalam praktek merokok orang-orang Jawa saat itu, menurut J. W. Winter mereka kerap kali menggunakan kulit jagung kering atau klobot sebagai media pengganti kertas rokok. Rokok klobot adalah jenis rokok yang sangat umum dinikmati oleh kalangan masyarakat Jawa dan berbagai suku bangsa lainnya pada abad ke-19. 

Namun, menurut Dr. P. Bleeker dalam Boediman dan Onghokham (2016: 89), daun pandan ternyata juga digunakan sebagai media pengganti kertas rokok. Namun, kelemahan dari daun pandan adalah isi tembakaunya sedikit dan hanya bertahan selama lima menit saja. Bicara soal rokok klobot ataupun pandan, kita juga tidak bisa melupakan tembakau apa saja yang saat itu sangat digemari oleh banyak kalangan. Tembakau Kedu adalah salah satu tembakau favorit bagi banyak perokok saat itu. 

Tembakau Kedu terkenal karena mutunya yang bagus dan rasanya yang sedap. Karena keunggulannya itulah tembakau Kedu kerap dipakai sebagai tembakau pilihan untuk orang-orang berstatus. Menikmati tembakau Kedu pada saat itu bisa melalui dua cara, yakni dengan menggunakan pipa dan cerutu. Kebiasaan mengisap antara pipa dan cerutu ini pada selanjutnya juga menghasilkan sebuah perbedaan yang cukup mendasar dalam kebiasaan merokok.

Cerutu pada saat itu sering disimbolkan dengan rokok yang hanya bisa diisap oleh orang-orang terpandang dan penting saja. Menurut Dr. P. Bleeker dalam Boediman dan Onghokham (2016: 89), di kota Semarang cerutu diisap oleh semua kalangan orang terhormat. 

Saat itu cerutu yang terkenal adalah cerutu Manila. Sedangkan pipa kerap kali dinikmati oleh mereka yang berprofesi sebagai serdadu ataupun mereka yang memang menyenangi gaya merokok dengan pipa. Untuk rokok pipa sendiri, tembakau yang dipakai adalah tembakau lokal yang diolah dengan cara tradisional Jawa. Meski kedua bentuk gaya merokok ini berbeda, namun ada satu kesamaan yang unik dari fenomena ini. 

Orang Belanda menyebut kegiatan merokok baik itu dengan pipa atau cerutu dengan istilah ro'ken. Ro'ken sendiri dalam bahasa Belanda berarti mengisap. Menurut Gericke-Roorda dalam Boediman dan Onghokham (2016: 90), istilah ro'ken inilah yang selanjutnya di adopsi oleh masyarakat kita sebagai kata "rokok" dan kegiatan "merokoknya". 

Meski begitu, penggunaan istilah rokok sendiri baru mulai populer saat memasuki akhir abad ke-19. Sebelumnya istilah yang cukup populer untuk menggambarkan kegiatan merokok bagi masyarakat Jawa dinamai dengan eses atau ses. Adapun yang lebih populer sering dipanggil dengan nama udud.

Pada akhirnya, kesimpulan yang bisa kita ambil adalah bukanlah sebuah misteri bagi kita orang Indonesia jika kita memang sangat jatuh cinta dengan kebiasaan merokok. 

Terlepas dari semua masalah kesehatan hingga agenda politik yang kerap mengkambing hitamkan rokok sebagai sumber masalah kesehatan, ada baiknya jika kita perlu kembali berkaca bahwa persentuhan antara rokok dengan penduduk nusantara merupakan suatu bentuk interaksi budaya yang luhur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun