Merokok bukan hanya merupakan kesenangan pribadi, tapi juga menjadi hidangan penting yang disajikan kepada para tamu -- Boediman dan Onghokham (2016)
Rokok adalah barang konsumsi yang sangat populer di Indonesia. Pada tahun 2019 yang lalu katadata.co.id merilis sebuah grafik yang bersumber dari laporan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) yang berjudul The Tobacco Control Atlas, Asean Region.Â
Dalam laporan tersebut, SEATCA menungkapkan bahwa Indonesia adalah negara dengan jumlah perokok paling banyak di regional ASEAN, yakni sebesar 34% atau sebesar 65,19 juta orang.Â
Angka yang sangat besar ini pun memang memberikan kontribusi yang tak kalah yahud bagi pemasukan kas negara kita. Seperti sumber yang dilansir dari kompas.com, pada tahun 2018 sendiri cukai rokok menyumbang sekitar Rp 153 Triliun dan pada tahun 2020 ini, pemerintah berekspektasi bisa mencapai angka Rp 180,5 Triliun setelah pemerintah menetapkan kenaikan cukai rokok sebesar 23%.
Lantas dari penggalan data yang ada diatas kita dapat menyimpulkan bahwa rokok memang sangat berkontribusi besar bagi pemasukan kas negara. Jumlah perokok yang semakin banyak setiap tahunnya mengindikasikan bahwa memang kebudayaan merokok tidak akan pernah putus dalam lingkaran kehidupan masyarakat Indonesia.Â
Berkaca dari hal tersebut pertanyaan yang selanjutnya muncul bagi kita semua adalah bagaimana awal mula dari interaksi antara orang Pribumi dengan tembakau yang kemudian dimanfaatkan untuk merokok dan seberapa besar jatuh cintanya orang-orang Pribumi dengan kebiasaan merokok?Â
Untuk bisa menjawab kedua pertanyaan ini kita harus memahami terlebih dahulu tentang siapa yang membawa dan memperkenalkan tembakau serta memanfaatkannya untuk merokok.
Perjalanan sejarah tentang rokok dan kegiatannya di bumi nusantara sejatinya bisa kita ditelusuri sejak para penjelajah Portugis menginjakan kakinya di Pulau Jawa. Klaim ini bukanlah asal sembarang klaim.Â
Menurut sinolog Prof. G. Schelegel dalam Budiman dan Onghokham dalam Hikayat Kretek (2016: 82), tanaman tembakau berdasarkan pengamatannya bukanlah tanaman asli dari Indonesia. Bukti tersebut disuguhkan lewat pemakaian nama yang di adopsi dari bahasa Portugis untuk menyebut tembakau.Â
Dalam bahasa Portugis, tembakau dipanggil dengan nama tabaco atau tumbaco. Dari sinilah, Prof. G. Schelegel mengklaim bahwa orang Portugis adalah orang pertama yang membawa dan mempopulerkan tembakau ke nusantara untuk keperluan merokok.
Meski begitu, pendapat mengenai ini pun kemudian di tepis oleh penelitian Rumphius, seorang ahli botani Jerman yang bekerja untuk VOC yang membuat penelitian tentang rempah-rempah di Kepulauan Ambon.Â
Menurut Rumphius dalam Budiman dan Onghokham (2016: 82) tembakau sejatinya sudah dikenal oleh penduduk nusantara saat itu, khususnya penduduk Jawa.Â
Namun pada saat itu, penggunaan tembakau bukanlah untuk merokok melainkan untuk kepentingan penyembuhan. Nama yang digunakan untuk menyebut tembakau serta penggunaannya untuk merokok barulah diperkenalkan dan mendapatkan pengaruh yang sangat besar dari Portugis.Â
Hal ini kembali di perkuat oleh pendapat dari De Candolle yang bersumber dari kutipan Van Der Reijden dalam bukunya yang berjudul Rapport Betreffende Eene Gehouden Enquete Naar De Arbeids Toestanden In De Industrie Van Strootjes En Inheemsche Sigaretten Op Java jilid I (1934) serta Thomas Stamford Raffles yang bersumber dari bukunya yang terkenal, yakni The History of Java jilid I (1817). Menurut Budiman dan Onghokham (2016: 83), kedua tokoh ini menyepakati bahwa penamaan untuk tanaman tembakau serta pemanfaatannya untuk merokok dari orang-orang Portugis baru dimulai sejak tahun 1600 atau pada awal abad ke-17 atau lebih tepatnya saat perisitiwa mangkatnya Panembahan Senopati.
Berdasarkan keterangan dari naskah Jawa Babad Ing Sangkala, kemangkatan dari Panembahan Senopati di warnai dengan aktivitas merokok pertama kalinya di lingkungan Keraton Mataram setelah diperkenalkan oleh Portugis.Â
Dalam naskah tersebut terdapat sebuah kutipan yang menggambarkan tentang kehadiran dari tembakau serta pemanfaatannya untuk merokok. Isi kutipan tersebut berbunyi "Sewaktu mendiang Panembahan meninggal di Gedung Kuning adalah bersamaan tahunnya dengan munculnya tembakau. Setelah itu mulailah orang merokok".Â
Dua peristiwa penting saat itu terjadi dikisaran tahun 1601-1602 atau dalam penaggalan Jawa yakni sekitar tahun 1523 saka. Pada tahun-tahun berikutnya, persentuhan Keraton Mataram dengan tembakau dan kebiasaan merokok pun semakin tak terelakan. Pada abad ke-17 saat Mataram berada di bawah kepemimpinan Sultan Agung (1613-1645), seorang utusan dari VOC bernama Dr. H. de Haen membagikan sebuah cerita menarik tentang kebiasaan merokok di tengah-tengah lingkungan Keraton Mataram pada medio 1622-1623.Â
Menurut de Haen dalam Budiman dan Onghokham (2016: 84), Sultan Agung saat itu berumur antara 20 atau 30 tahun dan memiliki kebiasaan merokok yang cukup berat! Bahkan dalam sebuah kesempatan lain, saat itu Sultan Agung sedang memeriksa latihan militer pasukannya sambil terus menerus menghisap rokok dengan menggunakan bantuan pipa rokok berlapis perak sembari ditemani oleh seorang abdi dalem yang membawa upet atau tali api-api. Â
Kebiasaan merokok lambat laun mulai terbuka dan bisa dinikmati oleh siapapun. Pada saat itu rokok memang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang berstatus tinggi saja. Namun, lambat laun kebiasaan ini pun makin digemari oleh banyak orang dan akhirnya rokok mengalami pergeseran menjadi barang konsumsi yang bisa dinikmati oleh siapa saja.Â
Pada akhir abad ke-17, jumlah masyarakat umum yang menjadi seorang perokok mengalami peningkatan. Hal ini bisa dilihat dari seberapa besarnya pengeluaran yang mereka gunakan hanya untuk membeli rokok dari pada untuk membeli barang kebutuhan hidup lainnya. J. W. Winter, ayah dari Javanicus C. F. Winter Sr menulis sebuah jurnal yang berjudul Beknopte Beschrijwing Van Het Hof Soerakarta in 1824.Â
Menurut Boediman dan Onghokham (2016: 88) jurnal ini kurang lebih menceritakan secara cukup lengkap terkait dengan seberapa jatuh hatinya orang-orang Jawa saat itu dengan aktivitas merokok yang berkorelasi dengan uang pengeluaran harian mereka. J. W. Winter bercerita bahwa orang Jawa itu sangat sederhana sekali.Â
Seorang laki-laki Jawa saja berdasarkan pengamatannya bisa hidup hanya dengan 12 duit sehari. Lanjutnya, 12 duit itu di bagi ke beberapa penggunaan, antara lain tiga duit untuk membeli makanan layaknya nasi, tempe dan garam; enam duit yang paling besar digunakan untuk membeli beras serta tiga duit sisanya dipakai untuk membeli tembakau ataupun sirih. Dengan begitu, jika di rumuskan dalam presentase, jatah uang merokok seorang laki-laki Jawa saat itu besarnya kira-kira mencapai 25% dari uang belanjanya.
Dalam praktek merokok orang-orang Jawa saat itu, menurut J. W. Winter mereka kerap kali menggunakan kulit jagung kering atau klobot sebagai media pengganti kertas rokok. Rokok klobot adalah jenis rokok yang sangat umum dinikmati oleh kalangan masyarakat Jawa dan berbagai suku bangsa lainnya pada abad ke-19.Â
Namun, menurut Dr. P. Bleeker dalam Boediman dan Onghokham (2016: 89), daun pandan ternyata juga digunakan sebagai media pengganti kertas rokok. Namun, kelemahan dari daun pandan adalah isi tembakaunya sedikit dan hanya bertahan selama lima menit saja. Bicara soal rokok klobot ataupun pandan, kita juga tidak bisa melupakan tembakau apa saja yang saat itu sangat digemari oleh banyak kalangan. Tembakau Kedu adalah salah satu tembakau favorit bagi banyak perokok saat itu.Â
Tembakau Kedu terkenal karena mutunya yang bagus dan rasanya yang sedap. Karena keunggulannya itulah tembakau Kedu kerap dipakai sebagai tembakau pilihan untuk orang-orang berstatus. Menikmati tembakau Kedu pada saat itu bisa melalui dua cara, yakni dengan menggunakan pipa dan cerutu. Kebiasaan mengisap antara pipa dan cerutu ini pada selanjutnya juga menghasilkan sebuah perbedaan yang cukup mendasar dalam kebiasaan merokok.
Cerutu pada saat itu sering disimbolkan dengan rokok yang hanya bisa diisap oleh orang-orang terpandang dan penting saja. Menurut Dr. P. Bleeker dalam Boediman dan Onghokham (2016: 89), di kota Semarang cerutu diisap oleh semua kalangan orang terhormat.Â
Saat itu cerutu yang terkenal adalah cerutu Manila. Sedangkan pipa kerap kali dinikmati oleh mereka yang berprofesi sebagai serdadu ataupun mereka yang memang menyenangi gaya merokok dengan pipa. Untuk rokok pipa sendiri, tembakau yang dipakai adalah tembakau lokal yang diolah dengan cara tradisional Jawa. Meski kedua bentuk gaya merokok ini berbeda, namun ada satu kesamaan yang unik dari fenomena ini.Â
Orang Belanda menyebut kegiatan merokok baik itu dengan pipa atau cerutu dengan istilah ro'ken. Ro'ken sendiri dalam bahasa Belanda berarti mengisap. Menurut Gericke-Roorda dalam Boediman dan Onghokham (2016: 90), istilah ro'ken inilah yang selanjutnya di adopsi oleh masyarakat kita sebagai kata "rokok" dan kegiatan "merokoknya".Â
Meski begitu, penggunaan istilah rokok sendiri baru mulai populer saat memasuki akhir abad ke-19. Sebelumnya istilah yang cukup populer untuk menggambarkan kegiatan merokok bagi masyarakat Jawa dinamai dengan eses atau ses. Adapun yang lebih populer sering dipanggil dengan nama udud.
Pada akhirnya, kesimpulan yang bisa kita ambil adalah bukanlah sebuah misteri bagi kita orang Indonesia jika kita memang sangat jatuh cinta dengan kebiasaan merokok.Â
Terlepas dari semua masalah kesehatan hingga agenda politik yang kerap mengkambing hitamkan rokok sebagai sumber masalah kesehatan, ada baiknya jika kita perlu kembali berkaca bahwa persentuhan antara rokok dengan penduduk nusantara merupakan suatu bentuk interaksi budaya yang luhur.
Karena perjalanan sejarah rokok sendiri diwarnai oleh banyaknya peristiwa yang membuat esensi dan nilai dari sebatang rokok itu tidak hanya sebagai barang konsumsi saja namun juga sebagai simbol dan identitas sejarah serta kebangsaan yang kuat bagi kita orang Indonesia.
Daftar Pustaka:
Budiman; Onghokham. 2016. Hikayat Kretek. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia
Sukmana, Y. (2019, Januari 3). Cukai Rokok Sumbang Rp 153 Triliun ke Kas Negara pada 2018. kompas.com.Â
Sukmana, Y. (2019, September 23). Cukai Rokok Naik, Penerimaan Cukai Dipatok Rp 180,5 Triliun di 2020. kompas.com.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H