Meski begitu, pendapat mengenai ini pun kemudian di tepis oleh penelitian Rumphius, seorang ahli botani Jerman yang bekerja untuk VOC yang membuat penelitian tentang rempah-rempah di Kepulauan Ambon.Â
Menurut Rumphius dalam Budiman dan Onghokham (2016: 82) tembakau sejatinya sudah dikenal oleh penduduk nusantara saat itu, khususnya penduduk Jawa.Â
Namun pada saat itu, penggunaan tembakau bukanlah untuk merokok melainkan untuk kepentingan penyembuhan. Nama yang digunakan untuk menyebut tembakau serta penggunaannya untuk merokok barulah diperkenalkan dan mendapatkan pengaruh yang sangat besar dari Portugis.Â
Hal ini kembali di perkuat oleh pendapat dari De Candolle yang bersumber dari kutipan Van Der Reijden dalam bukunya yang berjudul Rapport Betreffende Eene Gehouden Enquete Naar De Arbeids Toestanden In De Industrie Van Strootjes En Inheemsche Sigaretten Op Java jilid I (1934) serta Thomas Stamford Raffles yang bersumber dari bukunya yang terkenal, yakni The History of Java jilid I (1817). Menurut Budiman dan Onghokham (2016: 83), kedua tokoh ini menyepakati bahwa penamaan untuk tanaman tembakau serta pemanfaatannya untuk merokok dari orang-orang Portugis baru dimulai sejak tahun 1600 atau pada awal abad ke-17 atau lebih tepatnya saat perisitiwa mangkatnya Panembahan Senopati.
Berdasarkan keterangan dari naskah Jawa Babad Ing Sangkala, kemangkatan dari Panembahan Senopati di warnai dengan aktivitas merokok pertama kalinya di lingkungan Keraton Mataram setelah diperkenalkan oleh Portugis.Â
Dalam naskah tersebut terdapat sebuah kutipan yang menggambarkan tentang kehadiran dari tembakau serta pemanfaatannya untuk merokok. Isi kutipan tersebut berbunyi "Sewaktu mendiang Panembahan meninggal di Gedung Kuning adalah bersamaan tahunnya dengan munculnya tembakau. Setelah itu mulailah orang merokok".Â
Dua peristiwa penting saat itu terjadi dikisaran tahun 1601-1602 atau dalam penaggalan Jawa yakni sekitar tahun 1523 saka. Pada tahun-tahun berikutnya, persentuhan Keraton Mataram dengan tembakau dan kebiasaan merokok pun semakin tak terelakan. Pada abad ke-17 saat Mataram berada di bawah kepemimpinan Sultan Agung (1613-1645), seorang utusan dari VOC bernama Dr. H. de Haen membagikan sebuah cerita menarik tentang kebiasaan merokok di tengah-tengah lingkungan Keraton Mataram pada medio 1622-1623.Â
Menurut de Haen dalam Budiman dan Onghokham (2016: 84), Sultan Agung saat itu berumur antara 20 atau 30 tahun dan memiliki kebiasaan merokok yang cukup berat! Bahkan dalam sebuah kesempatan lain, saat itu Sultan Agung sedang memeriksa latihan militer pasukannya sambil terus menerus menghisap rokok dengan menggunakan bantuan pipa rokok berlapis perak sembari ditemani oleh seorang abdi dalem yang membawa upet atau tali api-api. Â
Kebiasaan merokok lambat laun mulai terbuka dan bisa dinikmati oleh siapapun. Pada saat itu rokok memang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang berstatus tinggi saja. Namun, lambat laun kebiasaan ini pun makin digemari oleh banyak orang dan akhirnya rokok mengalami pergeseran menjadi barang konsumsi yang bisa dinikmati oleh siapa saja.Â
Pada akhir abad ke-17, jumlah masyarakat umum yang menjadi seorang perokok mengalami peningkatan. Hal ini bisa dilihat dari seberapa besarnya pengeluaran yang mereka gunakan hanya untuk membeli rokok dari pada untuk membeli barang kebutuhan hidup lainnya. J. W. Winter, ayah dari Javanicus C. F. Winter Sr menulis sebuah jurnal yang berjudul Beknopte Beschrijwing Van Het Hof Soerakarta in 1824.Â