Saat masa pemerintah Sultan Agung, Kesultanan Mataram Islam banyak melakukan kampanye militer untuk memperluas daerah kekuasaan mereka ke wilayah Jawa bagian Timur. Keberhasilan Kesultanan Mataram Islam dalam menempatkan padi sebagai komoditas politik telah memberikan dampak nyata keberhasilan mereka dalam merebut berbagai wilayah yang ada di bagian Timur Pulau Jawa, termasuk juga Pulau Madura dan sebagaian Pulau Kalimatan bagian pesisir (Sukadana).Â
Jauh sebelum Sultan Agung menyerang Batavia, Kesultanan Mataram Islam sudah sangat fasih bertempur di front Timur Pulau Jawa.
Dalam operasinya, pasukan-pasukan khusus Kesultanan Mataram Islam sebelum bertempur akan ditugaskan terlebih dahulu untuk memperhitungkan pasokan pangan bagi para prajurit yang akan bertempur dan melakukan operasi tilik sandi atau operasi mata-mata ke wilayah yang dapat dijadikan sebagai tempat berlindungan sekaligus lumbung pangan prajurit. Wilayah yang dipilih pun haruslah yang memiliki kontur tanah yang rata dan dekat dengan sumber air.Â
Dalam sejarah pertempuran mereka ke wilayah Timur Pulau Jawa, pasukan Kesultanan Mataram Islam memilih Jepara sebagai salah satu lokasi ideal untuk dijadikan daerah peyangga pangan dan berlindung bagi para prajurit Kesultanan Mataram Islam semasa perang. Selain mencari lokasi yang aman dan daerah penyaangga pangan, para pasukan rahasia ini juga ditugaskan untuk menghitung serta mempertimbangkan strategi taktik isolasi pasokan logistik untuk menaklukan lawan.Â
Taktik isolasi ini efektif. Sebab, dengan isolasi pangan pasukan lawan pada akhirnya hanya akan makan pangan ala kadarnya yang ditemukan di sekitar mereka, seperti bonggol pisang, umbi kunci, dan makanan lainnya yang kurang memiliki kandungan gizi. Dengan strategi itu, pihak lawan akan mengalami stress dan demoralisasi. Sehingga, mereka dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tidak menguntungkan, yakni menyerah dan mengaku kalah atau bertahan meski kelaparan (Maryoto, 2009: 99).
Adapun taktik serupa juga digunakan Kesultanan Mataram Islam ketika menyerang Batavia pada tahun 1628 dan tahun 1629. Sebelum menyerang Batavia, Kesultanan Mataram Islam membangun pos perbekalan dan perlindungan di wilayah Cirebon serta Tegal. Adapun pasukan khusus Kesultanan Mataram Islam juga memblokade aliran sungai menuju Batavia dan memblokade akses terhadap sumber makanan yang banyak berasal dari wilayah-wilayah sekitar Batavia, seperti Bogor, Priangan, Banten, dan lainnya.Â
Meski menerapkan taktik yang serupa, namun pada dua babak perang Batavia, Kesultanan Mataram Islam mengalami kekalahan telak. Salah satu kekalahan tersebut adalah karena pos perbekalan dan perlindungan Mataram di wilayah Cirebon serta Tegal dibumihanguskan oleh Belanda saat mereka melakukan serangan balik ke wilayah Mataram. Dari peristiwa itu, ambisi Sultan Agung untuk menguasai Batavia sirna dan kemudian Belanda lah yang justru berhasil menguasai Mataram di periode selanjutnya. Â
Setelah keruntuhan Kesultanan Mataram Islam, politisasi beras tetap dilestarikan oleh para penerusnya, mulai dari Kasunan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat; Presiden Soekarno saat era kemerdekaan; Presiden Soeharto saat masa orde baru; hingga era Indonesia modern seperti sekarang. Campur tangan politik selama ratusan tahun telah menjadikan beras sebagai makanan pokok yang mampu mengeliminasi berbagai makanan pokok lainnya yang justru melimpah ruah di bumi Nusantara.
Selama makanan pokok yang satu ini masih menjadi asupan yang digandrungi oleh kita semua maka beras akan selalu menjadi komoditas politik yang menggiurkan untuk dikuasai dan terus dipolitisir. Sejarah telah mencatat, mengkomodifikasi beras dan mencapai target swasembada adalah kunci untuk menyatakan kekuatan akan sebuah kekuasaan. Barang siapa yang bisa menguasainya, maka dia lah yang akan menang dan terus berkuasa.Â
Daftar Pustaka:
Maryoto, A. 2009. Jejak Pangan Sejarah, Silang Budaya dan Masa Depan. Jakarta. KompasÂ