Bistik merupakan makanan khas Keraton Yogyakarta selanjutnya yang mengalami proses hibridasi dan mimikri budaya. Secara tampilan, biefstuk masih berkerabat dekat dengan hidangan daging panggang khas masyarakat Barat, seperti steak, lamb chop, pork chop, gelic steak, dan lainnya. Biefstuk berasal dari bahasa Belanda yang berarti "daging panggang khas orang Belanda" (Gardjito, 2010). Perubahan nama dari biefstuk menjadi bistik kurang lebih mirip dengan perubahan nama zwaart-zuur menjadi suwar-suwir. Biefstuk pada dasarnya adalah hidangan daging steak yang umum dijumpai di banyak restoran Barat.Â
Cita rasa dan cara penyajiannya pun kurang lebih sama dengan steak secara umum, yakni adanya daging sebagai sumber protein hewani, kentang goreng atau kentang tumbuk sebagai sumber karbohidrat, dan sayur-sayur rebus atau panggang sebagai sumber vitamin serta mineral. Namun, perbedaan mendasar antara biefstuk dengan bistik tetap kembali terletak pada bumbu yang digunakan. Menurut Utami (2018) dan Gardjito (2010), antara biefstuk dan bistik perbedaan yang paling mencolok dapat ditemukan dari bumbu dasar serta saus yang digunakan untuk melumuri daging ketika akan disantap.Â
Biefstuk, sama seperti smoor dan zwaart-zuur menggunakan red wine, kaldu daging, pasta tomat, dan bahan-bahan lainnya untuk membuat saus hitam pekat khas masyarakat Eropa ketika menyantap daging. Sedangkan, di Indonesia saus hitam pekat diperoleh dari penggunaan kecap manis dan rempah-rempah segar, yang membuat rasa dari saus bistik tersebut menjadi lebih manis dan lebih harum serta hangat karena adanya penggunaan rempah-rempah. Selain itu, bistik acap kali juga disantap bersama dengan nasi, tidak seperti halnya biefstuk yang disantap dengan kentang goreng atau kentang tumbuk.Â
Bistik sapi sendiri semakin populer di atas meja makan Sri Sultan setelah intensnya kunjungan para pembesar Belanda ke lingkungan Keraton pada kala itu. Karena hal tersebut, maka para juru masak dan abdi dalem Keraton berinisiatif untuk berinovasi dalam mengubah berbagai hidangan Eropa yang kental dengan budaya dapur masyarakat lokal (Wijanarko, 2021). Sehingga, kemudian muncul lah kembaran dari biefstuk namun dengan cita rasa dan cara penyajian yang agak sedikit berbeda dengan aslinya. Selain itu, bistik merupakan hidangan utama yang biasanya disajikan untuk Sri Sultan Hamengkubowono IX sebagai kersanan-nya.Â
Sehingga, kita bisa menyimpulkan jika Keraton Yogyakarta dapat bertahan di tengah perubahan zaman yang keras karena mereka mampu beradaptasi dan belajar untuk menjadi sama secara politik. Sejarah mengenai hibridasi dan mimikri budaya yang dialami oleh Keraton Yogyakarta dari segi kuliner semakin menunjukkan bahwa Keraton Yogyakarta tidak hanya mampu melawan hegemoni Belanda saja secara politik di atas meja makam, namun juga mampu memperkaya khansanah kulinernya dengan secara apik dengan memadukan semua elemen dari beberapa bangsa dan menciptakan "akarnya" yang baru.Â
Daftar Pustaka:
Wijanarko, F. 2021. Bojakrama: Jamuan Kenegaraan Keraton Yogyakarta. Yogyakarta. Pohon Cahaya.
Utami, S. (2018). Kuliner Sebagai Identitas Budaya: Perspektif Komunikasi Lintas Budaya. Journal of Strategic Communication, 8(2): 36-44. Universitas Pancasila
Bhabha, H. (2004). The Location of Culture. New York. Routledge.
Gardjito, M et al. (2010). Menu Favorit Para Raja. Yogyakarta. Kanisius.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H