Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Film Nasional Indonesia, dari Kemerdekaan Hingga Pasca Komunisme

27 September 2019   15:01 Diperbarui: 15 September 2022   23:03 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Asrul Sani, salah satu sineas Indonesia | kulturalindonesia.id

Perjalanan sejarah film Indonesia beriringan dengan peristiwa berdarah.

Sejarah perjalanan bangsa Indonesia memang tidak pernah bisa dipisahkan dari berbagai peristiwa penting, seperti penjajahan, peristiwa proklamasi kemerdekaan, pembentukkan konstitusi UUD 1945, hingga peristiwa-peristiwa politik dalam negeri selepas kemerdekaan, seperti peristiwa berdarah G-30S/PKI, peristiwa Kuda Tuli, Peristiwa 27 Juni, kerusuhan Mei 1998, dan masih banyak yang lainnya. Berbagai peristiwa penting yang pernah terjadi kala itu memang tidak bisa dilepaskan dari negara yang baru saja merdeka, di mana ada begitu banyaknya gejolak sebagai akibat dari instabilitas sosial, politik, ekonomi, dan ras (Suseno, 2013). 

Namun di balik semua peristiwa sejarah kelam yang pernah terjadi, kita dapat sedikit banyak memahami bahwa banyaknya rekam perjalanan sejarah bangsa Indonesia telah mendorong dan menjadikannya sebagai bangsa yang besar serta beradab hingga pada hari ini. Di satu sisi, kita semua tentu tahu bahwa sebuah bangsa termasuk Indonesia tentunya juga memerlukan agen-agen sosial yang berusaha merekam serta mendokumentasikan setiap peristiwa sejarah tersebut, termasuk juga dari mereka yang sejatinya berkecimpung dalam ranah budaya populer, seperti para pembuat film. 

Film dan nasionalisme adalah dua hal yang akan terus saling bergantung satu sama lain. Hal ini dikarenakan film memiliki kekuatan untuk mendokumentasi, mereproduksi, dan mengkreasikan berbagai peristiwa sejarah yang pernah terjadi untuk menjadi satu kapital bagi sebuah bangsa agar semakin mampu memperkenalkan maupun merawat identitas bangsanya pada generasi mendatang, begitu juga dengan nasionalisme itu sendiri yang memerlukan kanal tersebut (film) agar semangat nasionalisme itu tetap terus tumbuh dan hidup di generasi-generasi yang akan datang (Uchjana, 2003). 

Menurut Uchjana (2003), film menjadi salah satu media massa berbasis audio visual yang pada masa Perang Dunia II dimanfaatkan sebagai sarana propaganda militer untuk meningkatkan nasionalisme dan kesetian prajurit pada masa itu. Hal ini bisa dibuktikan dari Carl Hovland , seorang peneliti komunikasi asal Amerika Serikat yang pernah memanfaatkan film sebagai media untuk menciptakan rasa nasionalisme dari tentara Amerika Serikat dalam Perang Dunia II melawan Jerman di tanah Eropa. Sejarah ini menjadi tonggak awal dari pertalian lestari antara film dan nasionalisme di kemudian hari. 

Dalam artikel kali ini, penulis akan mengajak pembaca untuk melihat secara jauh lebih dalam mengenai hubungan antara film dengan nasionalisme. Kita akan melihat bagaimana film dapat menjadi alat pemenuh nasionalisme sebuah bangsa dan tentunya kita akan membahas tentang sejarah film nasional Indonesia di era-era awal. Sebelum kita masuk pada pembahasan utama mengenai film dan nasionalisme serta film nasional Indonesia, ada baiknya jika terlebih dahulu kita membahas topik-topik yang mendasar, seperti halnya definisi film nasional itu sendiri.  

Arti Film Nasional dan Sejarah Film Nasional Indonesia

Film dan nasionalisme atau film nasional sebenarnya biasa disebut sebagai film idealisme (Cheng, 2011: 10-11). Mengapa bisa disebut demikian? Sebab, film pada waktu itu dianggap sebagai medium yang paling efektif untuk merepresentasikan dan menyebarluaskan gagasan budaya nasional kepada khalayak luas, seperti adanya peristiwa besar layaknya Perang Dunia II yang menjadikan esensi dan idealisme film saat itu sarat akan nilai-nilai politik, perjuangan, dan nasionalisme yang dinilai cukup ampuh untuk membakar semangat nasionalisme perjuangan masyarakat di banyak negara (Cheng, 2011: 10). 

Seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya, pada era Perang Dunia II seorang peneliti psikologi asal Amerika Serikat bernama Carl Hovland menemukan sebuah formula tentang penting film dalam proses mengubah sikap seseorang. Hasil penelitiannya dinamai dengan teori "mass communication and its effects" menyatakan bahwa efek penyajian satu sisi versus dua sisi dalam propaganda film sangat mempengaruhi cara bertindak dan berpikir bagi orang-orang yang mengkonsumsinya (Uchjana, 2003: 22). Hovland juga menjelaskan bahwa pesan dalam film akan lebih efektif jika dikatakan langsung tentang apa yang diinginkan ketimbang tersirat.

Sejarah film nasional di Indonesia sendiri sangat erat kaitannya dengan proses kemerdekaan Indonesia sebagai sebuah negara yang berdaulat di tahun 1950. Film pada masa itu menjadi wadah untuk menyalurkan semangat kebangsaan dan kebebasan, di mana seniman dan penulis datang serta mengambil peran sebagai juru bicara untuk memperkenalkan sebuah produk budaya dari sebuah bangsa (Cheng, 2011: 9). Film di masa itu juga menjadi medium paling efektif untuk merepresentasikan dan menyebarluaskan gagasan budaya nasional kepada masyarakat secara massal.  

Asrul Sani, salah satu sineas Indonesia | kulturalindonesia.id
Asrul Sani, salah satu sineas Indonesia | kulturalindonesia.id

Pada era awal film nasional di Indonesia, Asrul Sani menjadi tokoh kehormatan dalam industri film nasional Indonesia, karena menjadi tokoh Indonesia pertama yang menggunakan medium film untuk mendidik dan memberikan pencerahan pada audiens serta untuk mempromosikan nasionalisme. Sejarah film idealis di Indonesia kemudian dilanjutkan legasinya oleh seorang sineas muda bernama Usmar Ismail, yang berhasil membuat film pertamanya yang berjudul Darah dan Doa (1950). Pengetahuan dan keahliannya dalam membuat film pertama kali datang dari keikutsertaannya dalam proses kemerdekaan. 

Awal perjalanan karir Usmar Ismail sebagai seorang sineas muda dimulai dari ketika dirinya bekerja di bagian propaganda sebagai seorang penulis naskah. Namun, saat Belanda kembali datang pada agresi militer kedua, Usmar kemudian bertugas dan tunduk untuk bekerja kepada SPCC. SPCC adalah sebuah perusahaan film milik pemerintah Belanda yang kala itu ditugaskan untuk memproduksi semua film-film propaganda untuk kepentingan kampanye militer NICA di Indonesia. Selama proses itu Usmar memahami bagaimana cara kerja teknologi pengambilan gambar sekaligus manajerial produksi film milik orang Eropa. 

Selepas agresi militer dan Indonesia dinyatakan sebagai negara merdeka seutuhnya pada tahun 1949, Usmar kemudian mulai memantapkan dirinya untuk memproduksi karya film perdanaya yang berjudul Darah dan Doa. Film Darah dan Doa saat itu diproduksi oleh Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini), sebuah perusahaan yang didirikan oleh Rosihan Anwar beserta dengan Umar Ismail. Film Darah dan Doa mengisahkan tentang perjuangan Divisi Siliwangi saat berjalan pulang dari Jawa Timur setelah berhasil menumpas pemberontakan Muslim di Yogyakarta. 

Film ini dinilai cukup kontroversial, karena dinilai mematikan kegagahan militer dengan menyertakan adegan tewasnya Kapten Sudarto yang dibunuh oleh PKI Madiun di tahun 1948. Meski banyak dikritik, film ini mendapat julukan sebagai "film nasional" pertama dan hal itu diikuti dengan penetapan Hari Film Nasional yang jatuh setiap tanggal 30 Maret. Selain itu, film-film seperti Enam Djam di Jogja (1951) dan Lewat Djam Malam (1954) memiliki kesamaan pola dengan film Darah dan Doa (1950), yakni sama-sama menampilkan citra militer dan perjuangan bersenjata untuk menyatukan Indonesia merdeka (Cheng, 2011: 11).

Prinsip film nasional Indonesia yang dibawa oleh Usmar Ismail saat itu ingin menekankan perjuangan militer yang notabene tidak hanya berbicara soal Belanda sebagai musuh utamanya, namun juga membahas berbagai ancaman persatuan bangsa lainnya, seperti gerakan separatis Islam dan Komunisme yang saat itu marak selepas kemerdekaan di tahun 1949 (Cheng, 2011: 11-12). Sosok Usmar Ismail sendiri juga dianggap krusial karena dalam status film tersebut ia adalah pribumi pertama yang secara independen membuat film pada masa pasca kemerdekaan Indonesia dan banyak dari film produksinya mengarah pada konsep etno-nasionalis. 

Kapitalisasi, Isu Rasial, dan Komunisme dalam Film Nasionalisme Indonesia

Selain Usmar Ismail yang sarat akan produk film idealisnya, ada nama lain yang juga bisa disebut sebagai bapak film nasionalis Indonesia. Djamaluddin Malik adalah salah seorang produser Persari (Perseroan Artis Indonesia) yang namanya juga dinobatkan sebagai bapak pendiri film Indonesia. Malik pada waktu itu dianggap mengganggu kategori film nasional saat itu, karena orientasi produknya berfokus pada film-film komersial bukan film ideologis (Cheng, 2011: 12). Hal ini diwujud nyatakan oleh Persari dengan cara membuat studio film ala Hollywood untuk mendukung mimpi dalam memproduksi film komersil. 

Di tahun 1955, Malik mendirikan Festival Film Indonesia (FFI) sebagai tujuannya untuk mendorong produksi lokal dan mendukung film-film yang di produksi oleh Ismail. Saat FFI pertama, film produksi Persari, yakni Tarmina berhasil memenangkan nominasinya bersama dengan film Lewat Djam Malam karya Ismail. Namun, banyak pihak menganggap adanya kecurangan mengenai produksi film Indonesia berwarna pertama karya Lilik Soedjio yang diproduseri oleh Persari. Beredar kabar bahwa Persari mencuri cerita populer dari masyarakat Filipina dalam pembuatan filmnya dan bukan merupakan ide yang orisinil. 

Di saat yang bersamaan, produser film Tionghoa juga terus menerus dikritik karena dituding membuat "film murahan yang hanya bertujuan untuk memenuhi keuntungan pasar" (Cheng, 2011: 13). Etnis Tionghoa saat itu dianggap menjadi penyebab lahirnya dominasi film-film komersial atas film idealis nasional di era industri film sebelum kemerdekaan. Namun, film Darah dan Doa (1950) sendiri juga merupakan ironi, sebab meski etnis Tionghoa saat itu selalu dimarjinalkan, tapi film Darah dan Doa sendiri bisa selesai produksinya karena bantuan dana dari pemilik bioskop keturunan Tionghoa, bernama Tong Kim Mew. 

 Film Senyap, salah satu film yang membahas tentang nasib para PKI selepas peristiwa G-30S/PKI | jatim.tribunnews.com
 Film Senyap, salah satu film yang membahas tentang nasib para PKI selepas peristiwa G-30S/PKI | jatim.tribunnews.com

Selain itu, satu-satunya warga etnis Tionghoa yang mendapat kehormatan dalam sejarah awal film di Indonesia adalah Steve Liem Tjoan Hok yang harus mendapat penolakan karena dia adalah seorang warga etnis Tionghoa, yang pada kenyataannya banyak membantu dana produksi bagi film-film nasional pertama Indonesia (Cheng, 2011: 13). Mengapa etnis Tionghoa saat itu begitu dimarjinalkan padahal kontribusi mereka sangat besar untuk film nasional di era-era awal? Alasannya adalah karena supremasi yang di sematkan pada pribumi yang harus memegang seluruh kendali, bukan pada non-pribumi.

Film Indonesia juga mengalami titik paling nadir, yakni saat meletusnya peristiwa G-30S/PKI. Di masa-masa ini para pemenang (demokrasi) dari peristiwa paling berdarah di Indonesia tersebut mendiskreditkan para pembuat film Lekra/PKI yang berhaluan kiri beserta dengan ideologinya serta menyalahkan mereka atas segala bentuk politisasi film dan agitasi yang membawa industri perfilman kala itu menuju era kehancuran (Cheng, 2011: 13-14). Saat itu, para pembuat film dari Lekra dianggap bertanggung jawab atas politisasi film-film mereka yang berusaha menghancurkan terwujudnya industri film yang sarat akan nilai nasionalis.

Menurut Sen dalam Cheng (2011: 14), atas peristiwa tersebut film nasional Indonesia akhirnya dianggap lebih dari sekedar penghapusan intelektualitas seni dan media kaum kiri. Sen berpendapat jika orang berhaluan kiri juga memiliki ideologi yang mapan dan punya kuasa untuk mendefinisikan fungsi film serta menggolongkan hasil film mereka sebagai kebudayaan yang sah. Dalam konteks ini, citra komunisme dalam produk sinema akhirnya mendapatkan tempat yang paling hina dalam sejarah Indonesia, sebab banyak dari film-film tersebut diberangus atau ditarik dari peredaran seutuhnya. 

Merangkum Gagasan Film Nasionalisme Indonesia Pasca Gerakan Komunisme

Akibat dari meletusnya peristiwa 30 September 1965, selanjutnya para produser film nasionalis Indonesia membuat sebuah gagasan mengenai apa itu film nasional Indonesia yang benar dan mencerminkan nilai-nilai Indonesia itu sendiri. Menurut pendapat Soemardjono dalam Cheng ( 2011: 14), setidaknya ada tiga kriteria dasar yang harus dimiliki oleh sebuah film nasionalis Indonesia kala itu, antara lain:

1. Harus merupakan produk kebudayaan Bangsa Indonesia

2. Harus dapat menggantikan dominasi film asing, seperti halnya bangsa Indonesia berhasil merobohkan dominasi kolonialisme Eropa.

3. Harus mampu mengabdi kepada bangsa dan negara Indonesia dalam pembangunan watak dan kebangsaan nasional Indonesia.

Dari pemaparan gagasan Soemardjono soal kriteria film nasional Indonesia, bisa disimpulkan bahwa ketiga kriteria di atas adalah proyek nasionalis yang tampak seperti "sinema nasional" yang dibumbui dengan kepentingan politik pasca G-30S/PKI. Sehingga, dengan demikian kriteria yang dicanangkan tampak seperti agenda politik tertentu. Film nasional pun juga secara tidak langsung ingin menetapkan narasi dominan dengan menyediakan film yang cocok atau mampu merepresentasikan kerangka historis perjalanan bangsa Indonesia yang demokratis dan anti komunis. 

Akhirnya, kita mungkin bisa meminjam pemaham sederhana dari Bourdieu, terkait dengan bagaimana seharusnya kita memahami apa arti dari nasionalisme dalam sebuah produk budaya film. Film nasional menurut Bourdieu dalam Cheng (2011: 15) adalah "kebudayaan sah". Sah menurutnya adalah keadaan yang memungkinkan setiap budaya diatur oleh kelas dominan yang disesuaikan dengan selera dominan yang kemudian dibentuk ke dalam seni kanon yang digagas oleh elite budaya dan difungsikan sebagai sarana pembentukan identitas dan budaya nasional. Lewat fungsi tersebut, film dapat saja dijadikan alat pendidikan dan propaganda, yang mungkin saja juga dapat menggeser pemahaman khalayak tentang apa arti dari perjalanan historis sebuah bangsa yang sesungguhnya dan acap kali juga bisa berubah, "diubah", dibenarkan, atau pun di salah artikan sebagai sebuah produk budaya. 

Namun, terlepas dari semua hal dan peristiwa yang terjadi dalam perkembangan industri film nasional Indonesia di era-era awal, penulis menilai jika Indonesia saat ini sudah cukup berhasil dalam memanfaatkan kapital sejarah, legasi, dan ilmu dalam merawat industri film di masa-masa sekarang. Ini tentu dapat dibuktikan dengan munculnya sineas-sineas muda serta ramainya produksi film dalam negeri yang mengangkat permasalahan maupun fenomena dari dalam negeri juga. Kita tentu harus mengapresiasi seluruh kerja keras ini, agar ke depan industri film Indonesia semakin hidup. HIDUP FILM INDONESIA!

Daftar Pustaka:

Suseno-Magnis, F. 2013. DARI MAO KE MARCUSE Percikan Filsafat Marxis Pasca Lenin. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama

Uchjana, O. (2003). Ilmu, Teori Dan Filsafat Komunikasi. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Cheng, G. &. (2011). Mau Dibawa Ke Mana Sinema Kita? Jakarta: Salemba Humanika.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun