Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Film Nasional Indonesia, dari Kemerdekaan Hingga Pasca Komunisme

27 September 2019   15:01 Diperbarui: 15 September 2022   23:03 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Asrul Sani, salah satu sineas Indonesia | kulturalindonesia.id

Selain itu, satu-satunya warga etnis Tionghoa yang mendapat kehormatan dalam sejarah awal film di Indonesia adalah Steve Liem Tjoan Hok yang harus mendapat penolakan karena dia adalah seorang warga etnis Tionghoa, yang pada kenyataannya banyak membantu dana produksi bagi film-film nasional pertama Indonesia (Cheng, 2011: 13). Mengapa etnis Tionghoa saat itu begitu dimarjinalkan padahal kontribusi mereka sangat besar untuk film nasional di era-era awal? Alasannya adalah karena supremasi yang di sematkan pada pribumi yang harus memegang seluruh kendali, bukan pada non-pribumi.

Film Indonesia juga mengalami titik paling nadir, yakni saat meletusnya peristiwa G-30S/PKI. Di masa-masa ini para pemenang (demokrasi) dari peristiwa paling berdarah di Indonesia tersebut mendiskreditkan para pembuat film Lekra/PKI yang berhaluan kiri beserta dengan ideologinya serta menyalahkan mereka atas segala bentuk politisasi film dan agitasi yang membawa industri perfilman kala itu menuju era kehancuran (Cheng, 2011: 13-14). Saat itu, para pembuat film dari Lekra dianggap bertanggung jawab atas politisasi film-film mereka yang berusaha menghancurkan terwujudnya industri film yang sarat akan nilai nasionalis.

Menurut Sen dalam Cheng (2011: 14), atas peristiwa tersebut film nasional Indonesia akhirnya dianggap lebih dari sekedar penghapusan intelektualitas seni dan media kaum kiri. Sen berpendapat jika orang berhaluan kiri juga memiliki ideologi yang mapan dan punya kuasa untuk mendefinisikan fungsi film serta menggolongkan hasil film mereka sebagai kebudayaan yang sah. Dalam konteks ini, citra komunisme dalam produk sinema akhirnya mendapatkan tempat yang paling hina dalam sejarah Indonesia, sebab banyak dari film-film tersebut diberangus atau ditarik dari peredaran seutuhnya. 

Merangkum Gagasan Film Nasionalisme Indonesia Pasca Gerakan Komunisme

Akibat dari meletusnya peristiwa 30 September 1965, selanjutnya para produser film nasionalis Indonesia membuat sebuah gagasan mengenai apa itu film nasional Indonesia yang benar dan mencerminkan nilai-nilai Indonesia itu sendiri. Menurut pendapat Soemardjono dalam Cheng ( 2011: 14), setidaknya ada tiga kriteria dasar yang harus dimiliki oleh sebuah film nasionalis Indonesia kala itu, antara lain:

1. Harus merupakan produk kebudayaan Bangsa Indonesia

2. Harus dapat menggantikan dominasi film asing, seperti halnya bangsa Indonesia berhasil merobohkan dominasi kolonialisme Eropa.

3. Harus mampu mengabdi kepada bangsa dan negara Indonesia dalam pembangunan watak dan kebangsaan nasional Indonesia.

Dari pemaparan gagasan Soemardjono soal kriteria film nasional Indonesia, bisa disimpulkan bahwa ketiga kriteria di atas adalah proyek nasionalis yang tampak seperti "sinema nasional" yang dibumbui dengan kepentingan politik pasca G-30S/PKI. Sehingga, dengan demikian kriteria yang dicanangkan tampak seperti agenda politik tertentu. Film nasional pun juga secara tidak langsung ingin menetapkan narasi dominan dengan menyediakan film yang cocok atau mampu merepresentasikan kerangka historis perjalanan bangsa Indonesia yang demokratis dan anti komunis. 

Akhirnya, kita mungkin bisa meminjam pemaham sederhana dari Bourdieu, terkait dengan bagaimana seharusnya kita memahami apa arti dari nasionalisme dalam sebuah produk budaya film. Film nasional menurut Bourdieu dalam Cheng (2011: 15) adalah "kebudayaan sah". Sah menurutnya adalah keadaan yang memungkinkan setiap budaya diatur oleh kelas dominan yang disesuaikan dengan selera dominan yang kemudian dibentuk ke dalam seni kanon yang digagas oleh elite budaya dan difungsikan sebagai sarana pembentukan identitas dan budaya nasional. Lewat fungsi tersebut, film dapat saja dijadikan alat pendidikan dan propaganda, yang mungkin saja juga dapat menggeser pemahaman khalayak tentang apa arti dari perjalanan historis sebuah bangsa yang sesungguhnya dan acap kali juga bisa berubah, "diubah", dibenarkan, atau pun di salah artikan sebagai sebuah produk budaya. 

Namun, terlepas dari semua hal dan peristiwa yang terjadi dalam perkembangan industri film nasional Indonesia di era-era awal, penulis menilai jika Indonesia saat ini sudah cukup berhasil dalam memanfaatkan kapital sejarah, legasi, dan ilmu dalam merawat industri film di masa-masa sekarang. Ini tentu dapat dibuktikan dengan munculnya sineas-sineas muda serta ramainya produksi film dalam negeri yang mengangkat permasalahan maupun fenomena dari dalam negeri juga. Kita tentu harus mengapresiasi seluruh kerja keras ini, agar ke depan industri film Indonesia semakin hidup. HIDUP FILM INDONESIA!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun