Feel Koplo datang semua berdendang!
Dangdut adalah salah satu genre musik yang sangat populer di Indonesia. Ada begitu banyak genre dangdut di Indonesia. Salah satu genre dangdut yang akhir-akhir ini sedang happening adalah dangdut koplo. Dangdut koplo adalah musik dangdut dari daerah Pantai Utara Jawa (Pantura) yang berasimilasi dengan kesenian musik tradisional Kendang Kempul dari daerah Banyuwangi, Jawa Timur dan irama tradisional khas Jawa Tengah, khususnya gamelan dan jaranan atau kuda lumping (Raditya, 2013).
Dengan irama lagu yang riang dan dominannya suara ketipung serta kendang yang rancak, membuat genre dangdut koplo selalu dapat membuat penontonnya "kerasukan" untuk ikut bernyanyi dan bergoyang ria ke sana ke mari. Meski dangdut koplo kerap dicap seronok karena menampilkan biduan dengan pakaian serba minim, namun genre dangdut yang satu ini justru mengalami inovasi karena kreativitas dari para penikmatnya. Salah satu inovator itu adalah Feel Koplo.Â
Feel Koplo adalah grup musik edm asal Bandung yang terdiri dari Maulfi Ichsan, sebagai master of ceremony (MC) dan Tendi Ahmad, sebagai disc jockey (DJ) (. Feel Koplo lahir di Kota Bandung pada bulan November 2018. Kreativitas yang Feel Koplo lakukan adalah dengan memadukan genre musik dangdut koplo yang seru dan dianggap seronok dengan genre musik elektronik kekinian, yang lengkap dengan permainan musik edgy dari seorang disc jockey (DJ).Â
Melihat fenomena unik dari perpaduan dangdut koplo dengan musik elektronik, penulis ingin mengetahui secara jauh lebih dalam, apakah kegiatan konsumsi genre dangdut koplo dengan perpaduan EDM lewat #awasdangdut Feel Koplo dikalangan anak-anak muda sekarang dapat mengangkat harkat dan martabat dangdut koplo, sebagai genre dangdut yang selalu dicap "norak, kampungan, dan seronok" oleh masyarakat?
Feel Koplo dalam Teori Komunikasi
Untuk dapat memahaminya, penulis menggunakan pendekatan sudut pandang teori Kegunaan dan kepuasan serta teori konsumsi dalam spektrum kajian kultural komunikasi sebagai alat untuk menganalisisnya. Menurut West & Turner (2007:423-424), teori kegunaan dan kepuasan adalah teori suatu teori komunikasi yang menekankan pada bagaimana khalayak memenuhi kepuasannya terhadap media komunikasi yang mereka pilih untuk mencapai suatu tujuan.Â
Di sini khalayak dianggap sebagai raja, yang sangat mempengaruhi gerak dari suatu media serta mampu menginterpretasi dan mengintegrasikan isi media sesuai dengan kebutuhan sosialnya. Dalam konteks ini, Feel Koplo adalah pelaku media yang menghasilkan musik dangdut koplo yang diberi sentuhan musik elektro dan distribusikan lewat media sosial mereka, seperti Instagram dan Youtube, berupa musik remix dari sembilan musisi ternama dan dua buah video after party.
Konten-konten mereka di media sosial mengundang cara baru dalam mengintepretasi dan mengintegrasikan sudut pandangan kebaruan terhadap dangdut koplo. Intepretasi dangdut koplo dengan perpaduan EDM yang berhasil digagas oleh Feel Koplo menurut hasil wawancara dengan beberapa penikmat musik elektro dari kalangan mahasiswa justru membuat pandangan soal dangdut koplo berubah dan dianggap menjadi suatu karya seni yang unik dan mampu membuka cakrawala baru dalam seni musik Indonesia.
"Menurut ku ini bentuk akulturasi yang keren, karena yang orang lokal bisa kenal EDM dan orang yang suka edm bisa kenal sama potensi musik lokal", imbuh Rein, host rave party dari sebuah club ternama di Selatan Jakarta.
Feel Koplo membuat dan memakai tagar #awasdangdut sebagai alat kampanye mereka di media sosial untuk memperkenalkan dan mempromosikan bentuk serta cara yang lebih kekinian dan edgy dalam menikmati musik "dangdut koplo". Fenomena ini juga menghasilkan terciptanya integrasi baru, terkhususnya integrasi sosial di tengah-tengah pergaulan anak muda pecinta musik elektro dan dunia malam, terkhususnya di kota Bandung kota kelahiran Feel Koplo.
Integrasi sosial awalnya terjadi lewat interaksi kalangan anak-anak muda Bandung, soal kehadiran duo DJ new comers yang memainkan lagu dangdut bernuansa elektro sebagai maintracklist mereka. Secara kognitif, anak-anak muda kota yang tadinya mungkin "anti dengan musik dangdut" karena dicap sebagai musik kalangan bawah pada akhirnya mulai menganggap dan perlahan menerima musik dangdut dengan sentuhan elektro sebagai sesuatu yang catchy dan cheesy, bukan sesuatu yang ketinggalan zaman (West & Turner, 2007 dan Weintraub, 2013).
Menurut Elliza (2019), kehadiran Feel Koplo dengan remix dangdut elektronya itu semakin meramaikan interaksi sosial anak-anak muda soal lahirnya selera musik kekinian yang asik lewat berbagai media sosial, utamanya Instagram dan Youtube. Ramainya interaksi sosial di di berbagai platform media sosial, di satu sisi juga semakin menandakan bahwa ada rasa puas dan motivasi untuk semakin mencintai produk musik lokal. Hal ini senada dengan pendapat Rere, personil band SKA asal Bandung bernama SKABEYES.Â
"Di bandung sendiri teh ada banyak anak Jakarta jeung Bandung yang suka sama lagu edm dan hiphop. Tapi anehnya, waktu Feel Koplo manggung di daerah Dago mereka malah ngapresiasi banget. Menurut aing sih, Feel Koplo geus mengubah stigma orang soal dangdut, terutama koplo yang katanya kan kampung, norak dan lainnya itu. Tapi sekarang loba sing seneng sama koplo", imbuh Rere.
Menurut West & Turner (2007:428-430), motif afektif dan melepaskan tegangan bagi anak-anak muda tercapai ketika mengkonsumsi lagu-lagu Feel Koplo karena musik dangdut koplo ternyata lebih relevan dengan konteks pengalaman konsumsi musik mereka di masa lalu yang dibawakan pada masa yang berbeda serta cara yang berbeda dalam menikmatinya. Sehingga ketika mereka mendengarkan lagu Feel Koplo, mereka merasa memiliki pengalaman atas musik tersebut dan berhasil hanyut dengan alunan musik.
Alienasi dalam Dangdut KoploÂ
Dangdut koplo sebagai genre musik akan selalu berkolerasi dengan para penikmat musiknya. Namun, dalam banyak kasus, para penikmat musik dangdut koplo kerap dicap sebagai orang "kampungan" dan sering dipisahkan dari masyarakat umum. Stereotipe ini bisa muncul karena dalam setiap pertunjukan dangdut koplo, biduan atau perempuan pemandu musik dangdut selalu dikambinghitamkan sebagai agen perusak dari citra musik dangdut koplo.Â
Pemikiran ini muncul karena biduan selalu ditempatkan dan dikosepkan sebagai "penghibur", yang mana pertunjukan biduan sendiri dalam dangdut seringkali ditampilkan secara seronok dan tidak sesuai dengan representasi dangdut yang penuh dengan nilai filosofis, budaya, hiburan rakyat, gotong royong, dan sukacita (Raditya, 2013). Sehingga, pada akhirnya dangdut koplo sering dicap "kampungan" oleh banyak pihak. Fenomena pengecapan ini dapat disebut juga sebagai alienasi.
Alienasi sendiri dalam teori konsumsi adalah pembentukan paham dalam produksi bahwa manusia belum memiliki identitas dalam diri mereka (jati diri) sehingga mereka "di paksa" untuk menemukan jati diri mereka lewat produk-produk yang harus mereka konsumsi (Marx dalam Storey, 2007:144)
Dalam wawancara yang dilakukan dengan narasumber, alineasi justru terjadi karena setiap orang punya ideologi mereka masing-masing dan ideologi mereka dapat tersalurkan lewat konsumsi produk yang memang relevan dalam perjalanan petualangan jati dirinya. Secara tidak langsung, ketika kita mengkonsumsi suatu produk, kita akan saling terkotakan satu sama lain karena ada perbedaan selera yang mengakibatkan adanya perbedaan sudut pandang dalam memahami dan merefleksikan suatu sisi realitas penemuan akan makna diri dan jati diri.
"Semua orang suka dengan macem-macem genre lagu, dan dangdut pasti akan terkotakan, karena ada stigma dan nilai negatif dalam setiap lagu yang di nikmati sama penikmatnya. Musik kan juga mewakili ideologi dan otomatis alineasi ga bisa hilang,"Â imbuh Gerra, DJ dari Jogja Dutch Foundation.
Pada akhirnya, dangdut koplo yang selalu dipandang miring sebagai genre lokal, pada kali ini mampu menunjukan keberhargaannya lewat bentuk yang baru dan unik. Perpaduannya dengan musik elektro dan dengan gaya bermain ala DJ membuat dangdut koplo semakin diperhitungkan eksistensinya dalam bersanding dengan musik-musik top di industri musik Indonesia.
Lewat Feel Koplo dan tagar #awasdangdut mereka, setidaknya dapat menjadi salah satu kerja kolektif yang berusaha dan berjuang untuk mematahkan stigma negatif soal dangdut koplo yang dicap "kampungan". Lewat lagu-lagunya, mereka (Feel Koplo) berhasil menumbuhkan pandangan baru bahwa dangdut koplo secara harkat dan martabatnya mampu bersanding dengan genre musik lain.
Pembuktian lewat pengakuan dan apresiasi dalam me-remix serta cara membawakan lagu yang anti-mainstream oleh Feel Koplo, membuat dangdut koplo semakin diperhitungkan. Anak-anak muda secara perlahan-lahan mulai menikmati musik ini dan memberikan testimoni berupa apresiasi serta komentar terhadap ketidakpercayaan mereka, bahwa dangdut koplo versi Feel Koplo dapat memberi mereka identitas, utamanya dalam bagaimana mereka menemukan nilai berharga dari kelokalan yang ada di sekitar.
Sumber:Â
West, R & Turner, L. 2007. Introducing Communication Theory (Analysis and Application). New York. McGraw-Hill.
Storey, John. (2007). Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop: Pengantar Komprehensif Teori dan Metode. Yogyakarta: Jalasutra.
Elliza, O. (2019, Mei 9). Feel Koplo: Duo Sinden Dangdut Remix Yang Makin Populer. socamedia.id. Dikutip pada tanggal 9 juni 2019
Raditya, M. (Desember, 2013). DANGDUT KOPLO: SELERA LOKAL MENJADI SELERA NASIONAL. journal.unnes.ac.id. Dikutip pada tanggal 10 Juni 2019
Weintraub, A. 2013. The Sound and Spectacle of Dangdut Koplo: Genre and Counter-Genrein East Java, Indonesia. Asian Music, (44)2: 160-194. The University of Texas.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H