Di tengah derasnya arus teknologi modern yang seringkali menggantikan ruang refleksi spiritual, penulis mencoba merefleksikannya dengan menyoroti berbagai tantangan yang muncul, seperti distraksi yang disebabkan oleh penggunaan gawai yang berlebihan, berkurangnya waktu untuk doa dan meditasi, serta pengaruh negatif konten digital terhadap nilai-nilai keimanan. Di sisi lain, refleksi ini juga menggali peluang-peluang yang ditawarkan oleh teknologi, seperti kemudahan akses terhadap sumber-sumber rohani, penguatan komunitas beriman melalui platform daring, dan penyebaran pesan iman yang lebih luas. Oleh karenanya melalui refleksi ini, penulis mencoba mengeksplorasi bagaimana iman dapat bertahan dan bahkan berkembang di tengah derasnya arus teknologi zaman now.
Di tengah arus deras perkembangan teknologi yang merasuki hampir setiap sudut kehidupan manusia, pertanyaan mengenai makna iman di era ini menjadi semakin relevan. Teknologi tidak hanya mengubah cara manusia bekerja, berkomunikasi, dan belajar, tetapi juga membawa tantangan mendalam terhadap dimensi spiritual dan iman. Bagi banyak orang, teknologi menawarkan solusi instan dan kemudahan luar biasa, sehingga seringkali menggantikan ruang refleksi yang sebelumnya diduduki oleh pencarian makna yang lebih dalam. Tantangan lain yang muncul adalah bagaimana teknologi memengaruhi cara kita berkomunitas. Gereja, sebagai tubuh Kristus, menghadapi tekanan besar di era digital. Kehadiran fisik yang dulu menjadi pusat kehidupan beriman kini terkadang digantikan oleh ibadah daring atau komunitas virtual. Meskipun ini menawarkan peluang untuk menjangkau lebih banyak orang, ada bahaya kehilangan dimensi inkarnasional dari iman Kekatolikan kita. Sakramen, misalnya, adalah tanda kehadiran Allah yang nyata dan fisik dalam kehidupan kita. Dalam tradisi Gereja Katolik, Ekaristi adalah kehadiran nyata Kristus, sesuatu yang tidak dapat sepenuhnya dialami melalui layar komputer. Oleh karena itu, iman memanggil kita untuk mencari keseimbangan antara memanfaatkan teknologi dan tetap menjaga aspek-aspek inti dari kehidupan beriman.
Tantangan lainnya adalah meningkatnya ketidakadilan dan eksploitasi. Ujaran kebencian yang tersebar luas di media sosial dapat memicu konflik sosial dan agama, misalnya sebuah unggahan provokatif yang menyudutkan kelompok agama tertentu dapat menyulut perdebatan panas dan merasa agamanya yang paling benar sehingga berujung pada kerusuhan di dunia nyata, seperti, kasus pelarangan, penggubaran dan bahkan pembakaran rumah ibadat. Ketegangan semacam ini tidak hanya merusak hubungan antarumat beragama, tetapi juga memupuk kebencian antar sesama. Di sisi lain, kejahatan siber seperti penipuan daring atau eksploitasi data pribadi menambah beban moral dan psikologis masyarakat, misalnya seorang yang kehilangan seluruh tabungannya setelah tertipu oleh modus penipuan investasi online. Tidak hanya secara finansial, tetapi korban juga merasa malu dan tertekan secara mental karena dianggap lalai oleh keluarganya.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi dalam integrasi iman dan teknologi adalah distraksi yang disebabkan oleh penggunaan gawai yang berlebihan. Dengan notifikasi yang terus berbunyi, media sosial yang tak pernah tidur, dan aplikasi yang berlomba-lomba menarik perhatian, waktu untuk refleksi spiritual menjadi sangat terbatas. Banyak orang merasa sulit meluangkan waktu untuk ikut ibadat ke gereja, Perayaan Ekaristi, berdoa atau bermeditasi, teralihkan oleh berbagai aktivitas Medsos. Terkadang pada saat ibadat atau pada Perayaan Ekaristi, hanya tubuhnya saja yang hadir, tetapi perhatiannya sibuk menscroll handphone di dalam gereja. Tidak jarang, nilai-nilai keimanan pun tergerus ketika seseorang terpapar oleh konten-konten yang tidak sesuai dengan moralitas iman.
Perkembangan teknologi menggambarkan puncak dari pencarian manusia untuk menguasai dan memahami dunia. Dari perspektif Martin Heidegger, teknologi tidak hanya alat, tetapi cara pandang yang membentuk bagaimana manusia berinteraksi dengan realitas. Heidegger menyebut teknologi modern sebagai "Gestell", kerangka kerja yang memaksa manusia melihat dunia hanya sebagai sumber daya yang dapat dieksploitasi. Dalam konteks ini, menjadi tantangan dalam beriman: bagaimana seseorang dapat mengenali kehadiran Ilahi di tengah dunia yang cenderung mereduksi segala sesuatu menjadi objek fungsional?
Keberadaan teknologi yang serba canggih ini dapat membuat manusia merasa memiliki kontrol penuh atas hidupnya. Ilusi ini menciptakan tantangan besar bagi iman, karena iman memerlukan pengakuan akan ketergantungan manusia kepada sesuatu yang melampaui dirinya. Santo Augustinus dalam karyanya "Confessions" berbicara tentang hati manusia yang gelisah sampai ia beristirahat dalam Allah. Namun, teknologi modern sering memberikan ilusi istirahat sementara, menggantikan pencarian makna mendalam dengan hiburan digital yang tiada henti. Dalam situasi ini, iman menjadi panggilan untuk keluar dari ilusi ini dan kembali kepada sumber makna sejati.
Dalam refleksi ini, iman di era teknologi mengingatkan kita pada misteri inkarnasi. Allah yang menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus adalah simbol penyesuaian radikal Allah terhadap kondisi manusia. Dalam konteks ini, iman bukanlah penolakan terhadap teknologi, tetapi sebuah ajakan untuk menyucikan penggunaan teknologi agar selaras dengan kehendak Allah. Teknologi, jika dipandang sebagai karunia Allah, dapat menjadi alat untuk memperdalam iman dan melayani sesama. Namun, seperti semua karunia, ia dapat disalahgunakan. Ketika teknologi menjadi tujuan akhir, ia berubah menjadi berhala yang menggantikan tempat Allah dalam hati manusia. Di sinilah pentingnya discernment, yaitu kemampuan untuk membedakan apa yang membawa kita lebih dekat kepada Allah dan apa yang menjauhkan kita dari-Nya.
Yesus sendiri, dalam ajaran-Nya, sering menggunakan analogi dan metafora yang relevan dengan konteks zamannya. Yesus berkata bahwa tidak ada yang dapat mengabdi kepada dua tuan, baik Allah maupun mamon (Mat 6:24). Pernyataan ini relevan di era teknologi zaman ini, di mana mamon dapat berupa ketergantungan pada gadget, media sosial, atau kekuasaan algoritma yang sering kali membentuk opini publik. Iman menuntut pengabdian total kepada Allah, yang melampaui segala bentuk penyembahan kepada ciptaan manusia.
Dalam konteks biblis, Kitab Kejadian memberi kita gambaran tentang manusia sebagai imago Dei, gambar dan rupa Allah. Teknologi, sebagai hasil kreativitas manusia, juga merupakan ekspresi dari kemampuan manusia yang diciptakan menurut gambar Allah. Namun, dosa juga memengaruhi cara manusia menggunakan teknologi. Dalam kisah Menara Babel di mana manusia mencoba membangun menara yang mencapai langit sebagai simbol kekuasaan mereka. Allah mengacaukan rencana mereka, menunjukkan bahwa ambisi manusia yang tidak terarah kepada Allah akan membawa kehancuran (Bdk Kej11:1-9). Kisah ini menjadi peringatan agar manusia tidak menjadikan teknologi sebagai sarana untuk melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh Allah.
Namun, iman bukan hanya berbicara tentang batasan; iman juga berbicara tentang harapan. Allah berfirman, "Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!" (Lih. Wahyu 21:5). Perkembangan teknologi dapat dilihat sebagai bagian dari proses pembaruan jika digunakan untuk tujuan yang mulia: membantu yang lemah, mempercepat penyebaran Injil, atau memperdalam pemahaman kita akan ciptaan Allah. Teknologi bukanlah musuh iman, melainkan alat yang dapat dipakai untuk memuliakan Allah jika digunakan dengan bijak. Dalam hal ini bisa disimpulkan bahwa, di balik tantangan tersebut, ada peluang besar yang dapat dimanfaatkan untuk memperkuat iman. Perkembangan teknologi, dengan segala kehebatannya, juga menyediakan akses yang lebih mudah terhadap sumber-sumber rohani, seperti aplikasi rohani seperti Alkitab digital, renungan harian, atau aplikasi doa membantu banyak orang untuk tetap terhubung dengan iman mereka, bahkan di tengah kesibukan sehari-hari. Dengan hanya beberapa sentuhan di layar, seseorang dapat mengakses renungan-renungan yang memperdalam pemahaman tentang iman, mendengarkan renungan pastor, atau mengikuti pembelajaran tentang iman kekatolikan.
Selain itu juga media sosial dapat digunakan untuk menyebarkan pesan-pesan cinta kasih dan solidaritas, seperti kampanye digital yang menggalang dana untuk membantu korban bencana atau mendukung inisiatif sosial. Komunitas Gereja juga dapat memanfaatkan platform daring untuk diskusi iman, atau membangun solidaritas lintas budaya dan negara. Media sosial juga dapat digunakan untuk melawan ketidakadilan. Dengan menggunakan media sosial, Gereja dapat menjadi suara bagi mereka yang tertindas, memperjuangkan hak asasi manusia, dan menyebarkan nilai-nilai keadilan serta kasih Kristiani.
Sebagai refleksi praktis, bagaimana kita dapat hidup beriman di tengah perkembangan teknologi ini? Pertama, kita perlu mengembangkan spiritualitas discernment yang mendalam. Seperti yang dikatakan Rasul Paulus "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah." (Rom 12:2). Dalam dunia yang dibanjiri oleh informasi dan distraksi, discernment membantu kita untuk mengenali mana yang benar-benar penting dan berharga di mata Allah.
Kedua, kita perlu membangun komunitas iman yang kuat. Teknologi seringkali mendorong individualisme, tetapi iman selalu bersifat komunitarian. Gereja harus menjadi tempat di mana orang dapat menemukan makna dan dukungan yang tidak dapat diberikan oleh dunia digital. Sebagaimana tertulis dalam Kisah Para Rasul "kita melihat bagaimana komunitas Kristen perdana hidup bersama dalam kasih dan solidaritas". (Kis 2:42-47) Komunitas seperti ini menjadi semakin penting di era teknologi, di mana banyak orang merasa terisolasi meskipun terhubung secara digital.
Ketiga, kita perlu menggunakan teknologi secara etis dan bertanggung jawab. Melalui sabda-Nya, Yesus memanggil kita untuk menjadi garam dan terang dunia (Mat 5:13-16). Ini berarti menggunakan teknologi untuk membawa kebaikan, kebenaran, dan keadilan. Media sosial, misalnya, dapat menjadi alat untuk menyebarkan Injil dan melawan ketidakadilan. Iman menuntut kita untuk menggunakan teknologi dengan cara yang mencerminkan kasih dan kebenaran Allah.
Akhirnya, iman di era teknologi memanggil kita untuk kembali kepada relasi yang mendalam dengan Allah. Teknologi dapat menjadi alat yang kuat, tetapi ia tidak dapat menggantikan kehadiran Allah dalam hidup kita. Dalam Kitab Mazmur kita diundang untuk diam dan mengenal Allah (Mazmur 46:10). Di tengah hiruk-pikuk dunia digital, iman memanggil kita untuk menemukan keheningan, di mana kita dapat mendengar suara Allah yang lembut namun penuh kuasa.
Dengan demikian, iman di tengah perkembangan teknologi bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, tetapi sesuatu yang harus dihidupi dengan penuh kesadaran dan keberanian. Teknologi dapat menjadi tantangan, tetapi juga peluang untuk memperdalam iman kita dan membawa kasih Allah ke dalam dunia yang semakin kompleks. Seperti yang dikatakan oleh Yesus, "Lihatlah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman" (Mat 28:20). Kehadiran-Nya tidak terbatas oleh ruang dan waktu, bahkan oleh perkembangan teknologi. Iman adalah pengakuan akan kehadiran ini, yang memberi makna sejati di tengah dunia yang terus berubah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H