Pendahuluan
     Konsep iman dan wahyu, meskipun berbeda secara logis, terkait satu sama . Semua agama teistik besar, terutama kepercayaan Ibrahim Yudaisme, Kristen, dan Islam, secara tradisional mengajarkan bahwa Tuhan hanya dapat diketahui melalui wahyu. Tuhan dipahami sebagai Yang Mahakuasa dan Mahamengetahui, maka mustahil bagi siapa pun untuk memperoleh pengetahuan tentang Tuhan kecuali Tuhan menghendaki hal ini terjadi. Dalam beberapa hal, semua pengetahuan tentang Tuhan dimungkinkan oleh keputusan Tuhan untuk membiarkan dirinya dikenal. Namun tidak selalu mudah untuk memahami maupun mengenali wahyu dan iman sebagai dimensi untuk mengenali kebenaran Tuhan. Diperlukan refleksi logis dan spiritual untuk menelaahnya sehingga wahyu dan iman tersebut sungguh-sungguh suatu jembatan yang benar untuk menemukan kebenaran dan kebaikan Tuhan.
A. Memahami Wahyu
      Dalam sejarah refleksi dan pemahaman tentang wahyu, secara umum telah dibedakan antara wahyu umum dan wahyu khusus. Wahyu umum mencakup apa yang dapat diketahui tentang Tuhan dari alam, melihat ciri-ciri umum dunia yaitu kemungkinan dan tujuannya, atau ciri-ciri umum dari pengalaman manusia, seperti pengalaman moral, kewajiban, kesenangan estetis, dan perasaan ketergantungan dan kekaguman. Sementara wahyu khusus dapat terdiri dari peristiwa, pengalaman, atau ajaran tertentu, yang seringkali dimediasi melalui seorang nabi, rasul, atau tokoh agama tertentu. Objek utama dari iman adalah Tuhan itu sendiri, bukan wahyu. Maka harus dipahami bahwa wahyu adalah pengungkapan atau pernyataan diri Tuhan yang ditanggapi oleh manusia. Namun, karena Tuhan hanya dikenal melalui wahyu, iman kepada Tuhan secara alami mencakup tanggapan percaya dan percaya terhadap apa yang telah Tuhan ungkapkan yaitu wahyu.
     Wahyu tidak dapat dipisahkan dari pengalaman sosio-kultural. Bagi Paul Ricoeur, wahyu merupakan "le croyable disponibile" dari sebuah zaman, yaitu pelbagai bentuk dugaan, harapan dan ideologi yang diterima, berkembang dan berubah sesuai dengan kenyataan yang ada dan disposisi batin kita. Wahyu mengandalkan hal-hal yang profan sebab melalui gejala-gejala yang ada di dunia profan, lahir dan berkembang pengalaman religius akan wahyu itu sendiri. Itu berarti, hakekat wahyu hanya bisa dipahami apabila kita menggali pelbagai hal yang terkandung dan tersembunyi di dalam "pengalaman" dan peristiwa hidup manusia. [Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan 32.]
1. Wahyu sebagai ProposisiÂ
      Thomas Aquinas berpendapat bahwa kebenaran tentang Allah secara natural mempunyai dua jenis, yaitu kebenaran yang "melampaui seluruh kemampuan akal budi" dan kebenaran yang "mampu dicapai oleh akal budi". Aquinas mengatakan bahwa kedua jenis kebenaran itu diwahyukan oleh Tuhan dan merupakan objek yang mampu diolah oleh akal manusia. Dengan demikian ada kebenaran yang memang bisa dipahami dan ada yang tidak dapat dipahami atau dibuktikan secara konkret. Inilah yang dimaksud dengan wahyu proposisi. Proposisi berarti rancangan, usulan atau ungkapan yang dapat dipercaya, disangsikan, disangkal, atau dibuktikan benar-tidaknya. Maka wahyu sebagai proposisi berarti wahyu adalah suatu kebenaran atau lebih tepatnya ungkapan tentang Tuhan yang kebenarannya masih dapat diuji, sebab selalu ada kemungkinan kebenaran yang melampaui akal manusia yang terkadang dapat keliru dipahami. Aquinas melanjutkan dengan mengatakan bahwa kedua jenis kebenaran ini diwahyukan oleh Tuhan dan merupakan objek yang sesuai dari kepercayaan manusia. Sebab jika kebenaran yang dapat dipahami akal manusia tidak diungkapkan, maka akan sulit memahami Tuhan dan kalaupun diusahakan dengan penyelidikan yang panjang, pastinya akan berpotensi besar mengandung kesalahan. Dengan demikian, kebenaran tentang Tuhan tidak akan pernah ditemukan secara pasti sedikitpun. Yang tepat adalah kedua kebenaran itu mesti ada. [Stephen Evans, Faith and Revelation].
2. Wahyu sebagai Non-ProposisiÂ
      Pandangan wahyu proposisi dipertanyakan oleh banyak teolog abad kedua puluh, terutama dari aliran "neo-ortodoks" atau "teologi dialektis", yang menegaskan bahwa wahyu bukanlah pengusulan proposisi semata, tetapi sungguh penyingkapan Tuhan itu sendiri untuk membangun hubungan pribadi dengan manusia. Pandangan ini disebut "non-proposisi" tentang wahyu. Mereka mengatakan bahwa apa yang Tuhan ungkapkan bukanlah proposisi atau informasi, tetapi apa yang Tuhan ungkapkan adalah Tuhan. Dalam wahyu kita tidak menerima ajaran atau informasi esoteris (rahasia). Dalam wahyu kita dibawa ke dalam hubungan yang hidup dengan pribadi Tuhan. Pandangan ini lahir sebagai tanggapan terhadap studi Kitab Suci pada abad 19 dan 20 yang menyatakan bahwa Kitab Suci mengandung kebenaran-kebenaran yang harus dibuktikan oleh manusia kontemporer melalui pengalaman dan refleksi keagamaan daripada hanya percaya karena telah diwahyukan oleh Tuhan. Bagi pandangan ini, Kitab Suci bukan sekedar informasi proposisi semata, tetapi sungguh-sungguh mengungkapkan kebenaran Tuhan.
     Pandangan seperti itu tampaknya melemahkan otoritas wahyu khusus dan mengikis perbedaan antara wahyu khusus dan wahyu umum. Para teolog neo-ortodoks, di bawah pengaruh tokoh besar seperti Karl Barth dan Emil Brunner, berusaha untuk mengembalikan pentingnya wahyu khusus dengan membuat perbedaan antara peristiwa sejarah pewahyuan dan Alkitab itu sendiri, yang dilihat sebagai saksi manusia. Peristiwa-peristiwa khusus itu bukan hanya bagian dari pengalaman keagamaan manusia yang umum, tetapi merupakan tindakan-tindakan yang dengannya Tuhan mengungkapkan diri-Nya kepada manusia. Tuhan yang bertindak dengan cara dalam sejarah Alkitab tetaplah Tuhan yang bertindak dan yang menyatakan diri-Nya kepada orang percaya yang membaca Alkitab atau mendengar Firman Tuhan. Dengan demikian, Alkitab menjadi saksi wahyu, catatan wahyu, dan sarana yang dengannya wahyu terus terjadi, ketika Roh Allah menerangi hati mereka yang membaca dan mendengarkan dengan keterbukaan. Dengan cara ini, catatan wahyu non-proposisional mencoba untuk mempertahankan keutamaan dari wahyu khusus sebagai pernyataan mutlak diri Tuhan. [Stephen Evans, Faith and Revelation].
3. Pendamaian Kasus Proposisi dan Non-Proposisi
     Kesulitan utama dengan pandangan non-proposisional tentang wahyu adalah bahwa tidak mungkin untuk membuat perbedaan yang jelas antara Tuhan yang mengungkapkan proposisi dan Tuhan yang mengungkapkan dirinya. Benar bahwa hubungan pribadi dengan Tuhan jauh lebih dari sekadar pengetahuan tentang proposisi, dan bahwa mengetahui Tuhan tidak dapat direduksi menjadi mengetahui fakta tentang Tuhan. Namun, tidak mungkin juga membayangkan pengetahuan Tuhan yang tidak melibatkan pengetahuan proposisional juga. Misalnya ketika saya mengatakan saya mengenal Dimas, tidak mungkin saya hanya mengatakan saya kenal Dimas tanpa menjelaskan beberapa hal tentang Dimas yang mungkin tidak mutlak benar. Saya harus membuktikan pengenalan itu dengan mengatakan Dimas adalah orang yang baik, jujur dan disiplin. Walaupun ada sifat-sifat lain tentang Dimas yang belum saya kenal.
     Pemahaman di atas dapat menjadi dasar tentang wahyu yaitu jika Tuhan benar-benar menyatakan diri-Nya sehingga memungkinkan manusia untuk mengenal-Nya, maka Dia pasti harus mengungkapkan kepada manusia beberapa kebenaran tentang diri-Nya juga. Akan tetapi, ada hal yang baik dari pandangan non-proposisional sebagai tema eksplisit yang menekankan bahwa objek utama wahyu adalah Tuhan sendiri, bukan proposisi tentang Tuhan. Tujuan wahyu adalah memungkinkan suatu hubungan dengan Tuhan. Mengenal Tuhan tentu saja tidak dapat direduksi hanya dengan mengetahui kebenaran tentang Tuhan, dan pandangan non-proposisi menempatkan kebenaran penting. Dengan demikian wahyu non-proposisi juga ada benarnya karena meyakinkan wahyu sebagai pengungkapan diri Tuhan. [Stephen Evans, Faith and Revelation].
    Dengan pemahaman itu, kita dapat mendamaikan kedua pandangan ini yaitu sebagai dua pandangan yang saling melengkapi. Wahyu propisisi menunjukkan bahwa wahyu itu tidak sepenuhnya mutlak menunjukkan siapa Tuhan, dan wahyu non-propisis menunjukkan bwahwa wahyu itu adalah pengungkapan diri Tuhan sendiri. Ibarat mengenal seseorang, wahyu proposisi menunjukkan ciri-ciri parsial orang itu dan wahyu non-proposisi menunjukkan pengenalan kita tentag orang itu. Walaupun saya hanya mengenal beberapa sifat Dimas, namun tetap sifat itu adalah Dimas. Wahyu proposisi dan non-proposisi saling melengkapi sebagai suatu kebenaran tentang wahyu dan khususnya Tuhan yang dikenali.
4. Wahyu sebagai Terilham, Infalibel (Sempurna), dan Tidak Salah
     Ada sedikit persoalan tentang buku-buku suci sebagai sumber wahyu khusus. Dalam agama Kristen misalnya, kualifikasi yang lebih signifikan adalah bahwa Kitab Suci diklaim tidak salah hanya jika ditafsirkan dengan benar. Persoalan yang dipertanyakan adalah, jika Alkitab itu sendiri adalah wahyu, maka haruskah itu dilihat sebagai diilhami oleh Tuhan? Dan jika itu diilhami, haruskah itu dilihat sebagai sempurna atau mungkin tidak salah? Apakah kepercayaan tentang Alkitab seperti itu sesuai dengan keilmuan Alkitab kontemporer? Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu banyak bergantung pada sifat hubungan antara Allah dan wahyu manusia yang memperoleh ilham. Artinya kebenaran terungkap jika situasi atau keadaan si penulis atau penulisan dapat dipahami dengan benar. Kebenaran atau ketidaksalahan wahyu dalam Kitab Suci tergantung pada penafsiran yang tepat.
     Interpretasi yang tepat dari suatu teks kitab tergantung pada identifikasi konteks yang tepat. Jika kitab itu disusun sebagai sebuah perumpamaan, dan dimaksudkan untuk dipahami seperti itu, maka kebenarannya tidak akan infallible dan dapat salah. Sebuah teks harus selalu dipahami dan ditafsir dengan melihat latar belakang atau konteks penulisan. Dengan demikian teks tidak dipahami hanya sebatas yang tertulis. Jika konteks penulisan sudah dipahami dengan baik maka Kitab Suci sebagai wahyu dapat diterima dengan baik dan benar. Sebuah teks yang sempurna, bisa diklaim, adalah teks yang akan selalu membimbing pembacanya dengan baik. Dapat dikatakan bahwa sebuah wahyu dapat sempurna, karena kesalahan dalam penulisan tidak akan mempengaruhi fungsi wahyu yang dimaksudkan. Penulisan lahiriah dapat mengandung kesalahan atau dapat menimbulkan kesalahpahaman bagi pembaca, namun pemahaman makna dari tulisan itu akan membantu pembaca melihat kebenarannya. Kebenarannya tidak akan bergantung pada versi historis dan teks, tetapi pada kebenaran etika dan teologis.
    Wahyu itulah sumber kebenaran. Setiap agama mempunyai wahyu atau dasarnya sendiri, setiap agama mempunyai teologinya sendiri juga. Dengan demikian buku-buku suci dari setiap agama juga mengandung kebenaran tentang Tuhan selama itu dapat dipahami sesuai dengan konteks dan situasi penulisan. Hal ini berlaku untuk buku-buku suci agama-agama manapun. Sebab wahyu yang diterima oleh penulis adalah pengalaman yang dialami oleh masing-masing penulis sesuai dengan konteks dan kondisi pada saat penulisan. Inilah yang disebut dalam agama Kristiani sebagai ilham. Dengan demikian dapat dipahami bahwa buku-buku suci itu infalibel dan tidak salah ketika memahami makna etis dan teologisnya. [Stephen Evans, Faith and Revelation].
B. Memahami Iman
     Jika kedua pandangan wahyu ini dianggap sebagai pelengkap daripada saingan, maka kita dapat mengambil pandangan iman yang saling melengkapi. Kepercayaan dan keyakinan terjalin dalam beberapa cara. Iman pada dasarnya adalah kepercayaan kepada Tuhan sebagai pribadi. Namun, seseorang hampir tidak dapat mempercayai seseorang jika ia tidak percaya bahwa orang itu ada, atau jika ia tidak percaya bahwa orang itu baik; karenanya, beberapa keyakinan tampaknya diperlukan untuk kepercayaan. Dalam diskusi tentang iman, iman dihadapkan pada masalah epistemologis.
    Oleh karena itu tampaknya yang terbaik untuk memahami iman sebagai tanggapan dari seluruh pribadi untuk wahyu diri Tuhan, dengan kepercayaan, keyakinan, dan disposisi untuk tindakan patuh semua menjadi komponen penting. Tanggapan "manusia seutuhnya" seperti itu sama sekali tidak murni intelektual. Filsuf seperti Jonathan Edwards berbicara tentang iman yang melibatkan pengembangan serangkaian "kasih sayang" dan Kierkegaard menggambarkan iman sebagai "gairah" yang mencakup emosi atau disposisi batin. Meskipun demikian, pembahasan filosofis tentang legitimasi dan kewajaran iman cenderung terfokus pada aspek keyakinan. Jika keyakinan yang merupakan komponen iman salah, irasional, atau cacat dalam beberapa dimensi epistemologis, ini tampaknya menyiratkan bahwa iman secara keseluruhan adalah sikap yang tidak masuk akal. Misalnya, jika saya memercayai seseorang karena saya salah percaya pada kebaikan orang itu, maka kepercayaan saya salah tempat. Oleh karena itu, hubungan antara iman dan kepercayaan rasional merupakan masalah yang krusial, dan penanganan yang tepat atas masalah ini terkait dengan pertanyaan umum tentang hubungan iman dengan akal dan sifat keduanya.
     Dalam perjalanan sejarah, terdapat dua aliran yang berada pada posisi yang berlawanan soal iman dan akal, yaitu rasionalisme dan fideisme. Rasionalisme menekankan iman yang berdasar pada akal atau rasio. Iman haru dapat dipertanggungjawabkan dengan akal. Epistemologi John Locke memberikan contoh yang jelas dan berpengaruh secara historis dari perspektif rasionalis. Locke terbuka terhadap kemungkinan wahyu khusus dari Tuhan, dan dia melihat iman dengan cara tradisional sebagai kepercayaan pada proposisi atas penghargaan pengusul, sebagai yang berasal dari Tuhan. Melalui iman, manusia dapat memahami kebenaran yang tidak dapat mereka terima selain dari wahyu. Namun demikian, iman bagi Locke harus selalu diatur oleh akal. Oleh karena itu, tidak ada proposisi yang dapat diterima untuk Wahyu Ilahi jika itu bertentangan dengan pengetahuan intuitif. Jadi akal harus mengesahkan kredensial dari setiap dugaan wahyu, dan tidak ada wahyu yang diduga dapat membalikkan kebenaran dasar yang diketahui oleh akal. Locke, bagaimanapun, menerima wahyu yang dibuktikan dengan baik mungkin membalikkan keyakinan yang hanya mungkin untuk akal.
     Sementara itu, pandangan fideisme lebih sulit dijelaskan daripada perspektif rasionalis, antara lain karena istilah tersebut sering digunakan sebagai istilah pelecehan, sepupu dekat irasionalisme. Mungkin contoh paling jelas dari orang yang menganut irasionalisme semacam ini adalah Lev Shestov seorang teolog Rusia, yang tampaknya menegaskan bahwa memang ada kontradiksi antara akal manusia dan iman agama, dan menyimpulkan bahwa orang percaya harus memilih iman, bahkan jika ini berarti dia atau dia harus menolak prinsip-prinsip logika. Seorang fideisme yang benar-benar ingin menolak akal dalam bentuk prinsip-prinsip logika berkomitmen pada pandangan yang tidak dapat dipertahankan atau bahkan didiskusikan secara rasional. Bahwa akal manusia memiliki berbagai macam batas tampaknya tidak dapat disangkal, dan pengakuan atas batas-batas seperti itu hampir tidak masuk akal. [Stephen Evans, Faith and Revelation].
1. Iman tanpa Evidensi (Bukti)
      Iman dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dalam dua arti: secara teologis dan secara filosofis. Secara teologis iman dipertanggungjawabkan apabila dapat ditunjuk bahwa apa yang diimani, serta kehidupan yang dijalani berdasarkan iman itu, adalah sesuai dengan sumber iman itu. Jadi teologi berdasarkan wahyu agama bersangkutan. Wahyu itulah sumber kebenaran. Karena setiap agama mempunyai wahyu atau dasarnya sendiri, setiap agama mempunyai teologisnya sendiri juga. Pertanggungjawaban iman secara teologis terjadi dalam rangka refleksi dan diskursus iman di dalam umat agama yang bersangkutan. Orang dari luar tidak dapat masuk karena tidak mengakui wahyu agama itu sebagai sumber kebenaran. Pertanggungjawaban filosofis iman adalah berbeda. Di situ yang mau ditunjukkan rasionalitas iman itu. Dan itu dilakukan dengan memakai nalar. Nalar dapat memeriksa suatu keyakinan atau ajaran agama dari beberapa sudut. [Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan, hlm. 22-23.].
     Mempertanggungjawabkan iman secara rasio tidak selalu mudah dan kerap menimbulkan perdebatan. Iman tidak selalu dapat dipertanggungjawabkan dengan suatu evidensi (bukti) konkret-inderawi. Maka pembuktian iman kerap kenal dengan istilah iman tanpa evidensi. Iman yang berciri tanpa evidensi adalah iman yang tidak mendasarkan pada penarikan kesimpulan dari pengalaman (inferensial). Apa yang sering disebut "keberatan evidensialis" kepada kepercayaan religius berdasar pada asumsi bahwa kepercayaan religius yang rasional harus di dasarkan pada evidensi; dalam hal ini, evidensi berkaitan dengan bukti atau kesaksian yang mengafirmasi apa yang diimani. Bagaimanapun, iman jauh dari kejelasan bahwa syarat evidensi merupakan dari dirinya yang dapat dibela secara rasional. Para pembela yang berkaitan dengan apa dikenal sebagai epistemologi yang dibaharui berargumentasi bahwa kepercayaan religius dapat menjadi "dasar yang benar" dan tidak menjadi "dasar dari evidensi yang bersifat induktif semata-mata".
     Maksud dari iman tanpa evidensi adalah pernyataan iman tanpa bukti konkret, namun dengan bukti logis pada keyakinan yang ada. Argumen seperti itu dapat dilihat karena berakar pada pengakuan akan salah satu cara akal manusia bekerja. Akal manusia bekerja dengan menghubungkan premis-premis untuk membuktikan suatu kesimpulan. Namun dalan tataran iman, premis-premis itu adalah suatu keyakinan. Dengan demikian jika gambaran dasar pengetahuan manusia diterima, maka beberapa keyakinan harus diterima sebagai dasar oleh manusia. cara kerjanya adalah demikian; jika semua keyakinan harus didasarkan pada keyakinan lain, ini akan membutuhkan rantai keyakinan bukti yang tidak terbatas, karena keyakinan yang berfungsi sebagai bukti akan membutuhkan keyakinan lebih lanjut sebagai bukti untuk bukti asli, dan seterusnya. Namun manusia yang terbatas tidak mampu memegang keyakinan atas dasar rantai yang tak terbatas tersebut. Iman dapat berdasar pada keyakinan terakhir yang pasti. [Stephen Evans, Faith and Revelation].
     Kaum fundamentalis klasik, seperti Locke, menerima bahwa beberapa keyakinan harus bersifat mendasar tetapi keyakinan dasar yang benar harus sangat pasti. Filsuf Alvin Plantinga merangkum posisi tersebut sebagai klaim bahwa keyakinan dasar yang benar harus "jelas dengan sendirinya, tidak dapat diperbaiki, atau terbukti dengan indra". Namun, fondasionalisme klasik tampaknya menemukan masalah yaitu keyakinan dasar itu tidak dapat dibuktikan dengan jelas dan banyak keyakinan yang tampaknya dimiliki manusia sebagai pengetahuan tidak akan tampak masuk akal. Akhirnya mereka menyimpulkan bahwa keyakinan dasar itu dapat dipahami benar oleh manusia karena manusia telah diberi sensus divinitatis untuk mengenal Tuhan.
     Posisi seperti itu tidak memuaskan bagi banyak filsuf, yang ingin dapat menentukan apa yang benar berdasarkan posisi epistemologis "netral" yang memberikan dasar yang dapat diklarifikasi. Kemudian, Plantinga berargumen bahwa sikap epistemologis semacam itu mungkin di luar kapasitas manusiawi. Sebab pengetahuan manusia bergantung pada kebenaran tentang dunia konkret sejauh kapasitas manusia. Maka dalam hal ini mungkin tidak ada pendirian epistemologis yang "netral", karena keyakinan dasar itu tidak selalu terbukti dalam dunia konkret dan berada di luar kapasitas manusia. [Stephen Evans, Faith and Revelation]
2. Iman di atas AkalÂ
     Mengingat keterbatasan manusia, tidak mengherankan bahwa mungkin ada kebenaran tentang Tuhan yang tidak terbatas dalam kekuasaan, pengetahuan, dan cinta yang tidak dapat kita pahami melalui kekuatan alami kita. Aquinas, misalnya, mendesak bahwa "intelek yang diciptakan tidak dapat melihat esensi Tuhan kecuali Tuhan dengan rahmat-Nya menyatukan diri-Nya dengan intelek yang diciptakan, sebagai objek yang dapat dipahami". Immanuel Kant berpendapat bahwa pengetahuan teoretis manusia selalu terstruktur oleh kategori pemahaman manusia, dan oleh ruang dan waktu, "bentuk intuisi manusia". Oleh karena itu, pengetahuan teoretis kita terbatas pada pengetahuan tentang dunia fenomenal, dunia yang tampak bagi manusia, dan mungkin tidak sesuai dengan realitas noumenon yaitu realitas sebagaimana adanya dalam dirinya sendiri. Tuhan dianggap oleh banyak teolog sebagai melampaui ruang dan waktu; jika demikian, Tuhan tidak dapat dikenal oleh manusia melalui kekuatan kognitif teoretis semata. Bagi Aquinas dan Kant, keterbatasan kognitif ini sebagian diatasi oleh keyakinan atau lebih tepatnya iman. Bagi Aquinas, seperti yang telah kita lihat, iman termasuk memercayai beberapa kebenaran yang telah diwahyukan Tuhan yang tidak dapat kita pahami sendiri sebagai manusia. Bagi Kant, yang dengan terkenal menyimpulkan bahwa dia merasa perlu untuk "membatasi pengetahuan untuk memberi ruang bagi iman". Kemampuan akal budi atau rasio manusia memiliki keterbatasan, terutama ketika mencoba memahami Tuhan. Ketika mencapai batasnya, manusia hanya mengandalkan iman di atas batas rasio. Iman berada di atas batas rasio untuk mengenali Tuhan.[Stephen Evans, Faith and Revelation]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H