Kesulitan utama dengan pandangan non-proposisional tentang wahyu adalah bahwa tidak mungkin untuk membuat perbedaan yang jelas antara Tuhan yang mengungkapkan proposisi dan Tuhan yang mengungkapkan dirinya. Benar bahwa hubungan pribadi dengan Tuhan jauh lebih dari sekadar pengetahuan tentang proposisi, dan bahwa mengetahui Tuhan tidak dapat direduksi menjadi mengetahui fakta tentang Tuhan. Namun, tidak mungkin juga membayangkan pengetahuan Tuhan yang tidak melibatkan pengetahuan proposisional juga. Misalnya ketika saya mengatakan saya mengenal Dimas, tidak mungkin saya hanya mengatakan saya kenal Dimas tanpa menjelaskan beberapa hal tentang Dimas yang mungkin tidak mutlak benar. Saya harus membuktikan pengenalan itu dengan mengatakan Dimas adalah orang yang baik, jujur dan disiplin. Walaupun ada sifat-sifat lain tentang Dimas yang belum saya kenal.
     Pemahaman di atas dapat menjadi dasar tentang wahyu yaitu jika Tuhan benar-benar menyatakan diri-Nya sehingga memungkinkan manusia untuk mengenal-Nya, maka Dia pasti harus mengungkapkan kepada manusia beberapa kebenaran tentang diri-Nya juga. Akan tetapi, ada hal yang baik dari pandangan non-proposisional sebagai tema eksplisit yang menekankan bahwa objek utama wahyu adalah Tuhan sendiri, bukan proposisi tentang Tuhan. Tujuan wahyu adalah memungkinkan suatu hubungan dengan Tuhan. Mengenal Tuhan tentu saja tidak dapat direduksi hanya dengan mengetahui kebenaran tentang Tuhan, dan pandangan non-proposisi menempatkan kebenaran penting. Dengan demikian wahyu non-proposisi juga ada benarnya karena meyakinkan wahyu sebagai pengungkapan diri Tuhan. [Stephen Evans, Faith and Revelation].
    Dengan pemahaman itu, kita dapat mendamaikan kedua pandangan ini yaitu sebagai dua pandangan yang saling melengkapi. Wahyu propisisi menunjukkan bahwa wahyu itu tidak sepenuhnya mutlak menunjukkan siapa Tuhan, dan wahyu non-propisis menunjukkan bwahwa wahyu itu adalah pengungkapan diri Tuhan sendiri. Ibarat mengenal seseorang, wahyu proposisi menunjukkan ciri-ciri parsial orang itu dan wahyu non-proposisi menunjukkan pengenalan kita tentag orang itu. Walaupun saya hanya mengenal beberapa sifat Dimas, namun tetap sifat itu adalah Dimas. Wahyu proposisi dan non-proposisi saling melengkapi sebagai suatu kebenaran tentang wahyu dan khususnya Tuhan yang dikenali.
4. Wahyu sebagai Terilham, Infalibel (Sempurna), dan Tidak Salah
     Ada sedikit persoalan tentang buku-buku suci sebagai sumber wahyu khusus. Dalam agama Kristen misalnya, kualifikasi yang lebih signifikan adalah bahwa Kitab Suci diklaim tidak salah hanya jika ditafsirkan dengan benar. Persoalan yang dipertanyakan adalah, jika Alkitab itu sendiri adalah wahyu, maka haruskah itu dilihat sebagai diilhami oleh Tuhan? Dan jika itu diilhami, haruskah itu dilihat sebagai sempurna atau mungkin tidak salah? Apakah kepercayaan tentang Alkitab seperti itu sesuai dengan keilmuan Alkitab kontemporer? Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu banyak bergantung pada sifat hubungan antara Allah dan wahyu manusia yang memperoleh ilham. Artinya kebenaran terungkap jika situasi atau keadaan si penulis atau penulisan dapat dipahami dengan benar. Kebenaran atau ketidaksalahan wahyu dalam Kitab Suci tergantung pada penafsiran yang tepat.
     Interpretasi yang tepat dari suatu teks kitab tergantung pada identifikasi konteks yang tepat. Jika kitab itu disusun sebagai sebuah perumpamaan, dan dimaksudkan untuk dipahami seperti itu, maka kebenarannya tidak akan infallible dan dapat salah. Sebuah teks harus selalu dipahami dan ditafsir dengan melihat latar belakang atau konteks penulisan. Dengan demikian teks tidak dipahami hanya sebatas yang tertulis. Jika konteks penulisan sudah dipahami dengan baik maka Kitab Suci sebagai wahyu dapat diterima dengan baik dan benar. Sebuah teks yang sempurna, bisa diklaim, adalah teks yang akan selalu membimbing pembacanya dengan baik. Dapat dikatakan bahwa sebuah wahyu dapat sempurna, karena kesalahan dalam penulisan tidak akan mempengaruhi fungsi wahyu yang dimaksudkan. Penulisan lahiriah dapat mengandung kesalahan atau dapat menimbulkan kesalahpahaman bagi pembaca, namun pemahaman makna dari tulisan itu akan membantu pembaca melihat kebenarannya. Kebenarannya tidak akan bergantung pada versi historis dan teks, tetapi pada kebenaran etika dan teologis.
    Wahyu itulah sumber kebenaran. Setiap agama mempunyai wahyu atau dasarnya sendiri, setiap agama mempunyai teologinya sendiri juga. Dengan demikian buku-buku suci dari setiap agama juga mengandung kebenaran tentang Tuhan selama itu dapat dipahami sesuai dengan konteks dan situasi penulisan. Hal ini berlaku untuk buku-buku suci agama-agama manapun. Sebab wahyu yang diterima oleh penulis adalah pengalaman yang dialami oleh masing-masing penulis sesuai dengan konteks dan kondisi pada saat penulisan. Inilah yang disebut dalam agama Kristiani sebagai ilham. Dengan demikian dapat dipahami bahwa buku-buku suci itu infalibel dan tidak salah ketika memahami makna etis dan teologisnya. [Stephen Evans, Faith and Revelation].
B. Memahami Iman
     Jika kedua pandangan wahyu ini dianggap sebagai pelengkap daripada saingan, maka kita dapat mengambil pandangan iman yang saling melengkapi. Kepercayaan dan keyakinan terjalin dalam beberapa cara. Iman pada dasarnya adalah kepercayaan kepada Tuhan sebagai pribadi. Namun, seseorang hampir tidak dapat mempercayai seseorang jika ia tidak percaya bahwa orang itu ada, atau jika ia tidak percaya bahwa orang itu baik; karenanya, beberapa keyakinan tampaknya diperlukan untuk kepercayaan. Dalam diskusi tentang iman, iman dihadapkan pada masalah epistemologis.
    Oleh karena itu tampaknya yang terbaik untuk memahami iman sebagai tanggapan dari seluruh pribadi untuk wahyu diri Tuhan, dengan kepercayaan, keyakinan, dan disposisi untuk tindakan patuh semua menjadi komponen penting. Tanggapan "manusia seutuhnya" seperti itu sama sekali tidak murni intelektual. Filsuf seperti Jonathan Edwards berbicara tentang iman yang melibatkan pengembangan serangkaian "kasih sayang" dan Kierkegaard menggambarkan iman sebagai "gairah" yang mencakup emosi atau disposisi batin. Meskipun demikian, pembahasan filosofis tentang legitimasi dan kewajaran iman cenderung terfokus pada aspek keyakinan. Jika keyakinan yang merupakan komponen iman salah, irasional, atau cacat dalam beberapa dimensi epistemologis, ini tampaknya menyiratkan bahwa iman secara keseluruhan adalah sikap yang tidak masuk akal. Misalnya, jika saya memercayai seseorang karena saya salah percaya pada kebaikan orang itu, maka kepercayaan saya salah tempat. Oleh karena itu, hubungan antara iman dan kepercayaan rasional merupakan masalah yang krusial, dan penanganan yang tepat atas masalah ini terkait dengan pertanyaan umum tentang hubungan iman dengan akal dan sifat keduanya.
     Dalam perjalanan sejarah, terdapat dua aliran yang berada pada posisi yang berlawanan soal iman dan akal, yaitu rasionalisme dan fideisme. Rasionalisme menekankan iman yang berdasar pada akal atau rasio. Iman haru dapat dipertanggungjawabkan dengan akal. Epistemologi John Locke memberikan contoh yang jelas dan berpengaruh secara historis dari perspektif rasionalis. Locke terbuka terhadap kemungkinan wahyu khusus dari Tuhan, dan dia melihat iman dengan cara tradisional sebagai kepercayaan pada proposisi atas penghargaan pengusul, sebagai yang berasal dari Tuhan. Melalui iman, manusia dapat memahami kebenaran yang tidak dapat mereka terima selain dari wahyu. Namun demikian, iman bagi Locke harus selalu diatur oleh akal. Oleh karena itu, tidak ada proposisi yang dapat diterima untuk Wahyu Ilahi jika itu bertentangan dengan pengetahuan intuitif. Jadi akal harus mengesahkan kredensial dari setiap dugaan wahyu, dan tidak ada wahyu yang diduga dapat membalikkan kebenaran dasar yang diketahui oleh akal. Locke, bagaimanapun, menerima wahyu yang dibuktikan dengan baik mungkin membalikkan keyakinan yang hanya mungkin untuk akal.