Pendahuluan
     Konsep iman dan wahyu, meskipun berbeda secara logis, terkait satu sama . Semua agama teistik besar, terutama kepercayaan Ibrahim Yudaisme, Kristen, dan Islam, secara tradisional mengajarkan bahwa Tuhan hanya dapat diketahui melalui wahyu. Tuhan dipahami sebagai Yang Mahakuasa dan Mahamengetahui, maka mustahil bagi siapa pun untuk memperoleh pengetahuan tentang Tuhan kecuali Tuhan menghendaki hal ini terjadi. Dalam beberapa hal, semua pengetahuan tentang Tuhan dimungkinkan oleh keputusan Tuhan untuk membiarkan dirinya dikenal. Namun tidak selalu mudah untuk memahami maupun mengenali wahyu dan iman sebagai dimensi untuk mengenali kebenaran Tuhan. Diperlukan refleksi logis dan spiritual untuk menelaahnya sehingga wahyu dan iman tersebut sungguh-sungguh suatu jembatan yang benar untuk menemukan kebenaran dan kebaikan Tuhan.
A. Memahami Wahyu
      Dalam sejarah refleksi dan pemahaman tentang wahyu, secara umum telah dibedakan antara wahyu umum dan wahyu khusus. Wahyu umum mencakup apa yang dapat diketahui tentang Tuhan dari alam, melihat ciri-ciri umum dunia yaitu kemungkinan dan tujuannya, atau ciri-ciri umum dari pengalaman manusia, seperti pengalaman moral, kewajiban, kesenangan estetis, dan perasaan ketergantungan dan kekaguman. Sementara wahyu khusus dapat terdiri dari peristiwa, pengalaman, atau ajaran tertentu, yang seringkali dimediasi melalui seorang nabi, rasul, atau tokoh agama tertentu. Objek utama dari iman adalah Tuhan itu sendiri, bukan wahyu. Maka harus dipahami bahwa wahyu adalah pengungkapan atau pernyataan diri Tuhan yang ditanggapi oleh manusia. Namun, karena Tuhan hanya dikenal melalui wahyu, iman kepada Tuhan secara alami mencakup tanggapan percaya dan percaya terhadap apa yang telah Tuhan ungkapkan yaitu wahyu.
     Wahyu tidak dapat dipisahkan dari pengalaman sosio-kultural. Bagi Paul Ricoeur, wahyu merupakan "le croyable disponibile" dari sebuah zaman, yaitu pelbagai bentuk dugaan, harapan dan ideologi yang diterima, berkembang dan berubah sesuai dengan kenyataan yang ada dan disposisi batin kita. Wahyu mengandalkan hal-hal yang profan sebab melalui gejala-gejala yang ada di dunia profan, lahir dan berkembang pengalaman religius akan wahyu itu sendiri. Itu berarti, hakekat wahyu hanya bisa dipahami apabila kita menggali pelbagai hal yang terkandung dan tersembunyi di dalam "pengalaman" dan peristiwa hidup manusia. [Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan 32.]
1. Wahyu sebagai ProposisiÂ
      Thomas Aquinas berpendapat bahwa kebenaran tentang Allah secara natural mempunyai dua jenis, yaitu kebenaran yang "melampaui seluruh kemampuan akal budi" dan kebenaran yang "mampu dicapai oleh akal budi". Aquinas mengatakan bahwa kedua jenis kebenaran itu diwahyukan oleh Tuhan dan merupakan objek yang mampu diolah oleh akal manusia. Dengan demikian ada kebenaran yang memang bisa dipahami dan ada yang tidak dapat dipahami atau dibuktikan secara konkret. Inilah yang dimaksud dengan wahyu proposisi. Proposisi berarti rancangan, usulan atau ungkapan yang dapat dipercaya, disangsikan, disangkal, atau dibuktikan benar-tidaknya. Maka wahyu sebagai proposisi berarti wahyu adalah suatu kebenaran atau lebih tepatnya ungkapan tentang Tuhan yang kebenarannya masih dapat diuji, sebab selalu ada kemungkinan kebenaran yang melampaui akal manusia yang terkadang dapat keliru dipahami. Aquinas melanjutkan dengan mengatakan bahwa kedua jenis kebenaran ini diwahyukan oleh Tuhan dan merupakan objek yang sesuai dari kepercayaan manusia. Sebab jika kebenaran yang dapat dipahami akal manusia tidak diungkapkan, maka akan sulit memahami Tuhan dan kalaupun diusahakan dengan penyelidikan yang panjang, pastinya akan berpotensi besar mengandung kesalahan. Dengan demikian, kebenaran tentang Tuhan tidak akan pernah ditemukan secara pasti sedikitpun. Yang tepat adalah kedua kebenaran itu mesti ada. [Stephen Evans, Faith and Revelation].
2. Wahyu sebagai Non-ProposisiÂ
      Pandangan wahyu proposisi dipertanyakan oleh banyak teolog abad kedua puluh, terutama dari aliran "neo-ortodoks" atau "teologi dialektis", yang menegaskan bahwa wahyu bukanlah pengusulan proposisi semata, tetapi sungguh penyingkapan Tuhan itu sendiri untuk membangun hubungan pribadi dengan manusia. Pandangan ini disebut "non-proposisi" tentang wahyu. Mereka mengatakan bahwa apa yang Tuhan ungkapkan bukanlah proposisi atau informasi, tetapi apa yang Tuhan ungkapkan adalah Tuhan. Dalam wahyu kita tidak menerima ajaran atau informasi esoteris (rahasia). Dalam wahyu kita dibawa ke dalam hubungan yang hidup dengan pribadi Tuhan. Pandangan ini lahir sebagai tanggapan terhadap studi Kitab Suci pada abad 19 dan 20 yang menyatakan bahwa Kitab Suci mengandung kebenaran-kebenaran yang harus dibuktikan oleh manusia kontemporer melalui pengalaman dan refleksi keagamaan daripada hanya percaya karena telah diwahyukan oleh Tuhan. Bagi pandangan ini, Kitab Suci bukan sekedar informasi proposisi semata, tetapi sungguh-sungguh mengungkapkan kebenaran Tuhan.
     Pandangan seperti itu tampaknya melemahkan otoritas wahyu khusus dan mengikis perbedaan antara wahyu khusus dan wahyu umum. Para teolog neo-ortodoks, di bawah pengaruh tokoh besar seperti Karl Barth dan Emil Brunner, berusaha untuk mengembalikan pentingnya wahyu khusus dengan membuat perbedaan antara peristiwa sejarah pewahyuan dan Alkitab itu sendiri, yang dilihat sebagai saksi manusia. Peristiwa-peristiwa khusus itu bukan hanya bagian dari pengalaman keagamaan manusia yang umum, tetapi merupakan tindakan-tindakan yang dengannya Tuhan mengungkapkan diri-Nya kepada manusia. Tuhan yang bertindak dengan cara dalam sejarah Alkitab tetaplah Tuhan yang bertindak dan yang menyatakan diri-Nya kepada orang percaya yang membaca Alkitab atau mendengar Firman Tuhan. Dengan demikian, Alkitab menjadi saksi wahyu, catatan wahyu, dan sarana yang dengannya wahyu terus terjadi, ketika Roh Allah menerangi hati mereka yang membaca dan mendengarkan dengan keterbukaan. Dengan cara ini, catatan wahyu non-proposisional mencoba untuk mempertahankan keutamaan dari wahyu khusus sebagai pernyataan mutlak diri Tuhan. [Stephen Evans, Faith and Revelation].
3. Pendamaian Kasus Proposisi dan Non-Proposisi