Mohon tunggu...
Thomas Andrew
Thomas Andrew Mohon Tunggu... Auditor - Auditor

Saya adalah seorang military enthusiast dan penyuka sejarah dengan spesialisasi sejarah perang dan geopolitik sejak tahun 2008. Mempelajari filsafat perang dan strategi militer

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Meninjau Kesiapan Indonesia dalam Menghadapi Ancaman Konflik di Laut Tiongkok Selatan dari Sisi Pertahanan dan Geopolitik

29 Mei 2024   23:51 Diperbarui: 30 Mei 2024   00:11 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Momen dalam Latihan Militer Super Garuda Shield 2023. Sumber : Reddit, VOA Indonesia, US Embassy Jakarta

Latar Belakang

Menguasai laut sama dengan menguasai dunia. Sejarah membuktikan bahwa, dengan menguasai lautan, negara menjadi pemain besar dalam geopolitik dari suatu regional atau tingkat global. Hal ini dikarenakan laut memiliki berbagai fungsi, seperti jalur pelayaran, sumber daya alam, dan pertahanan dan keamanan (Laksmi dkk, 2022). Fungsi dan peran penting laut membuat negara-negara saling memperebutkan wilayah laut, terutama bagian strategis untuk kepentingan masing-masing negara, sehingga dapat mengakibatkan ketegangan, bahkan konflik regional. Pada masa kini, terdapat wilayah laut yang menjadi sengketa dan berpotensi memicu konflik skala regional hingga global. Wilayah laut tersebut adalah Laut Tiongkok Selatan. Sengketa Laut Tiongkok Selatan ini menjadi salah satu topik yang diperbincangkan dalam masalah geopolitik dunia.

Sengketa Laut Tiongkok Selatan 

Sengketa Laut Tiongkok Selatan melibatkan berbagai negara, seperti Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia. Sengketa ini juga tidak hanya melibatkan negara-negara yang disebutkan sebelumnya, tetapi juga negara lain yang memiliki kepentingan atas wilayah Laut Tiongkok Selatan, seperti Amerika Serikat dan Jepang. Penyebab utama dari sengketa ini adalah potensi yang dimiliki oleh wilayah Laut Tiongkok Sleatan. Dilansir dari artikel yang diterbitkan oleh The Nation (2018), Pemerintah Amerika Serikat (AS) memperkirakan terdapat sebelas miliar barel minyak bumi dan 190 triliun kubik kaki gas alam yang berada di dasar Laut Tiongkok Selatan. Dilihat dari potensi yang ada dalam laut tersebut, beberapa negara memulai proyek pertambangan laut lepas di wilayah tersebut. Menurut artikel yang ditulis oleh Foyer dalam Energy Minute (2023), 12% dari total penangkapan ikan-ikan di dunia dilakukan di Laut Tiongkok Selatan. Oleh karena itu, banyak nelayan dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara berlayar ke laut ini untuk menangkap berbagai macam ikan-ikan sebagai mata pencaharian mereka.

Sejumlah negara wilayah Asia Pasifik bergantung kepada Laut Tiongkok Selatan untuk melakukan perdangangan dengan negara-negara di belahan dunia lainnya.  Selain memiliki potensi sumber daya alam yang besar, Laut Tiongkok Selatan juga menjadi jalur pelayaran internasional terletak sangat strategis. Laut ini. Satu per tiga dari total pelayaran dunia melewati wilayah laut ini. Total perdagangan internasional di jalur pelayaran ini mencapai USD 13 triliun per tahun. Oleh karena itulah laut ini rentan sebagai zona konflik dan, pada saat ini, Tiongkok ingin mengeklaim kepemilikan atas Laut Tiongkok Selatan.

 Klaim Tiongkok atas Laut Tiongkok Selatan sebenarnya bukanlah hal yang baru. Menurut Global Conflict Tracker (2014), RRT mulai menyatakan klaim atas pulau-pulau di Laut Tiongkok Selatan sejak awal tahun 1970, seperti Kepulauan Spratly. Dilansir dari Al-Jazeera, Tiongkok mengeklaim wilayah Laut Tiongkok atas dasar pencatatan historis. Pelaut Tiongkok berlayar melewati Laut Tiongkok Selatan selama ratusan tahun. Tiongkok masih mempertahankan penamaan pulau-pulau di Laut Tiongkok Selatan yang sudah ada sejak masa Dinasti Song, seperti Kepulauan Spratly dinamakan Nansha oleh orang Tiongkok. Demikian juga pulau Paracel dinamakan Xisha oleh orang Tiongkok. Laut Tiongkok Selatan juga menjadi jalur pelayaran Tiongkok untuk hubungan diplomatik dan perdagangan dengan negara-negara di sekitar regional Asia Tenggara sejak masa kekasiaran Tiongkok. Catatan historis inilah yang menjadi dasar klaim RRT atas Laut Tiongkok Selatan dengan batas maritim nine dash line. Nine dash line adalah peta teritorial yang membubuhkan sembilang garis putus-putus yang digunakan sebagai penanda imajiner untuk batas maritim yang digunakan oleh pemerintah Tiongkok (Agusman, 2016). Batas maritim nine dash line yang diklaim oleh Tiongkok mengakibatkan tumpang tindih dengan wilayah laut beberapa negara di Asia Tenggara yang ditetapkan sesuai dengan hukum maritim menurut United Nations Convention Law of Sea 1982 (UNCLOS 1982). Pada Mei 2009, RRT menyatakan wilayah laut dan pulau-pulau di dalam Laut Tiongkok Selatan yang ditetapkan berdasarkan batas wilayah "nine dash line" tidak dapat dibantah. Klaim ini memicu perdebatan dengan beberapa negara Asia Tenggara. 

Di antara lima negara di Asia Tenggara yang terlibat dalam sengketa ini, Vietnam dan Filipina adalah dua negara yang paling sering berselisih dengan RRT dalam hal sengketa wilayah laut masing-masing. Pada tanggal 1 Mei 2014, pengebor minyak Tiongkok, Haiyang Shiyou 981 (HYSY 981) dan tiga kapal pendukung pengeboran melakukan penerobosan ke wilayah kepualauan Paracel untuk melakukan kegiatan eksplorasi. Posisi pengeboran minyak tersebut terletak 120 nautical miles dari pulau Ly Son dan 180 nautical miles dari Pulau Hainan. Ini berarti pengeboran dilakukan di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Vietnam.

  

Peta Insiden HYSY 981 antara Vietnam dengan Tiongkok, 2014. /sumber CSIS
Peta Insiden HYSY 981 antara Vietnam dengan Tiongkok, 2014. /sumber CSIS

Setelah kejadian ini, eskalasi di Laut Tiongkok Selatan meingkat dengan cepat. Vietnam dan RRT mengalami beberapa kali insiden, seperti melakukan unjuk kekuatan ke situs pengeboran minyak untuk mencegah RRT menetapkan situs pengeboran minyak. Vietnam dan RRT beberapa kali mengalami insiden tabrakan antar kapal patrol dalam peristiwa ini. Sementara itu, Filipina membawa kasus sengketa wilayah laut dengan Tiongkok ke Badan Arbitrase Internasional (Permanent Court of Arbitration) yang berada di De Hague, Belanda pada 22 Januari 2013. Proses hukum ini berlangsung selama tiga tahun. Keputusan dalam Pengadilan Arbitrase menyatakan bahwa Tiongkok gagal dalam mengawasi kegiatan pelanggaran di wilayah laut Filipina yang dilakukan oleh kapal nelayannya. Badan Arbitrase Internasional juga meminta Filipina dan Tiongkok menyelesaikan sengketa ini dengan damai dan sesuai dengan hukum internasional yang berlaku.  Hasil keputusan dari Pengadilan Arbitrase Permanen tidak banyak berpengaruh dalam menyelesaikan sengketa ini. Perselisihan di laut masih terjadi antara Penjaga Pantai atau coast guard masing-masing. Insiden terbaru terjadi pada bulan tanggal 30 April 2024, di mana kapal Penjaga Pantai Filipina, BRP Bagacay berhadapan dengan blokade yang dilakukan oleh beberapa kapal Penjaga Pantai Tiongkok (BBC, 2024). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun