Mohon tunggu...
thomas wibowo
thomas wibowo Mohon Tunggu... Guru - pedagog

praktisi pendidikan di kolese kanisius jakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

MOS di Sekolah: antara Selebrasi, Inisiasi, dan Kekerasan

26 Juli 2015   19:16 Diperbarui: 26 Juli 2015   20:06 1750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Tahun ajaran baru telah tiba!” begitulah komentar spontan seorang anak dengan gembira. Lain anak, lain orang tua. Perasaan yang berbeda justru menggelayuti para orang tua siswa di setiap awal tahun ajaran baru.

Betapa tidak, pada satu sisi mereka bersuka cita saat putra atau putrinya diterima di suatu lembaga sekolah yang diidam-idamkan. Di lain pihak, mungkin orang tua juga gusar, cemas, dan khawatir mana kala mendengar kabar berita maraknya praktik-praktik kekerasan yang terjadi saat pelaksanaan Masa Orientasi Siswa (MOS) atau apapun namanya di banyak sekolah.

Dalam pro-kontra seperti itu saya ingin sedikit menyoroti sisi selebrasi dan dimensi inisiasi dari setiap kegiatan MOS di sekolah dengan tetap berempati dan prihatin atas masih maraknya praktik kekerasan di sekolah.

 

Selebrasi

Kegiatan MOS sangat penting bagi sekolah dan siswa baru. Karena demikian “penting” maka kejadian itu selalu “dirayakan”. Nilai paling esensial dari sebuah perayaan (celebration) adalah terjadinya kegembiraan di sana.

Maka, apapun tujuan dan bentuk kegiatan MOS mesti membawa kegembiraan sekurang-kurangnya bagi siswa baru. Suasana gembira itu perlu ada di sana setidaknya untuk dua alasan.

Pertama, bagi siswa sendiri, momen memasuki sekolah baru adalah saat yang dinanti-nantikan. Sebagai anak/ remaja/ kaum muda dunia permainan yang melekat erat pada diri mereka. Para siswa ini ibarat sedang memasuki gerbang masa depan yang terbentang luas tanpa batas. Mereka membayangkan sekolah barunya seperti “taman bermain” yang membuat mereka bisa bereksplorasi pengalaman, perasaan, pengetahuan, ketrampilan, dan tentu saja nilai-nilai kehidupan.

Kedua, bagi sekolah. Saat MOS menjadi kesempatan sekolah untuk menunjukkan kesungguhan dan kesiapan lembaga untuk mendampingi siswa baru. Kreativitas dan genuinitas lembaga sangat diuji untuk menunjukkan seberapa besar derajat kualitas pendidikan yang mereka tawarkan. Semakin berkualitas sebuah sekolah, semakin kreatif pula lembaga sekolah itu merancang dan menjalankan “perayaan” itu. Sebaliknya, semakin tidak berkualitas lembaga itu maka tidak akan pernah ada cara-cara kreatif dalam acara MOS di sekolah itu.

Kegagalan aspek selebrasi mudah dilihat dari perasaan siswa baru saat menjalaninya, seperti: acuh, malas terlibat, selalu mengeluh, sedih, tidak termotivasi, dan seabrek perasaan negatif lain. Pendeknya “proses” yang mestinya encourage juga menjadi discourage untuk para siswa baru.

Jika sudah demikian, sulit mengharapkan para siswa baru ini menjadi bangga, berkobar-kobar, dan dengan gagah berani menunjukkan identitas sebagai siswa atau alumni sekolah tersebut di kemudian hari.

 

Inisiasi

Jika situasi hal di atas tidak terjadi maka tentu saja akan mereduksi bagian esensi berikutnya, yakni proses inisiasi (initiation).

Dalam proses ini, pihak sekolah ingin membawa para siswa baru pada pemahaman pengetahuan dan informasi, pengenalan nilai-nilai dan keutamaan serta tradisi baik yang diyakini dan dimiliki sekolah itu.

Pemahaman atas lingkungan fisik sekolah, para guru dan tenaga administrasi sekolah, dan sejenisnya perlu dan mudah dilakukan. Tidak hanya itu, proses inisiasi dalam MOS menuntut sekolah untuk mulai membawa siswa baru pada pengenalan, eksperimen, pembiasaan, dan akhirnya penghayataan nilai-nilai dan keutamaan sekolah.

Bagian ini, tidak akan berhasil jika hanya mengadopsi pola penataran P4 ala Orde Baru. Proses penanaman karakter itu, menurut Lickona (1991), mesti berjalan secara simultan mulai meliputi: moral knowing (memahami secara persis nilai-nilai moral itu), moral feeling (membatinkan, percaya diri, berempati, mencintai, mengendalikan, serta terbuka terhadap setiap keutamaan), dan moral action (melakukan, membiasakan, menghidupi dalam tindakan). Interaksi ketiganya digambarkan, sbb:

Kegagalan penanaman nilai di sekolah selain terabaikannya hal di atas, terlebih juga tidak ada atau minimnya budaya teladan (role model) yang ditunjukkan oleh pendidik atau warga senior sekolah kepada para siswa baru.

Para siswa diminta disiplin, warga senior atau pendidik tidak melakukan. Siswa baru tidak boleh terlambat, kakak kelas yang terlambat justru ikut memarahi siswa baru. Para siswa diminta menjaga rasa hormat dan sopan santun, tetapi kata-kata kotor dan umpatan kebun binatang menghiasi acara MOS, dan seterusnya.

Suasana inkonsistensi ini akan memberi andil dan menjadi benih-benih kegagalan penanaman nilai di sekolah. Ibaratnya, “mereka mau memberi” namun “mereka tidak memiliki”.

Mudah ditebak apa implikasi kegagalan proses inisiasi ini pada tahap berikutnya. Siswa baru juga gagal mengintegrasikan nilai-nilai itu dalam pengalaman hidup mereka masing-masing. Proses menginisiasi atau “memenuhkan” siswa baru dengan nilai-nilai sekolah melalui MOS juga gagal dan hanya melahirkan ketidakpercayaan atau lebih seius “pemberontakan” nilai-nilai dan media subur praktik kekerasaan di sekolah.

 

Kekerasan

 

Banyak pengalaman menunjukkan, kegagalan proses selebrasi dan inisiasi mudah membawa praktik MOS pada praktik kekerasan.

Apa itu kekerasan? Peter Randall (1991), mendeskripsikan sebagai ”perilaku agresif yang muncul dari suatu maksud yang sengaja dilakukan untuk mengakibatkan tekanan kepada orang lain baik secara fisik maupun psikologis.”

Dengan pemahaman itu, saya setuju kalau kekerasan dan intimidasi memang harus diwaspadai segenap pihak, bukan hanya di MOS namun sepanjang praktik persekolahan dilakukan.           

Banyak yang mensinyalir intimidasi atau praktik kekerasan di sekolah dilakukan secara terorganisir dan sistematis. Dikatakan terorganisir, karena praktek kekerasan yang terjadi di sekolah tersebut sejatinya telah ”diketahui” oleh pejabat atau administrator yang namun tidak pernah ”diluruskan” atau dibenahi. Sebaliknya, pejabat atau pimpinan sekolah pura-pura tidak tahu, dan menganggap keprihatinan dan keluhan siswa atau orang tua sekedar angin lalu.

Marilah kita waspadai praktik kekerasan yang dilakukan oleh guru atau siswa senior dalam beragam bentuk, seperti:

Pertama, kekerasan verbal. Perilaku ini dilakukan melalui penggunaan stereotip-stereotip dan penamaan yang berkonotasi seksis, rasis, kultur, sosio-ekonomi, kelemahan mental, dan homofobik. Misalnya, menyebut siswa si ”kurus” atau si ”gendut”, si ”Batak” atau si ”China”, si ”Hitam”.

Kedua, kekerasan fisik. Perilaku kekerasan ini dilakukan dalam bentuk mendorong, mengguncang, memukul penggaris, mencubit, menarik rambut atau telinga, melempar dengan kapur atau penghapus, menendang, meludah, mencolek bagian tubuh tertentu (perempuan), dan sebagainya.

Ketiga, kekerasan psikologis. Kekerasan ini dilakukan misalnya dalam bentuk teriakan, berbicara secara kasar, menggertak, melempar atau menyobek pekerjaan siswa, mengacam siswa dengan hukuman, vonis nilai ulangan, mengacuhkan, tidak peduli, atau melecehkan pendapat/ pertanyaan siswa.

Keempat, kekerasan yang berkaitan dengan profesionalisme. Misalnya, penilaian guru terhadap hasil pekerjaan siswa secara tidak adil; penggunaan cara pendisiplinan siswa yang tidak pantas dan relevan dengan tujuan yang diberikan; penerapan hukuman kepada siswa secara tidak adil atau tidak berlaku sama untuk seluruh siswa; menghambat siswa untuk mendapat hak pengajaran yang sama, materi yang sama, atau remidiasi/ pengayaan; mengintimidasi orang tua yang karena hambatan bahasa, budaya, atau status sosial ekonomi tidak memungkinkan menyampaikan keluhan kepada sekolah.

Akhirnya, mari kita jadikan MOS acara selebrasi, yang sungguh menginisiasi dan jauh dari pelembagaan kekerasan di sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun