Mohon tunggu...
thomas wibowo
thomas wibowo Mohon Tunggu... Guru - pedagog

praktisi pendidikan di kolese kanisius jakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

MOS di Sekolah: antara Selebrasi, Inisiasi, dan Kekerasan

26 Juli 2015   19:16 Diperbarui: 26 Juli 2015   20:06 1750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekerasan

 

Banyak pengalaman menunjukkan, kegagalan proses selebrasi dan inisiasi mudah membawa praktik MOS pada praktik kekerasan.

Apa itu kekerasan? Peter Randall (1991), mendeskripsikan sebagai ”perilaku agresif yang muncul dari suatu maksud yang sengaja dilakukan untuk mengakibatkan tekanan kepada orang lain baik secara fisik maupun psikologis.”

Dengan pemahaman itu, saya setuju kalau kekerasan dan intimidasi memang harus diwaspadai segenap pihak, bukan hanya di MOS namun sepanjang praktik persekolahan dilakukan.           

Banyak yang mensinyalir intimidasi atau praktik kekerasan di sekolah dilakukan secara terorganisir dan sistematis. Dikatakan terorganisir, karena praktek kekerasan yang terjadi di sekolah tersebut sejatinya telah ”diketahui” oleh pejabat atau administrator yang namun tidak pernah ”diluruskan” atau dibenahi. Sebaliknya, pejabat atau pimpinan sekolah pura-pura tidak tahu, dan menganggap keprihatinan dan keluhan siswa atau orang tua sekedar angin lalu.

Marilah kita waspadai praktik kekerasan yang dilakukan oleh guru atau siswa senior dalam beragam bentuk, seperti:

Pertama, kekerasan verbal. Perilaku ini dilakukan melalui penggunaan stereotip-stereotip dan penamaan yang berkonotasi seksis, rasis, kultur, sosio-ekonomi, kelemahan mental, dan homofobik. Misalnya, menyebut siswa si ”kurus” atau si ”gendut”, si ”Batak” atau si ”China”, si ”Hitam”.

Kedua, kekerasan fisik. Perilaku kekerasan ini dilakukan dalam bentuk mendorong, mengguncang, memukul penggaris, mencubit, menarik rambut atau telinga, melempar dengan kapur atau penghapus, menendang, meludah, mencolek bagian tubuh tertentu (perempuan), dan sebagainya.

Ketiga, kekerasan psikologis. Kekerasan ini dilakukan misalnya dalam bentuk teriakan, berbicara secara kasar, menggertak, melempar atau menyobek pekerjaan siswa, mengacam siswa dengan hukuman, vonis nilai ulangan, mengacuhkan, tidak peduli, atau melecehkan pendapat/ pertanyaan siswa.

Keempat, kekerasan yang berkaitan dengan profesionalisme. Misalnya, penilaian guru terhadap hasil pekerjaan siswa secara tidak adil; penggunaan cara pendisiplinan siswa yang tidak pantas dan relevan dengan tujuan yang diberikan; penerapan hukuman kepada siswa secara tidak adil atau tidak berlaku sama untuk seluruh siswa; menghambat siswa untuk mendapat hak pengajaran yang sama, materi yang sama, atau remidiasi/ pengayaan; mengintimidasi orang tua yang karena hambatan bahasa, budaya, atau status sosial ekonomi tidak memungkinkan menyampaikan keluhan kepada sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun