Mohon tunggu...
Tholut Hasan
Tholut Hasan Mohon Tunggu... Guru - Maaf

Maaf

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Nestapa Pernikahan yang Tak Terpikirkan

31 Januari 2020   20:50 Diperbarui: 31 Januari 2020   21:10 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak ada selesainya bicara soal nikah. Apalagi oleh pemuda. Lebih-lebih keluaran dari pesantren yang siap mengarungi hidup berumah tangga. Dalam pikirannya beraroma indah. Banyak rasa pula. Bahagia yang ada dalam pikirannya. Hidup berpasangan dengan istri idaman apalagi shalehah. Tumbuh harum mewangi dari cinta. Seakan dunia menjadi saksi kisah cinta bersama belahan jiwa. Kedua mempelai hidup tanpa membuang-buang waktu dengan kata perpisahan. Dan mereka selalu menjaga cinta yang mereka bina. Tanpa memikirkan nestapa yang nantinya akan diterima.

Persepsi seperti ini ada benarnya juga, sebab selain sunnah Rasul, juga manfaatnya luar biasa. Manfaat yang dapat dirasakan dan tercatat sebagai ibadah yang pahalanya luar biasa. Yang paling penting di sini manfaat seperti apa, sehingga tercatat sebagai ibadah yang pahalanya luar biasa?
Pertama, titipan Allah yang berupa anak.

Dengan sebab anak, orangtua akan menjadi hamba yang dicintai oleh Allah. Kok bisa demikian? Seperti halnya majikan yang memasrahkan titipan berupa sawah, cangkul, pupuk dan lain sebagainya untuk dirawat dan dijaga. Lalu hamba tadi mengolah sawah dengan tidak benar dan berbuat kecerobohan. Mungkinkah tuan itu akan senang melihat semua itu? Begitu pun dengan titipan Allah. Allah menitipkan alat kelamin, air mani, tulang punggung dan lain sebagainya. Allah menitipkan rahim untuk menampung anak yang dikandungnya. Jika semua itu titipan itu digunakan bukan pada semestinya. Mungkinkah Allah akan cinta pada hamba tersebut?

Dengan sebab anak membuat dirinya dicintai oleh Rasulullah. Karena beliau sangat senang sekali kepada umat yang banyak. Umat yang banyak penyebabnya adalah banyaknya keturunan yang suatu saat nanti akan menjadi pejuang Allah. Lebih banyak pejuang lebih baik. "Wanita yang paling baik ialah wanita yang banyak anak dan banyak kasih sayangnya" (HR. imam Baihaqi dari Abu Adiyah ash-Shadafi). Bahkan Rasulullah juga menegaskan, kalau wanita yang hitam tapi banyak anak itu lebih baik daripada wanita cantik tidak beranak. Sebagaimana hadisnya Ibnu Hibban dari Bahaz bin Hakim.

Dengan sebab anak, orangtua bisa mengharap berkah doa anak setelah meninggal. Karena semua amal manusia akan terputus ketika orang itu meninggal, kecuali doa anak shaleh. Rasulullah bersabda, "Setiap amal anak Adam itu terputus kecuali tiga perkara. Yaitu doa anak shaleh kepada orangtuanya, amal jariyah dan ilmu manfaat."

Dan dengan sebab anak pula, orangtua bisa mencari syafaat dari anak yang meninggal saat kecil. Hujjatul Islam Imam Ghazali menceritakan dalam kitab Ihya' Ulumuddin menyebutkan, ada seorang pemuda yang enggan untuk menikah. Dia mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah. Saat malam tiba, pemuda ini bermimpi berada di satu tempat yang saat itu orang-orang merasa kehausan. Tak tahu kemana harus mencari pertolongan, karena waktu itu semua orang juga kebingungan. Tiba-tiba datang anak kecil membawa air minum dan meminumkan kepada orang-orang. Kemudian pemuda ini meminta air kepada anak kecil. Ternyata anak ini tidak mau memberikan. Dengan alasan karena pemuda ini bukanlah ayah dari anak ini. Tiba-tiba pemuda ini bangun dan menawarkan dirinya untuk kawin.

Kedua, membentengi godaan nafsu dan syahwat. Kita tahu bahwa manusia dihiasi dengan nafsu syahwat. Ketika beranjak dewasa manusia akan menghadapi godaan syahwat yang luar biasa. Agar manusia terhindar dari godaan ini, agar asmara tidak kecolongan rayuan syetan yang lebih leluasa menjinakkan akal ketika jiwanya terjerat cinta. Karena bagaimana pun simalakama syetan tidak sulit mengelabuhi pertahanan manusia kala jatuh cinta, maka saran yang terbaik adalah dengan kawin.

Ketiga, menetramkan jiwa. Kita diciptakan tidak lain untuk beribadah kepada Allah. Dengan menikah akan terjadi satu momen bersanding dengan istri idaman, bersenda gurau dan bermesraan. Hal ini dapat memicu adanya ketenangan jiwa. Jiwa yang sehari penuh disibukkan dengan pekerjaan, memuat beban pikiran yang tak kunjung selesai. Semua penat di dada bisa hilang dengan bersenda gurau dengan istri idaman. Jika sudah hilang semua  kesibukan, maka manusia akan lebih fokus dan lebih tenang ketika ibadah. Oleh karena itu, manusia bisa menjinakkan jiwanya dengan duduk bersama istri idaman untuk menenangkan saat beribadah.

Namun bagaimana pun penulis di sini tidak untuk membuat presepsi untuk melangsungkan pernikahan tanpa memikirkan jangka panjangnya, tapi setidaknya menimbang lebih lanjut lagi dan mempersiapkan dengan matang dhahir dan bathin. Pasalnya, nikah juga memiliki bahaya yang sangat besar pula. Diantanya, keberadaan istri dan anak dapat mengganggu dari mengingat Allah dan tidak khusyuk lagi dalam beribadah. Memunculkan bermacam-macam gangguan yang bisa menenggelamkan hatinya. Membuat siang dan malamnya habis. Akibatnya, tidak ada waktu untuk merenungkan akhirat dan mentiadakan persiapan sebangsa ukhrawi. Jika memang tadi disebutkan kalau anak dan istri adalah suatu anugerah, maka jangan sampai anugerah itu membuat lupa dan lalai dari tujuan utama kita diciptakan, yaitu ibadah. Karena sekalipun anugerah anak dan istri dan ibadah merupakan kebaikan semuanya, tapi jika salah satu kebaikan itu dapat menggagalkan atau bahkan melemahkan dari kebaikan pula, maka hal seperti ini diharamkan oleh syara'.

Diantaranya lagi yaitu kelalaian dalam menjalankan hak-hak istri. Setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban nantinya di akhirat. Suami adalah penggembala. Dan akan bertanggungjawab pada gembalanya. Orang yang lari dari keluarganya seperti budak yang meninggalkan tuannya. Shalat dan puasanya tiak diterima sebelum mereka kembali. Barang siapa yang melalaikan hak kaum wanita, sekalipun ia berada di tempat tinggal bersama istrinya, maka seperti melarikan diri. Ibrahim bin Ad-Ham enggan untuk menikah.

Dengan alasan karena pertanggungjawaban nantinya akan di pertanyakan. Beliau mengatakan, "Saya tidak ingin memperdayakan wanita dan saya tidak memerlukan mereka." Selain Ibrahin bin ad-Ham, Bisyr juga sejalan pikirannya. Beliau mengatakan, "Andaikan saya berkeluarga banyak, saya khawatir akan menjadi penjual kulit pada jembatan."

Dan yang terakhir adalah tidak mampu dalam mencari penghidupan yang halal. Perlu di ingat. Bahwa beristri bukan hanya sekedar menampakkan dzakar. Tapi memberikan nafkah juga tidak boleh dikesampingkan apalagi dilupakan.

Bukan hanya sekedar memberikan nafkah, tapi pilah-pilih nafkah. Tentunya nafkah yang dimaksud di sini yaitu nafkah yang halal. Hal seperti ini tidaklah mudah, terutama bagi orang yang mengalami goncangan kehidupan. Dengan perkawinan menjadi lebih banyak yang mau dihidupi dan dibiayai. Sehingga memaksa untuk bekerja keras. Jika tidak kuat, maka mengambil jalan pintas, yakni melakukan kejahatan dan menjual akhirat dengan dunia. Dalam kitab Ihya' Ulumuddin disebutkan, "Hal pertama yang yang berkaitan dengan hari kiamat adalah istri dan anak.mereka akan di bawah di hadapan Allah. 'Ya Allah! Ambillah untuk kami hak kami darinya (suami), karena ia tidak mengajarkan kepada kami apa yang tidak kami ketahui. Ia memberikan kepada kami makanan haram, sedangkan kami tidak mengetahuinya. Maka pada saat itu Allah memotong amalnya untuk diberikan kepada mereka."

Maka, dari semua yang telah disebutkan di atas, terserah dari melihat hal-hal yang telah dihimpun tadi. Tergantung dari masing -masing dari individu. Jika memang melihat pada dirinya tidak terdapat bahaya-bahaya nikah dan terkumpul segala manfaatnya, maka perkawinan lebih utama untuk dilanjutkan. Jika memang tidak, maka perkawinan tidak lebih utama untuk dirinya. Namun jika seimbang antara bahaya dan manfaat, maka timbanglah dengan neraca yang adil.

Namun sekali lagi penulis bukan beranggapan bahwa menikah dapat merusak dan mengganggu ibadah kita. Namun yang perlu ditekan lagi, bahwa antara ibadah dan menikah bisa dipadukan. Menikah tidak menghalangi pemusatan pada akhirat. Seperti halnya Rasulullah. Sekalipun beliau beristri sembilan, namun pemusatan pada akhirat tidak terganggu sama sekali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun