Jauh sebelum agama islam dikenal dan membumi di lembah Arab, sudah banyak sekali peradaban-peradaban di dunia diantaranya Yunani, Romawi, juga peradaban yang lainnya. Jauh sebelum islam membumi juga sudah terdapat agama-agama terdahulu seperti Yahudi, Budha dan yang lainnya.Â
Namun keberadaan peradaban panjang dan agama-agama besar sebelum islam tersebut disinyalir kurang menganggap peran dan bahkan kurang memperhatikan adanya sosok perempuan. Seperti yang sudah tidak asing lagi dengan sejarah yang merambat dan dikenal hampir seluruh belahan dunia dengan kejahiliyahannya bangsa Arab pada masa itu.Â
Jahiliyah disini diartikan dengan ketidak terpenuhinya atau bahkan kurangnya standar moral yang dimiliki masyarakat Arab pada masa itu.Â
Dengan kebiasaan masyarakat arab sendiri yang menyembah berhala, mengubur bayi perempuan hidup-hidup, yang menurut perspektif mereka bahwa perempuan saat itu tidak ada gunanya sama sekali dalam keberlangsungan hidup mereka, atau bahkan bayi perempuan hanya dianggap sebagai 'aib bagi keluarga tersebut.Â
Disamping itu ada pula bayi perempuan yang tetap dibiarkan hidup namun dengan tujuan perempuan pada masa pra islam kedudukannya sangat direndahkan dan hanya menjadi bahan pelayan dan pemuas nafsu kaum laki-laki semata.
Berbeda dengan sosok laki-laki pada masa itu, yang diagung-agungkan keberadannya. Kaum laki-laki mendapat posisi yang jauh lebih mulia dari pada perempuan. Keberadaanya dalam peradaban masa itu sangat besar pengaruhnya, Karena sosok laki-laki disana berperan aktif dan sangat dibutuhkan perannya dalam peperangan, kepemimpinan, perdagangan, maupun aktivitas yang lainnya.
Kemudian islam datang dengan membawa bumbu-bumpu perdamaian dan keadilan di tengah-tengah penduduk Arab yang paling utama pada masa itu. Karena islam mengajarkan persamaan serta tidak menitik beratkan satu di antara laki-laki maupun perempuan itu sendiri.Â
Seperti yang dimaksudkan dalam Surah Al-Hujurat(49):13 bahwa antara perempuan dan laki-laki tidak ada deskriminasi antara keduanya, karena sejatinya yang membedakan hanyalah amal ketaqwaannya terhadap Allah SWT dari masing-masing perempuan dan laki-laki itu sendiri.
Kehidupan tragis seperti yang terjadi pada masa pra islam tersebut akhirnya melahirkan sebuah pemikiran dan reflek kesadaran akan sebuah persamaan dan kesetaraan dari sudut pandang selain jenis kelamin. Yang tidak lain yaitu sebuah perbincangan gender. Makna dari gender sendiri merupakan sifat, peran, serta perilaku pelaku sosial yang hakikatnya merupakan hasil dari suatu konstruksi sosial masyakat itu sendiri, namun dalam hal demikian bisa disesuaikan menurut konteks penyesuaian keadaan yang ada.
Islam membumi dengan membawa ajaran perdamaian dan kesetaraan, mengajak seluruh lapisan umat baik itu perempuan maupun laki-laki untuk sama-sama membawa perubahan kepada saling melengkapinya peran dalam keberlangsungan peradaban. Seperti yang sudah banyak disinggung dalam Al-Qur'an dan Hadis Nabi bahwa perempuan dan laki-laki mendapat kesetaraan dan pengakuan sama serta tidak ada ketimpangan apapun.Â
Dalam tafsir wajiz QS Al Ahzab(33):35 mengisyaratkan juga kesetaraan dalam Islam antara laki-laki dan perempuan, bahwa di hadapan Allah perbuatan yang mereka kerjakan sendiri yang nantinya akan membedakan balasan amal mereka. Rasullullah SAW bersabda ''Perempuan adalah saudara kandung laki-laki.'' (HR Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi).
Pembuktian peranan perempuan-perempuan hebat juga sudah banyak pada catatan sejarah islam sendiri. Bukan hanya terpacu pada satu bidang saja, namun sosok perempuan pada masa itu mampu hampir ikut andil dalam beberapa bidang yang ada. Seperti dalam bidang politik militer sebuah kisah diungkapkan bahwa sosok istri Rasulullah, Sayyidah Aisyah yang ikut serta aktif dalam beberapa peperangan yang ada pada masa itu. Beliau perempuan yang keberaniannya tidak diragukan lagi pada masa itu.
Selain kisah tersebut, terdapat pula sosok perempuan pada masa Khalifah Umar yang berani berargumen dan berdebat atas pendapat Khalifah Umar sendiri tepatnya dalam sebuah majlis di suatu masjid. Dan dalam sejarah dikatakan bahwa argumen perempuan tersebut dibenarkan oleh Khalifah Umar dibanding dengan argumen beliau sendiri, dan Khalifah Umar mengakui kekurangannya. Kemudian sosok Siti Khadijah ra yang juga merupakan istri Rasulullah yang terkenal akan keaktifannya sebagai pelaku ekonomi khususnya dibidang perniagaan dan perdagangan. Kisah-kisah tersebut menjadi bukti betapa peran perempuan yang membumi di masa perjalanan islam sendiri.
Disamping peran perempuan dalam bidang tersebut, dalam bidang pendidikan pula perempuan tidak luput berperan aktif pada masa itu. Hal tersebut dibuktikan dengan peran sosok Sayyidah Aisyah ra istri Rasulullah sendiri yang banyak meriwayatkan hadis Rasulullah SAW. Beliau dikenal akan intelektualnya yang tinggi sehingga tidak diragukan lagi kecerdasannya dan jasa beliau terhadap periwayatan hadis Nabi. Azyumardi Azra seorang cendekiawan muslim Indonesia juga menyebutkan sebuah bukti lain yang disajikan dalam buku karya an-Nawawi yang berjudul al-Asma', yang dalam buku tersebut juga mengungkapkan sosok ulama perempuan yang banyak bermunculan serta berperan pada era islam klasik.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa praktik-praktik deskriminasi perempuan yang terjadi pada masa pra islam nampaknya mulai tergeser dan menemukan titik kesetaraan seiring dengan membuminya islam yang mengajarkan perdamaian dan keadilan pada masa itu. Kesadaran dan pergolakan perempuan dalam menuntut kesetaraanya juga sudah dimulai sejak islam membumi di kawasan asalnya yaitu Arab, atau bahkan perempuan-perempuan islam itu sendiri yang juga ikut mempelopori serta berperan aktif dalam mencapai tujuan tersebut yakni kesetaraan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI