8. Berapa ratio kelulusan program PhD?
Yang jelas tidak 100%. Pernah dengar dari teman katanya 50-50. Hiii. Tapi selama 2 thn saya menjadi mahasiswa PhD, memang melihat beberapa teman yang memutuskan mundur (atau diputuskan oleh Prof). Merasa tidak cocok dengan kehidupan sehari-hari yang isinya berpikir, merenung, membaca, menulis, berhitung, dan bingung. Merasa ingin bekerja yang hasilnya lebih nyata. Insinyur sipil yang kerja di konsultan, begadang 3 malam menghasilkan perhitungan struktur. Yang kerja di kontraktor, kerja keras tahu-tahu gedungnya jadi. Bagi mahasiswa PhD, begadang berujung …. makalah, yang kadang pun ditolak oleh jurnal.
9. Jadi apa setelah lulus PhD?
Oh macam-macam. Yang masih cinta proses belajar mengajar dan meneliti, jadi researcher di universitas atau lembaga-lembaga riset. Yang mau lebih praktis, jadi staf R&D di perusahaan besar (sebab perusahaan kecil ga ada R&D nya). Yang udah muak (“no more research” kata teman satu lab saya) bisa kerja di industri sesuai bidang ilmu masing-masing. Contohnya, PhD on Civil Eng. bisa kerja di konsultan struktur atau bahkan kontraktor. Yang bahkan merasa muak dengan bidang studinya, bisa jadi pengusaha, agen properti (ada ini beneran), bintang sinetron (ini juga ada), atau bahkan komikus (yang ini bukan dari civil eng sih).
10. Apa parameter seorang PhD yang baik?
Menurut wejangan yang saya terima dari para Begawan: menguasai konsep dasar bidang ilmunya, sangat menguasai topik penelitiannya, megikuti perkembangan terkini bidangnya, dapat menemukan topik-topik penelitian yang berguna untuk kehidupan dan dapat menyumbangkan solusi bermutu dalam topik tersebut.
Menurut khalayak umum (yang menurut saya tidak tepat): banyak menulis makalah dan ikut seminar dimana-mana. Lulus dalam 3 tahun.
11.Senangkah menjadi mahasiswa PhD?
Tidak senang kalau hasil perhitungan aneh. Lebih tidak senang lagi kalau sudah begitu, prof mengkritik. Paling tidak senang saat bingung tidak tahu langkah selanjutnya. Merasa tidak berguna saat paper ditolak atau dikritik tajam.Kadang merasa aneh saat teman seangkatan di SMA atau S1 sudah jadi manager, mencicil rumah dan mobil, nikah dan punya anak, sedangkan kita masih berstatus mahasiswa.
Senang saat tahu teman yang sudah lulus PhD dapat gaji gede (ok, we’re still human). Senang saat anak S1 yang diajar mengerti hal baru. Senang saat perhitungan yang sulit dapat dipecahkan. Senang sekali saat dapat mengerti hal baru tanpa diajari siapa-siapa. Senang saat paper diterima. Senang saat melihat profesor yang bermutu –sampai tua terus belajar, masih semangat mengajar dan meneliti– dan membayangkan suatu hari kelak saya akan menjadi seperti itu.