Mohon tunggu...
Thio Hok Lay
Thio Hok Lay Mohon Tunggu... Guru - Penulis Buku 'Mendidik, Memahkotai Kehidupan'

Teaching Learning Curriculum Department, Yayasan Citra Berkat, Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hakikat Sanksi dalam Proses Belajar

6 Oktober 2020   06:55 Diperbarui: 6 Oktober 2020   07:07 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi gambar: cnnindonesia.com

HARI-hari ini, ungkapan pepatah "Seganas-ganasnya harimau tak akan memangsa anaknya sendiri; betapa pun galaknya orangtua, tidak akan tega mencelakakan anaknya sendiri", rasanya perlu untuk dimaknai ulang.

Di penghujung pekan bulan Agustus lalu, publik kembali dibuat kaget, sedih, kecewa, marah campur aduk jadi satu saat menyimak berita perihal kejadian orangtua yang melakukan penganiayaan terhadap putrinya sendiri (8 tahun), yang masih duduk di bangku kelas 1 SD hingga menjumpai ajal, dan dikubur di Lebak, Banten. Dipicu oleh sang putri yang dianggap susah diajar via pembelajaran dalam  jaringan (daring) selama masa pandemi, menjadikan orangtua kesal dan gelap mata.

Terkait upaya pemberian sanksi terhadap anak oleh orangtua, dulu masih berlaku nasehat, "Diujung rotan ada emas". Mengingat konon lewat rotan yang diayunkan oleh orang tua, dianggap mampu mengusir rasa malas, dan menjadikan semangat belajar anak kembali menyala. Namun demikian, di era kemerdekaan dalam belajar seperti saat ini, rasanya nasehat tersebut sudah tidak lagi relevan.

Jamaknya fenomena aksi kekerasan; baik kekerasan fisik dan psikis yang diterima dan dialami oleh anak (murid) saat proses belajar di rumah dan atau di sekolah; berupa bentakan dan pemukulan oleh oknum orangtua dan tenaga pengajar yang tak bertanggungjawab, senyatanya merupakan ekspresi pengingkaran atas hakekat dari merdeka belajar; yang semestinya berlangsung tanpa paksaan, menyenangkan, dan membebaskan

Pesan Neil Kurshan dalam  Coloroso (2006), dalam bukunya berjudul "Penindas, Tertindas, dan Penonton" -- Resep Memutus Rantai Kekerasan Anak dari Prasekolah hingga SMU; perlu mendapatkan perhatian bersama secara serius bahwa tugas terpenting kita sebagai orangtua adalah membesarkan anak-anak yang akan menjadi orang-orang yang baik, bertanggungjawab dan peduli serta membaktikan diri untuk membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih adil dan penuh kasih. Bagi kita dan anak-anak kita, kita dapat menghiasi sebuah dunia yang lebih hangat dan lebih baik yang akan menyingkirkan kegelapan serta isolasi.

Dalam artikel yang berjudul "Proses Belajar yang Menyenangkan dan Mencerdaskan" (Wawasan, 18 Desember 2017), penulis mengutarakan bahwa setiap bentuk "kekeliruan" dan "kenakalan" yang dilakukan dan dijumpai oleh anak (murid) selama proses belajar, sejogyanya ditempatkan dan dimaknai sebagai kesempatan bagi anak (murid) untuk melakukan perbaikan sikap dan karakter.

Perhatikanlah proses  belajar yang berlangsung di Taman Kanak-Kanak (TK); suasana belajarnya begitu luwes dan hidup. Penuh dengan dinamika; diwarnai dengan nyanyian, tarian dan tawa. Tak ada istilah kata keliru dan anak nakal dijumpai di sana; yang ada adalah anak (murid) yang sedang dalam tahap proses belajar, bertumbuh, dan berkembang.

Paralel dengan pernyataan John Madden, bahwa peran dan tugas pembimbing memang harus mengamati yang tidak ingin ia lihat dan mendengarkan yang tidak ingin ia dengar. Terkait dengan proses pendampingan belajar anak (murid), orangtua dan guru sebagai pembimbing membantu untuk menemukan; mengoreksi dan mengevaluasi, guna selanjutnya menumbuhkembangkan dan menyempurnakan setiap potensi dan keunikan personal yang dimiliki anak (murid).

Hakikat sanksi

Sekolah sebagai institusi pendidikan yang hadir di tengah-tengah masyarakat senyatanya merupakan bagian dari jawaban atas cita-cita bangsa ini; sebagaimana yang terumuskan dalam pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945, alinea ke empat; "... memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia..."

Hanya melalui aktivitas proses pembelajaran dan pendidikan di sekolahlah; mulai dari tingkat dasar, menengah, sampai pendidikan tinggi; yang dikemas, ditata, dan dikelola sedemikian rupa sehingga nantinya diharapkan mampu menghasilkan generasi bangsa yang berkualitas unggul dan berintegritas.

Pastinya, kesemua cita dan asa nan luhur tersebut tidaklah secara otomatis muncul dengan tiba-tiba, mulus tanpa aral rintangan. Semuanya itu membutuhkan proses dan ekstra pendampingan, serta dinamika pergulatan yang menyita energi dan menguras pikiran.

Untuk itu, dibutuhkan ketulusan, kesiapsediaan, dan keteladan dari sosok guru; sebagai pengganti peran orangtua di sekolah. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Gede Prama (2011) bahwa "Sebagaimana seorang putra/i yang tidak mungkin terlahir tanpa orang tua, seorang murid juga tidak mungkin terlahir tanpa seorang guru." 

Dengan demikian, sekiranya dalam proses belajar mengajar keseharian; di rumah dan atau di sekolah dijumpai adanya gejala penyimpangan dan pelanggaran oleh anak (murid), seperti: lambat dalam belajar, malas, tidak mengerjakan tugas atau PR yang diberikan, capaian hasil belajar siswa yang belum optimal, dll maka yang perlu dingat dan diperhatikan oleh orangtua dan sekolah dalam hal pemberlakuan sanksi adalah bahwa 

sanksi itu haruslah bersifat edukatif; menertibkan dan menumbuhkembangkan, bukan hukuman yang mematikan. 

Melalui fenomena aneka kendala belajar yang dijumpai oleh anak (murid), yang acap menjadi pemicu tindakan perundungan (bullying), sejatinya merupakan sinyal bagi keluarga dan warga sekolah untuk menjadi lebih peka guna melakukan ekstra pendampingan dan penyadaran perihal intisari dari pendidikan (education; educare); yang ditandai dengan adanya kesediaan untuk menuntun guna melangkah melakukan perubahan (perbaikan) ke arah yang lebih baik.

Kiranya ungkapan isi hati Marva Collins dalam Chicken Soup for The Teacher's Soul,  yang sarat akan makna, "Aku seorang Guru. Guru adalah seorang yang memimpin. Tidak ada keajaiban dalam pekerjaanku. Aku tidak berjalan di atas air. Aku tidak membelah lautan. Aku hanya mencintai anak-anak.", senantiasa mengingatkan para insan pendidik dalam proses melakukan pendampingan belajar kepada anak (murid) dengan penuh kasih.

Perlu disadari oleh setiap diri guru; sebagai sosok pengajar dan pendidik bahwa meskipun perjumpaan dan tegur sapa keseharian dengan para murid terjadi secara klasikal di ruang kelas; senyatanya dibutuhkan ruang dialog dan pendampingan secara personal  kepada setiap diri anak (murid) guna mengenali setiap kelebihan dan kelemahan; bakat dan minat; ketrampilan, potensi, serta keunikan yang dimiliki oleh setiap pribadi (positive pals).

Untuk itu, diperlukan adanya jalinan komunikasi dan kerjasama antar anasir pendidikan; siswa, guru, orang tua, yayasan/ dinas pendidikan, dan masyarakat guna turut menciptakan suasana belajar yang sehat; baik di rumah maupun di sekolah.

Dibutuhkan adanya ekstra kesabaran, ketulusan dan keikhlasan dalam diri orangtua dan para insan pendidikan (guru) dalam mendampingi anak-anak dan peserta didik dalam dinamika proses belajar, dan tumbuhkembang mereka menjadi pribadi yang mendewasa secara utuh (kognitif, afektif, dan psikomotorik).

Diharapkan melalui kesabaran dan ketulusan dalam menuntun dan melakukan pendampingan belajar terhadap anak (murid), nantinya mereka akan tumbuh menjadi generasi emas bangsa nan cerdas dan berkarakter unggul, guna kelak berkontribusi positif dalam penataan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menjadi lebih tertib dan beradab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun