Hanya melalui aktivitas proses pembelajaran dan pendidikan di sekolahlah; mulai dari tingkat dasar, menengah, sampai pendidikan tinggi; yang dikemas, ditata, dan dikelola sedemikian rupa sehingga nantinya diharapkan mampu menghasilkan generasi bangsa yang berkualitas unggul dan berintegritas.
Pastinya, kesemua cita dan asa nan luhur tersebut tidaklah secara otomatis muncul dengan tiba-tiba, mulus tanpa aral rintangan. Semuanya itu membutuhkan proses dan ekstra pendampingan, serta dinamika pergulatan yang menyita energi dan menguras pikiran.
Untuk itu, dibutuhkan ketulusan, kesiapsediaan, dan keteladan dari sosok guru; sebagai pengganti peran orangtua di sekolah. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Gede Prama (2011) bahwa "Sebagaimana seorang putra/i yang tidak mungkin terlahir tanpa orang tua, seorang murid juga tidak mungkin terlahir tanpa seorang guru."Â
Dengan demikian, sekiranya dalam proses belajar mengajar keseharian; di rumah dan atau di sekolah dijumpai adanya gejala penyimpangan dan pelanggaran oleh anak (murid), seperti: lambat dalam belajar, malas, tidak mengerjakan tugas atau PR yang diberikan, capaian hasil belajar siswa yang belum optimal, dll maka yang perlu dingat dan diperhatikan oleh orangtua dan sekolah dalam hal pemberlakuan sanksi adalah bahwaÂ
sanksi itu haruslah bersifat edukatif; menertibkan dan menumbuhkembangkan, bukan hukuman yang mematikan.Â
Melalui fenomena aneka kendala belajar yang dijumpai oleh anak (murid), yang acap menjadi pemicu tindakan perundungan (bullying), sejatinya merupakan sinyal bagi keluarga dan warga sekolah untuk menjadi lebih peka guna melakukan ekstra pendampingan dan penyadaran perihal intisari dari pendidikan (education; educare); yang ditandai dengan adanya kesediaan untuk menuntun guna melangkah melakukan perubahan (perbaikan) ke arah yang lebih baik.
Kiranya ungkapan isi hati Marva Collins dalam Chicken Soup for The Teacher's Soul, Â yang sarat akan makna, "Aku seorang Guru. Guru adalah seorang yang memimpin. Tidak ada keajaiban dalam pekerjaanku. Aku tidak berjalan di atas air. Aku tidak membelah lautan. Aku hanya mencintai anak-anak.", senantiasa mengingatkan para insan pendidik dalam proses melakukan pendampingan belajar kepada anak (murid) dengan penuh kasih.
Perlu disadari oleh setiap diri guru; sebagai sosok pengajar dan pendidik bahwa meskipun perjumpaan dan tegur sapa keseharian dengan para murid terjadi secara klasikal di ruang kelas; senyatanya dibutuhkan ruang dialog dan pendampingan secara personal  kepada setiap diri anak (murid) guna mengenali setiap kelebihan dan kelemahan; bakat dan minat; ketrampilan, potensi, serta keunikan yang dimiliki oleh setiap pribadi (positive pals).
Untuk itu, diperlukan adanya jalinan komunikasi dan kerjasama antar anasir pendidikan; siswa, guru, orang tua, yayasan/ dinas pendidikan, dan masyarakat guna turut menciptakan suasana belajar yang sehat; baik di rumah maupun di sekolah.
Dibutuhkan adanya ekstra kesabaran, ketulusan dan keikhlasan dalam diri orangtua dan para insan pendidikan (guru) dalam mendampingi anak-anak dan peserta didik dalam dinamika proses belajar, dan tumbuhkembang mereka menjadi pribadi yang mendewasa secara utuh (kognitif, afektif, dan psikomotorik).
Diharapkan melalui kesabaran dan ketulusan dalam menuntun dan melakukan pendampingan belajar terhadap anak (murid), nantinya mereka akan tumbuh menjadi generasi emas bangsa nan cerdas dan berkarakter unggul, guna kelak berkontribusi positif dalam penataan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menjadi lebih tertib dan beradab.