Mohon tunggu...
Thio Hok Lay
Thio Hok Lay Mohon Tunggu... Guru - Penulis Buku 'Mendidik, Memahkotai Kehidupan'

Teaching Learning Curriculum Department, Yayasan Citra Berkat, Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menjadi Sahabat Alam

3 Agustus 2020   08:09 Diperbarui: 3 Agustus 2020   08:07 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jika pohon terakhir telah ditebang, dan ikan terakhir telah ditangkap, 

maka manusia baru akan sadar bahwa ternyata uang tidak bisa dimakan" 

(Eric Weiner, The Geography of Bliss)

Pandemi Corona Virus Disease (covid-19) sebagai wabah global senyatanya merupakan indikator konkrit atas fenomena ketidakseimbangan ekosistem secara global; homeostatis lingkungan telah terciderai oleh perilaku dan tindakan manusia terhadap alam. Makna eksplorasi telah diluncasartikan dengan eksploitasi terhadap alam beserta dengan segala sumber daya yang dimilikinya.

Perlu disadari bersama bahwa senyatanya keberadaan alam ciptaanNya bukanlah obyek yang bisa dieksploitasi (dikuras) demi memuaskan hawa nafsu keserakahan (egoisme) manusia, namun alam haruslah dipahami sebagai sumber daya yang ragam dan ketersediaannya terbatas sehingga keberadaan dan kelestariaannya perlu dirawat dan dijaga bagi generasi mendatang.

Melalui pandemi covid-19 yang belum menampakkan titik terang terkait kapan dan bagaimana akan selesainya, sebagai warga dunia, terkhusus sebagai warga negara yang tinggal dan hidup bersama di bumi pertiwi ini, kita perlu berefleksi, berpikir dan mengevaluasi atas setiap sikap dan perbuatan kita dalam memperlakukan alam.  

Chapman dkk (2007) dalam bukunya yang berjudul 'Bumi yang terdesak', menyatakan bahwa populasi manusia tidak hanya tumbuh secara eksponensial, tetapi gaya hidup dan pola konsumsi manusia telah mendorong munculnya teknologi yang semakin merusak lingkungan. Ringkasnya, semua bentuk musibah dan bencana alam yang menimpa acapkali justru disebabkan oleh ulah manusia sendiri yang cenderung menyakiti (merusak) alam lingkungan.

Sahabat alam

Melalui opininya yang berjudul "Merenungi Epistemologi Bencana", Eko Yulianto (Peneliti Palaeotsunami dan Kebencanaan LIPI) memaparkan dan mengulas tentang egoistik manusia sebagai pemicu dari bencana yang menimpa ibu pertiwi, disamping tentunya ajakan untuk membangkitkan kesadaran dalam memperlakukan alam sebagai ciptaanNya dengan lebih arif dan bijak (Kompas, 24/11).

Ironinya, di bumi pertiwi Indonesia kebijakan seputar lingkungan hidup belum menukik sampai pada tataran kebutuhan masyarakat. Sebaliknya, kebijakan yang menyangkut soal kelangsungan dan kelestarian lingkungan hidup acapkali masih membuka ruang untuk diperdebatkan. Apalagi motifnya bila bukan  karena kepentingan, uang dan kekuasaan. Menjadi relevan, pernyataan reflektif yang diungkap oleh Eric Weiner, The Geography of Bliss, "Jika pohon terakhir telah ditebang, dan ikan terakhir telah ditangkap,  maka manusia baru akan sadar bahwa ternyata uang tidak bisa dimakan." 

Sebenarnya tidaklah sukar untuk menjadi sahabat dan membina persahabatan dengan alam. Di mana pun dan kapan pun bisa kita lakukan; entah itu di rumah, di sekolah, di kantor, bahkan dalam suasana liburan sekalipun. Prinsipnya sebagaimana perjalinan persahabatan pada umumnya,  asal semua bentuk perhatian, ekspresi, dan tindakan yang kita lakukan didasari dengan niat baik dan ketulusan, bukannya dicemari oleh adanya unsur kepentingan dan motif yang lain.

Aktivitas riil sebagai bentuk kasih dan persahabatan kita dengan alam dapat diawali dari diri pribadi atau dimulai dari ruang lingkup yang kecil, semisal dengan menumbuhkan kebiasaan dan sikap ramah terhadap lingkungan, seperti menanam dan merawat tanaman di halaman rumah. Kalaupun, pekarangan yang ada terbatas, tetap dapat menanam di dalam pot. Di lingkup rukun tangga (RT/RW), dengan semangat gotong-royong membersihkan saluran air dari aneka ragam sampah. Atau lebih luas lagi,  dengan melakukan bina relasi dan kerjasama dengan organisasi pecinta lingkungan untuk melakukan penghijauan (reboisasi) di lahan-lahan kritis.

Tak lupa, tentunya peran dunia pendidikan (sekolah) sangat menentukan keberhasilan dalam upaya pelestarian lingkungan di masa-masa mendatang.  Melalui proses aktivitas pembelajaran; baik yang dilangsungkan di dalam maupun  di luar kelas, upaya penyadaran dan perubahan pola pikir para murid dalam memperlakukan alam perlu terus-menerus ditumbuhkembangkan, misalnya: melatih dan meneladankan kepada para murid untuk sejak dini belajar menempatkan sampah pada tempatnya. Alih-alih dengan segala kreativitas dan inovasinya, turut  berkreasi guna mengelola limbah yang ada melalui aktivitas recycle, reuse, dan reduce.

Diharapkan melalui perhatian, niat baik dan aksi nyata yang ramah dan bersahabat terhadap lingkungan, maka secara perlahan namun pasti alam akan kembali sehat, meremaja kembali, dan awet muda sehingga bangsa kita boleh dimampukan untuk segera pulih dari pandemi covid-19 dan dihindarkan dari ragam musibah dan bencana di waktu-waktu mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun