#softgore
Nuwanda adalah teman sekelasku yang hidup serba berkecukupan. Lemak di tangan dan kakinya sangat tebal dan padat. Pipinya bulat kemerahan serta kulitnya sangat halus. Aku iri padanya, iri pada kehidupannya yang serba berkecukupan. Aku yakin setiap hari orang tuanya selalu memberikan makanan yang enak-enak. Dari mana dia memperoleh badan segede gajah  jika bukan dari makanan yang serba enak?
"Kau bawa bekal apa hari ini, Ro?" tanyanya ramah.
Aku menutup bekalku rapat dan menyimpannya di dalam tas kumalku. "Bukan urusanmu, gajah!" bentakku kemudian pergi meninggalkannya sendirian di dalam kelas.
Nuwanda sedih tapi tidak berapa lama kemudian dia membuka bekal makanannya. Â Kali ini dia membawa burger dengan 2 tumpukan daging yang begitu tebal. Dari kejauhan aku meneteskan air liurku. Tiba-tiba perutku serasa berteriak.
Waktu menunjukkan jam 9 malam. Ayah  belum pulang. Tiba-tiba, aku mendengar pintu rumah diketuk oleh seseorang. Dengan rasa malas aku membuka pintu. Begitu aku membukanya aku terkejut.
"Nak Ronan melihat Wanda? Dari tadi sore belum pulang kerumah," tanya Papanya Wanda panik.
"Ma .. maaf Om, aku tidak tahu. Aku tidak melihat Wanda lagi dari waktu pulang sekolah tadi," terangku.
"Okay, makasih ya Ronan? Jika melihat tolong kasih tahu Pak Polisi ya?" pinta Papa Wanda sebelum meninggalkan rumahku yang hanya berukuran 4x4m ini.
Esok pagi, saat aku terjaga dan membuka lebar mataku. Aku mencium aroma daging yang begitu lezat Perutku tiba-tiba saja berbunyi minta diisi. Aku menepuk pipiku . Aku tersenyum karena ini bukanlah mimpi. Tidak lama terdengar suara ayahku memanggilku.
"Ronan, bangunlah makan pagi sudah siap."
Akupun bangun dengan segera. Daging tersaji diatas piring. "Kayaknya lezat sekali Yah," pujiku. Aku pun mengiris daging itu lalu memasukkan ke dalam mulutku. Tiba-tiba aku bertanya, "Darimana ayah mendapatkan uang untuk membeli daging ini?"
"Ayah tidak ingin kamu marah lagi pada ayah, hanya karena keinginanmu untuk makan daging tidak bisa ayah turuti."
"Ayah belum menjawab pertanyaanku," pintaku dengan nada kesal  dengan masih tetap mengunyah daging hasil masakan ayahku yang rasanya bisa dibilang lumayan.
Ayah memberikan selembar kertas yang bertuliskan orang hilang.
"Apa hubungannya hilangnya Wanda dengan daging yang ayah sajikan?" tanyaku dengan nada penuh kebingungan.
Ayah beranjak dari tempat kita makan menuju keluar. Diapun kembali dengan membawa sebuah kotak kecil. Dibukanya kotak itu lalu dikeluarkannya sebuah kepala manusia.
Aku pun muntah-muntah. Aku menatap ayahku dengan rasa tidak percaya. Tidak lama aku pun pingsan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H