Aku beruntung terlahir di keluarga yang bisa dibilang .... wealthy. Kekayaan ... orang tuaku lebih tepatnya yang membawaku terbang jauh ke negaranya Pangeran William untuk meraih gelar PhD. Ya, di negara ini aku bebas melakukan apa pun yang aku suka tanpa ada batasan baik dan buruk. Di negara ini pula aku mendapatkan julukan The Most Brutal Sexual Predator. Sebuah julukan yang akhirnya melekat padaku setelah sekian lama aku melakukan kejahatanku tanpa bisa terlacak. Ntah karena aku pintar ataukah memang karena korban-korbanku enggan melaporkanku kepada pihak berwajib disana?
Di negara ini aku bebas mengekspresikan diriku yang sebenarnya. Bahagia? Can't say by words though. Yang jelas, tidak seperti di negaraku, orang sepertiku walau sudah banyak tapi tetap tidak bisa mengekspresikan diri mereka yang sebenarnya. Disini aku punya segudang teman yang sama, teman yang tidak memandangku sebelah mata, teman yang berkata, "Be yourself mate."
"Hi ... Ryan, see you tonight ya?" sapa Ronan disore yang mendung.
Aku mengangguk sambil melemparkan senyuman padanya. "In the same place," jawabku lalu berlalu dari hadapannya. Namanya Ronan Patrick. Lelaki asal Glasgow, Irlandia yang mempunyai wajah yang ... can't say by words. His look? Every men dream. Nanti malam dia akan masuk perangkapku. Dia akan menjadi korbanku yang ... uncountable. The great news is ... I am save so far.
Ntah ada apa dengan mereka-mereka yang telah menjadi korbanku. Yang mereka rasakan ketika bangun tidur adalah badan mereka yang pegal-pegal.Â
"How long am I been unconscious?" Pertanyaan yang sama dari orang yang berbeda.Â
"Sorry, it was my bad." Justru mereka yang meminta maaf karena tidak sadarkan diri dan begitu mabuknya hingga mereka tertidur ditempatku, padahal ...
Malam ini akan menjadi malam terindahku bersama lelaki yang beberapa hari ini telah mengisi relung hatiku.
Ketika aku sedang berjalan kembali ke apartmentku, Iphoneku berbunyi. Aku mengnagkatnya. "Hi, Steve what's up?"
"Look Ryan, you must meet up with Professor Keating since you failed his assignment." Suaranya terdengar menggema.
"Are you in the bathroom?" tanyaku sambil tersenyum.
"Just ignore where I am now. When you got the time?"
"Tomorrow evening?" jawabku asal.
"Okay, I lock your answer ya?"
"Okay," aku pun menutup percakapan dengan assisten dosen asal Amerika itu.
Begitu aku memasuki kamarku, aku menata kamarku sedemikian rupa. Mempersiapkan hal-hal yang memang perlu untuk dipersiapkan. Apa yang aku lakukan ini sedikit banyak terinspirasi oleh seseorang bernama Jeffrey Dahmer. Tapi aku tidak segila dia. Aku masih dibilang waras.
Jam menunjukkan pukul 09.00 P.M. Aku melangkahkan kakiku menuju tempat dimana aku janjian dengan seseorang yang di dalam diary yang aku tulis di Macbookku aku panggil dengan sebutan My Man.
Club itu begitu ramai. Aku mencari Ronan dalam kelap-kelipnya lampu warna-warni. Ada seseorang melambai padaku. Aku berjalan menuju bar tempat dia duduk menikmati Wine-nya.
"One JD please?" pintanya pada bartender.
Tidak lama sloki JD pun terhidang  di depanku. Aku pun meminumnya dengan sekali tenggak. Aku tersenyum padanya. "Thank you," ucapku di telinganya.
"Your welcome love," jawabnya.Â
"Could we go to my place now?" pintaku.
"Sure ... but I go to the restroom first, ya?" pamitnya.
Aku mengangguk. Tanpa dia sadari aku memasukkan sesuatu ke dalam minumannya.
Tidak lama dia kembali dari kamar mandi, dia menenggak minumannya lalu berkata, "Let's go."
Beberapa meter mendekati apartemenku, Ronan sudah berjalan sedikit sempoyongan.
"Are you okay mate?" tanyaku sambil tersenyum dikulum.
"Dunno, kind a dizzy," jawabnya sambil memegangi kepalanya.
Aku pun memegangi tubuhnya agar masih bisa untuk berjalan.
Tidak lama, kita pun sampai di kamarku yang nyaman. Ronan aku duduk kan di sofa panjangku.
"I'll get you water okay?"
Ketika aku akan memberikan gelas berisi air putih itu pada Ronan ... tiba-tiba pintu apartemenku di dobrak.
"Police! Put your hand in the air!"
Setelah kejadian itu ... persidangan demi persidangan, kesaksian demi kesaksian, dan pengakuan korban demi korban pun bermunculan. Perkiraanku salah. Aku pikir mereka diam, aku pikir mereka bodoh ternyata ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H