"Namun orang yang bijak akan menerima segala bentuk perbedaan pandangan sebagai kekayaan, karena keseragaman pikiran sungguh-sugguh memiskinkan kemanusiaan."
- Seno Gumira Ajidarma
Indonesia merupakan sebuah negara yang unik. Keunikan yang dimulai dari keragaman etnis, budaya, hingga agama yang terkandung di dalamnya. Perbedaan yang ada di dalam masyarakat terkadang dapat menjadi penghalang untuk kita berinteraksi.Â
Pada bulan Oktober kemarin, Kolese Kanisius Jakarta diberi sebuah kesempatan untuk berkunjung ke Pondok Pesantren Terpadu Bismillah di Kota Serang, Jawa Barat. Kunjungan ini dilaksanakan selama tiga hari dua malam dengan tujuan untuk bertukar ilmu dengan mereka yang berbeda dengan kita. Tidak bertukar ilmu, tetapi mengenal dan belajar lebih dalam dengan mereka.
Kolese Kanisius sejak awal merupakan sebuah institusi pendidikan yang memiliki latar belakang agama Katolik. Selama tiga hari, siswa Kolese Kanisius diajak untuk hidup bersama para santri yang kesehariannya sangat berbeda 180 derajat dengan kami.Â
Siswa pesantren yang memiliki latar belakang agama Islam mengajarkan kami banyak sekali pandangan yang cukup berbeda. Melalui dialog lintas agama yang dilakukan, menjadi sebuah pengalaman penting nan menarik untuk mempelajari lebih dalam tentang perbedaan.
Kegiatan seperti kunjungan ini menjadi langkah nyata untuk mengurangi jarak sosial yang kerap muncul akibat perbedaan agama dan budaya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali terjebak dalam persepsi dan prasangka terhadap kelompok lain tanpa benar-benar mengenal mereka. Oleh karena itu, interaksi langsung seperti ini menjadi cara efektif untuk membangun jembatan pemahaman.Â
Selama di pesantren, siswa Kolese Kanisius tidak hanya belajar tentang Islam sebagai agama, tetapi juga tentang bagaimana nilai-nilai tersebut diterapkan dalam kehidupan sehari-hari para santri. Sebaliknya, para santri juga mendapatkan wawasan baru tentang bagaimana umat Katolik menjalankan ajaran kasih dalam kehidupan mereka.
Perbedaan
Kehidupan di pesantren sangat berbeda dengan kami yang berlatar belakang agama Katolik. Kehidupan di pesantren memiliki fokus utama dalam pembelajaran agama melalui studi Al-Qur’an dan akhlak Islam sedangkan siswa Kolese Kanisius diajarkan berdasarkan Injil dan filsafat Katolik.Â
Meski keduanya memiliki tujuan membentuk individu yang religius dan berakhlak mulia, metode pendidikan, praktik ibadah, dan tradisi yang diterapkan sangat mencerminkan identitas keagamaan masing-masing.
Selain aspek agama, kunjungan ini juga membuka wawasan tentang budaya lokal yang dimiliki masing-masing kelompok. Siswa Kolese Kanisius diperkenalkan dengan tradisi pesantren, seperti bagaimana cara makan bersama, tata cara berbicara dengan guru, hingga adab dalam kehidupan sehari-hari yang berakar pada nilai-nilai Islam.
 Sebaliknya, mereka juga berbagi cerita tentang tradisi khas di lingkungan sekolah Katolik mereka, seperti perayaan Natal dan kegiatan sosial di komunitas mereka. Pertukaran ini menciptakan ruang untuk saling menghormati dan menghargai keunikan satu sama lain.
Perbedaan yang ada di dalam kegiatan ini sangat mencerminkan bagaimana kita sudah sepantasnya rukun. Perbedaan sudah sepatutnya tidak menjadi sebuah tembok penghalang untuk melakukan dialog lintas agama. Hal tersebut terjadi selama kami di pesantren ini.Â
Tembok stereotip akan hal-hal yang selama ini mungkin dipikirkan seakan runtuh setelah merasakan secara langsung hidup bersama mereka. Mereka tidak sungkan untuk mau bergabung dengan kami dan mengajarkan kami adat dan budaya khas yang mereka miliki.Â
Kami diajak untuk mau ikut dalam kegiatan Sholat hingga mengaji, membuat pengalaman pertam kami terhadap dunia Islam. Membagi ilmu akan agama maupun budaya menjadi sebuah pertukaran ilmu yang sangat berharga, sebuah kesempatan yang menakjubkan.Â
Rasa Kesatuan
Pembiasaan masyarakat untuk menerima dan hidup berdampingan dengan mereka yang berbeda sudah sepatutnya lebih rukun. Bukan karena terpaksa, tetapi karena menghormati. Sebagai negara yang beragam, perbedaan bukan menjadi sebuah masalah, tetapi rasa untuk persatuan yang harus diharumkan.Â
Dengan terus menjunjung nilai-nilai toleransi, menghormati perbedaan, dan memelihara dialog lintas agama, kita dapat memastikan bahwa generasi mendatang akan tumbuh dalam semangat persatuan yang kokoh. Indonesia yang damai, rukun, dan harmonis bukan hanya cita-cita, tetapi juga tanggung jawab bersama.
Rasa bersatu sama seperti sebuah lidi yang sangat kuat saat bersatu. Jika hanya satu lidi saja, lidi tersebut mudah untuk dipatahkan. Rasa kita untuk selalu menghormati dan hidup rukun bersama mereka yang berbeda menjadi sebuah kehidupan yang asri. Jika kita menjauhi perbedaan, hal tersebut dapat memicu perpecahan di antara kita.
Kesimpulan
Dialog lintas agama merupakan sebuah masalah yang perlu kita tingkatkan sebagai negara beragam. Menyuarakan indahnya keberagaman untuk kehidupan masyarakan yang rukun. Indonesia sebagai rumah kita bersama, sudah sepatutnya kita mengenal keluarga kita. Menerima perbedaan tanpa pandang bulu dapat membuat kita lebih erat dengan sesama.
Kunjungan siswa Kolese Kanisius ke Pondok Pesantren Terpadu Bismillah menunjukkan bahwa dialog lintas agama adalah langkah penting untuk mempererat persatuan di tengah keberagaman Indonesia. Melalui interaksi langsung, mereka belajar untuk memahami, menghormati, dan menghargai perbedaan, baik dalam praktik agama maupun budaya.Â
Pengalaman ini mengajarkan bahwa perbedaan bukanlah penghalang, melainkan peluang untuk saling belajar dan bekerja sama demi membangun masyarakat yang harmonis. Dengan menanamkan nilai-nilai toleransi dan persatuan, generasi muda dapat menjadi agen perubahan yang menjaga keutuhan bangsa sebagai rumah bersama yang penuh kedamaian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H