Kehidupan di pesantren sangat berbeda dengan kami yang berlatar belakang agama Katolik. Kehidupan di pesantren memiliki fokus utama dalam pembelajaran agama melalui studi Al-Qur’an dan akhlak Islam sedangkan siswa Kolese Kanisius diajarkan berdasarkan Injil dan filsafat Katolik.Â
Meski keduanya memiliki tujuan membentuk individu yang religius dan berakhlak mulia, metode pendidikan, praktik ibadah, dan tradisi yang diterapkan sangat mencerminkan identitas keagamaan masing-masing.
Selain aspek agama, kunjungan ini juga membuka wawasan tentang budaya lokal yang dimiliki masing-masing kelompok. Siswa Kolese Kanisius diperkenalkan dengan tradisi pesantren, seperti bagaimana cara makan bersama, tata cara berbicara dengan guru, hingga adab dalam kehidupan sehari-hari yang berakar pada nilai-nilai Islam.
 Sebaliknya, mereka juga berbagi cerita tentang tradisi khas di lingkungan sekolah Katolik mereka, seperti perayaan Natal dan kegiatan sosial di komunitas mereka. Pertukaran ini menciptakan ruang untuk saling menghormati dan menghargai keunikan satu sama lain.
Perbedaan yang ada di dalam kegiatan ini sangat mencerminkan bagaimana kita sudah sepantasnya rukun. Perbedaan sudah sepatutnya tidak menjadi sebuah tembok penghalang untuk melakukan dialog lintas agama. Hal tersebut terjadi selama kami di pesantren ini.Â
Tembok stereotip akan hal-hal yang selama ini mungkin dipikirkan seakan runtuh setelah merasakan secara langsung hidup bersama mereka. Mereka tidak sungkan untuk mau bergabung dengan kami dan mengajarkan kami adat dan budaya khas yang mereka miliki.Â
Kami diajak untuk mau ikut dalam kegiatan Sholat hingga mengaji, membuat pengalaman pertam kami terhadap dunia Islam. Membagi ilmu akan agama maupun budaya menjadi sebuah pertukaran ilmu yang sangat berharga, sebuah kesempatan yang menakjubkan.Â
Rasa Kesatuan
Pembiasaan masyarakat untuk menerima dan hidup berdampingan dengan mereka yang berbeda sudah sepatutnya lebih rukun. Bukan karena terpaksa, tetapi karena menghormati. Sebagai negara yang beragam, perbedaan bukan menjadi sebuah masalah, tetapi rasa untuk persatuan yang harus diharumkan.Â
Dengan terus menjunjung nilai-nilai toleransi, menghormati perbedaan, dan memelihara dialog lintas agama, kita dapat memastikan bahwa generasi mendatang akan tumbuh dalam semangat persatuan yang kokoh. Indonesia yang damai, rukun, dan harmonis bukan hanya cita-cita, tetapi juga tanggung jawab bersama.
Rasa bersatu sama seperti sebuah lidi yang sangat kuat saat bersatu. Jika hanya satu lidi saja, lidi tersebut mudah untuk dipatahkan. Rasa kita untuk selalu menghormati dan hidup rukun bersama mereka yang berbeda menjadi sebuah kehidupan yang asri. Jika kita menjauhi perbedaan, hal tersebut dapat memicu perpecahan di antara kita.