Mohon tunggu...
thiananda argadahani
thiananda argadahani Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lulusan Sastra dan Ilmu Komunikasi; Penikmat Jurnaling, Pecinta buku nonfiksi dan pengembangan diri, mencintai kopi

Penikmat buku-buku nonfiksi terutama pengembangan diri, motivasi, dan biografi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jejak Waras: Surat Cinta untuk Esih

2 Februari 2024   17:40 Diperbarui: 2 Februari 2024   17:45 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang itu matahari bersinar dengan teriknya tanpa ampun kepada semua makhluk hidup yang terpapar panasnya tanpa kecuali. Padahal belum juga masuk musim kemarau tapi sudah hampir dua bulan ini awan belum juga menurunkan hujannya. Di cuaca yang membuat keringat siapapun mengucur, Esih mencoba untuk segera pulang ke kamar kostnya yang berjarak tidak lebih dari 100 meter lagi. Dengan sedikit lari-lari kecil ia pun akhirnya sampai di depan pintu kamarnya. "Ah, Akhirnya sampai juga", pikirnya sambil segera melemparkan tasnya yang berisi laptop dan modul-modul kuliah seraya berbaring di kasurnya yang tipis. Meski tipis tapi cukup membuat ia bersyukur karena akhirnya dia bisa merebahkan badannya yang sangat lelah. 

Sambil berbaring ia menatap langit-langit kamar, pikirannya melayang pada kejadian siang tadi di kampus. Mengingat-ingat kenapa dia tadi bisa merasa sangat emosi, marah meluap-luap, ingin teriak dan melemparkan barang apapun yang ada di depannya. Dan akhirnya ia menemukan pemicunya. "Diabaikan" oleh salah satu teman yang sebelumnya ia merasa dekat dengannya. "Diabaikan" adalah sesuatu yang sangat Esih benci, dia tidak mengerti kenapa pengabaian itu menjadi sesuatu hal yang sangat memicu emosinya. Seakan-akan pengabaian pada dirinya membuat seluruh dirinya tidak berarti. Sambil merenung, sedikit demi sedikit akhirnya kabut yang menutupi pikirannya pun hilang. Dia baru menyadari bahwa ketika ia kecil, dia seringkali tidak dianggap ada oleh ayah dan bahkan ibunya. Meski dia tidak mengerti kenapa alasan mereka bersikap seperti itu, tetapi ia tetap berusaha untuk selalu ceria dan menutup paksa perasaan luka itu. Hingga akhirnya terjadilah emosi yang meluap-luap itu. Dan itu tidak hanya terjadi sekali, bahkan berkali-kali. 

Esih mulai menuliskan sebuah surat, "entah untuk siapa surat ini", pikirnya. Untuk ayahnya kah? ataukah ibunya? ataukah semua orang di dunia ini yang seringkali membuat dia kecewa, membuat dia benci dengan dirinya sendiri, membuat dia ingin selalu lari dari semuanya. 

"Hhhh... menyebakan sekali semuanya", Esih pun bergumam, sambil mulai mencoret-coret bukunya....

Bandung, 23 Mei 2022

Hai Dunia!

Dunia ini sungguh sangat jahat...

Entah apa salahku sampai sering sekali dikecewakan oleh orang yang sangat aku percayai, apa masih kurang pengorbananku? Sepertinya tidak ada yang menghargai semua jerih payahku untuk selalu menyenangkan mereka. Aku memang sampah, tidak layak untuk dicintai.....

---end---

Singkat memang yang Esih tuliskan, tapi cukup membuat dia bisa mengeluarkan apa yang mengganjal di hati. Sudah sering dan berulang-ulang Esih menulis surat seperti itu, tak jelas ditujukan untuk siapa, apakah ayahnya, ibunya, teman-temannya yang dulu seringkali membully nya. Esih tidak ambil pusing, karena menulis surat seperti itu sangat menenangkan hatinya. Menenangkan yang bersifat sementara tentu saja. Dia sadar karena tulisan itu tidak memberikan solusi ataupun dampak yang signifikan untuknya, yang terjadi adalah dia akan tetap memendam perasaannya, masih selalu pengecut, benci pada dirinya sendiri dan yang paling parahnya, ia akan terus digerogoti perasaan dendam. 

Waktu menunjukkan pukul 10 malam, tapi belum juga mata Esih mengantuk. Begitu banyak hal-hal yang ia pikirkan, dari hal besar sampai hal-hal remeh seperti apakah besok ia akan sempat menjemur baju atau tidak. sungguh sangat remeh buat banyak orang tapi menjadi hal yang membuat resah seorang Esih. 

Akhirnya dia pun membuka buku catatannya, berharap untuk bisa mengundang rasa kantuk yang dia harap-harapkan dari tadi. Dibuka perlahan lembar demi lembar buku catatan berwarna hitamnya. Dia membaca satu persatu tulisan di dalamnya, dan menyadari bahwa semua isinya hanyalah tentang dia dan kekesalannya, dia dan ketidakmampuannya, dia dan ketidakpercayaan dirinya, dia dan kebenciannya kepada semua orang yang menurutnya menyakitiya.... . Bagaikan petir di siang bolong, ditambah angin puting beliung akhirnya dia menyadari kalau semua masalahnya itu berpusat pada cara dia menyikapi dan menanggapi semua tantangan dan masalah yang datang padanya.

Esih menangis sejadi-jadinya di kamar kos yang sepi itu, kenapa dia baru menyadari kalau dia sangat tidak mencintai dirinya sendiri, selalu menyalahkan apa yang tubuh kecilnya lakukan bahkan membenci semua yang ada pada dirinya, padahal ia sudah begitu banyak melakukan hal yang bahkan sulit untuk dia lakukan. Dia mulai menyelami dirinya sendiri, dia menyelami batinnya yang begitu terluka, innerchild yang tumbuh dengannya begitu terkoyak. Sendiri, selalu disalahkan bahkan oleh diri nya sendiri yang sudah dewasa. Anak kecil itu sedang duduk sendiri menelungkupkan kepalanya. Kedua lututnya menopang dahi dengan kulit yang sangat tipis itu. Menangis karena merasa sendiri, tidak dimengerti. Esih tidak menyalahkan atas apa yang terjadi di masa lalu, ketika ia tumbuh menjadi gadis kecil yang ceria, tidak mempunyai daya dan kekuatan untuk apapun. Tidak ada dendam untuk ayah atapun ibunya, dia menyadari kalau ini sudah menjadi masalah dirinya. Ia sendiri yang harus menuntaskan apa yang belum selesai untuk bisa menjadi Esih yang baru. Dapat hidup dengan versi terbaik dirinya. 

Dengan cepat Esih membersihkan buku catatannya yang basah karena air matanya, dan mulai menulis surat cinta, hanya kali ini ia tahu kepada siapa surat itu ditujukan....

...........

............

Dear Esih, 

Bagaimana kabarmu hari ini? Iya, menjadi dewasa itu sulit ya. Tapi menjadi menjadi anak kecil pun lebih sulit lagi, karena kamu tidak punya suara maupun daya untuk mempertahankan apa yang kamu inginkan. Tahukah kamu? Kamu hebat sudah sampai tahap ini, kamu sudah bertahan dan selalu bangun setiap harinya dan menjalani takdir Tuhanmu. Aku bangga padamu Esih. 

.......

Keesokan harinya Esih kembali membuka buku catatannya dan menuliskan kembali surat cinta untuk seseorang yang selalu menemaninya selama ini. 

Dear Esih,

Apakah hari ini kamu ceria? Terimakasih kamu selalu berjuang setiap hari, meski ada hal yang tidak kamu mengerti sampai bikin dada kamu sakit, tidak apa-apa, aku ngerti kalau kamu merasa bingung untuk menghilangkan rasa sakit didada kamu itu. Yang harus kamu ingat Esih, Tidak ada yang menyalahkan kamu atas ketidaktahuan kamu, ketidakmampuan kamu saat itu, ketika kamu kecil dan lemah. Aku yakin kamu sudah berusaha semaksimal kamu. 

.......

Dear Esih, 

Bagaimana lagi kabarmu hari ini? lelah kah? Terimakasih kamu sudah berusaha mengeluarkan emosi dan rasa tidak enak kamu selama ini. Tenang ya, karena ini proses yang baik, lho! kamu sudah mulai bahagia, sudah mulai sadar kalau kamu tidak sendiri. Kamu mulai mengerti kalau kamu sudah tidak akan hadapi kebingungan kamu seorang diri. Yang tenang ya? akan selalu ada aku. 

------

Lembar demi lembar Esih menulis surat cinta itu, meluapkan perasaannya, merangkul sosok istimewa itu, menerima kelebihan dan kekurangannya. Tidak terasa 2 bulan berlalu dengan setumpuk surat cinta yang ia tulis. Tidak tahu mengapa semenjak ia mulai menulis surat cinta itu, hari-harinya menjadi terasa lebih ringan. Bukan lagi amarah yang selalu dia rasakan, tapi kelapangan yang mulai terasa. Esih sangat bersyukur bahwa ada tangan-tangan tak langsung yang mengajak ia untuk mau menyelami dirinya sendiri, mau berubah menjadi manusia yang lebih positif dan bahagia. Jejak-jejak kewarasannya terekam sempurna. Melangkah menuju taman-taman bunga yang sebelumnya ruang gelap gulita dan jurang tandus yang selalu ia temukan. "Aku masih waras", pikir Esih. Setelah ia terkungkung selama lebih dari 20 tahun dalam emosinya. Dalam keputusasaannya.  Dan kali ini untuk pertama kalinya ia menulis surat cinta lebih panjang dari biasa yang ia lakukan. 

Dear Esih,

Apa kabarmu hari ini? Saat ini? Semoga kamu sehat an baik-baik ya. Esih, begitu banyak kejadian dan moment baik dan buruk yang pernah kamu jalani dulu. Banyak kejadian yang membuat kamu menangis, merasa tidak berharga, terpuruk bahkan putus asa karena tidak tahu apa sebenarnya tujuan hidup kamu. Tapi dibalik kesulitan pasti ada kemudahan kan Esih? Jangan kamu lupakan kejadian yang membuat kamu tersenyum, bahagia, bersyukur bahkan menangis terharu.

Dear Sayangku,

Tidak ada yang bisa merubah, kecuali diri kamu sendiri yang mau merubah dan tentu atas ijin Allah , Tuhanmu. Mulai sekarang jangan lagi merasa diri kamu tidak berharga. Kamu itu berharga dengan segala kelebihan dan kekurangan yang kamu miliki. Jangan membenci diri kamu sendiri lagi ya! Jangan berpikir untuk hilang lagi, karena sebetulnya banyak harta di dalam diri kamu. Yakinlah kamu akan selalu menemukan kebahagiaan. I Love You and Please love yourself!

Esih menutup buku catatan hitamnya dengan tersenyum. Masih panjang perjalanannya, tapi kali ini dia akan menanggapi semuanya dengan waras. Dan dia yakin akan menemukan taman-taman bunga lain di hidupnya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun