Mohon tunggu...
Fania Yulistiana
Fania Yulistiana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Inggris

This too shall pass.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Simposium Nasional Sebagai Gerbang Awal Mengenal Gaya Penulisan Budi Darma

28 Oktober 2021   04:31 Diperbarui: 28 Oktober 2021   04:38 885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster Simposium Nasional: Menuju Teori Sastra 'Dunia Jungkir Balik' Budi Darma. Sumber: unesa.ac.id

Kepergian sastrawan besar Prof. Dr. H. Budi Darma, M.A. menimbulkan kesedihan yang mendalam bagi keluarga besar Universitas Negeri Surabaya (UNESA) dan juga dunia sastra Indonesia. Meski begitu, karya mendiang Budi Darma tetap akan dikenang dan dicintai oleh semua orang yang menikmati.

Sebagai bentuk realisasi nyata mengenang sosok Guru Besar Budi Darma, FBS UNESA mengadakan Simposium Nasional: Menuju Teori Sastra 'Dunia Jungkir Balik' Budi Darma pada Selasa, 14 September 2021. Selain untuk menelisik dan membangun teori sastra Budi Darma, Dekan FBS UNESA, Dr. Trisakti, M.Si., pun menyebutkan bahwa para pembicara pada Simposium Nasional tersebut dipilih atas keahlian dan nilai kedekatan dengan alam pikiran Budi Darma. Terhitung peserta yang hadir lebih dari 1.000 orang dan berasal dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan ada yang dari luar negeri.

Much. Khoiri, Penulis dan Dosen FBS UNESA, mengungkapkan bahwa Budi Darma merupakan seorang pengarang besar. "Budi Darma berada dalam dunia intelektualitas yang luar biasa. Beliau dikenal di dunia internasional dengan sangat baik. Sebagai sastrawan besar dan juga ilmuwan yang disegani," ujarnya ketika ditanya kedudukan Budi Darma sebagai pengarang Indonesia.

Tidak hanya menjadi guru besar di bidang sastra, Budi Darma pun dikenal sebagai seniman yang menghasilkan banyak karya kreatif. Memulai proses coretan hitam di atas putih sejak tahun 1968, hingga kini banyak tulisan Budi Darma yang dikenal luas. Seperti Olenka (1983), Rafilus (1988), kumpulan cerita pendek dengan judul Orang-Orang Bloomington (1981), hingga berbagai kumpulan esai lainnya.


Pada presentasi sesi tiga yang menjelaskan tentang formulasi model esai Budi Darma, Much. Khoiri memberikan empat poin penting yang menunjukkan kekhasan Budi Darma dalam menciptakan suatu karya sastra. Hal yang dapat diperhatikan hingga menjadi sebuah pola unik yang terpatri adalah adanya awalan yang menimbulkan analisis hingga evaluasi pada setiap karya sastra Budi Darma, sampai akhirnya ditutup dengan cara untuk menyudahi sebuah karya.

Poin pertama adalah orientasi suatu karya. Pada bagian ini, Much. Khoiri menyampaikan bahwa Budi Darma menggunakan bahasa tertentu, bahasa yang mematikan. "Dari strukturnya, kalimat thesis atau ilustrasi di awal tulisan beliau itu selalu kuat dan memenjara. Yang kedua, tulisan beliau melibatkan pembacanya. Pembaca dianggap sudah dewasa dan siap untuk berpikir. Dan yang terakhir adalah gaya bertutur."

Poin kedua merupakan tubuh karya sastra yang mengangkut tafsiran atau evaluasi. "Adanya pandangan-pandangan kritis, blak-blakan, juga menampar yang secara langsung melibatkan pembaca untuk masuk," ungkap Much. Khoiri ketika membahas tafsiran karya Budi Darma. Dalam karyanya, Budi Darma mampu menyampaikan contoh kasus atau penggambaran dengan cermat dan memadai. Alur gagasan dalam esainya pun memiliki lapisan serta kumparan yang tidak biasa, berbeda dari yang lain.

Poin ketiga membahas tentang bagaimana Budi Darma selalu membuat simpulan linier yang menyisakan ruang terbuka untuk tanggapan atau penafsiran baru. Much. Khoiri menambahkan, "Hakikatnya, saya berangkat dari pemikiran bahwa esai beliau itu penuh kritik sosial yang halus. Bisa dikatakan semacam parodi karena penyampaiannya berupa ironi situasi."

Poin keempat berupa penggunaan bahasa dalam esai Budi Darma yang dinilai lugas, tegas, sekaligus tajam. Beberapa kutipan yang disematkan ketika presentasi pun menunjukkan bahwa ada penggunaan kata-kata yang berani. "Kita sering melihat orang-orang yang pandai berbicara tetapi bodoh dalam menulis. Memang kepandaian berbicara tidak selamanya identik dengan kecerdasan berpikir. (Budi Darma, 2007)"

Begitu pula dengan kutipan, "Untuk lebih meningkatkan wibawa penulisnya, banyak penulis yang ingin dianggap gagah ini mencantumkan sekian banyak gambar panas bersimpang-siur, gambar kotak-kotak, dan tanda-tanda lain yang sebetulnya malah mengungkapkan kebodohan serta keruwetan mereka. (Budi Darma, 2007)"

Di suatu kesempatan wawancara, ketika ditanya pendapat mengenai Budi Darma yang menggambarkan keabstrakan hidup melalui peristiwa dan tindakan tokoh yang aneh serta cenderung mengejutkan, Much. Khoiri mengatakan bahwa Budi Darma sudah berada dalam tingkatan yang berbeda ketika bermain abstraksi. "Budi Darma mengatakan bahwa berkarya merupakan bekerja dalam dunia pemikiran," begitu ungkapnya.

Much. Khoiri menambahkan, "Budi Darma sampai pada kesimpulan bahwa akhirnya manusia itu sangat lemah di mata takdir. Takdir itu atas tangan Tuhan. Jadi manusia lemah di mata Tuham. Dipermainkan seperti apapun tetap mengikuti," Tidak hanya itu, rutinitas yang dilakukan oleh manusia sebagai bentuk long-term repetition pun merupakan hal aneh karena terus menerus dilakukan. Namun, di tengah rutinitas tersebut pasti ada suatu hal yang mengejutkan yang manusia tidak ketahui apa itu, juga tidak memiliki kendali atas apapun itu. Hal tersebut yang menjadi titik kelemahan manusia yang dimainkan takdir, takdir yang dimiliki Tuhan. "Budi Darma sejak awal ingin mengerjakan manusia yang aneh dalam pandangan umum, meskipun dalam hakikatnya tidak ada masalah. Namun, dalam pandangan umum itu merupakan hal yang aneh," imbuhnya.

Dalam akhir wawancaranya, Much. Khoiri menyampaikan adanya harapan untuk kajian yang lebih serius mengenai tulisan-tulisan Budi Darma yang nantinya bisa menjadi formula yang dapat dijadikan pedoman oleh orang lain. Begitu pula di akhir presentasi ketika simposium, Much. Khoiri mengatakan bahwa jasa Budi Darma sangat besar dalam dunia sastra Indonesia, hal ini diharapkan mampu menginspirasi anak bangsa dan sastrawan Indonesia untuk terus berkarya.

Pakar bahasa dan sastrawan lain yang juga berkesempatan hadir pada simposium itu adalah Dr. Seno Gumira Ajidarma, S.Sn., M.Hum, M. Shoim Anwar, Awuy Tommy, S.S, Djuli Djatiprambudi, Prof. Dr. Wayan "Kun" Adnyana, Tengsoe Tjahjono, Akmal N. Basral, Wahyudi Siswanto, Suyatno, Eka Budiantara, Ki S. Hendrowinoto, Okky Puspa Madasari, Hafiz Rancajale, Triyanto Triwikromo, dan Faruk HT.

Selamat jalan, Pak Budi Darma. Karyamu akan selalu abadi dan menginspirasi. Terima kasih telah memberikan banyak warisan berharga pada sastra tanah air dan juga dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun