Kepergian sastrawan besar Prof. Dr. H. Budi Darma, M.A. menimbulkan kesedihan yang mendalam bagi keluarga besar Universitas Negeri Surabaya (UNESA) dan juga dunia sastra Indonesia. Meski begitu, karya mendiang Budi Darma tetap akan dikenang dan dicintai oleh semua orang yang menikmati.
Sebagai bentuk realisasi nyata mengenang sosok Guru Besar Budi Darma, FBS UNESA mengadakan Simposium Nasional: Menuju Teori Sastra 'Dunia Jungkir Balik' Budi Darma pada Selasa, 14 September 2021. Selain untuk menelisik dan membangun teori sastra Budi Darma, Dekan FBS UNESA, Dr. Trisakti, M.Si., pun menyebutkan bahwa para pembicara pada Simposium Nasional tersebut dipilih atas keahlian dan nilai kedekatan dengan alam pikiran Budi Darma. Terhitung peserta yang hadir lebih dari 1.000 orang dan berasal dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan ada yang dari luar negeri.
Much. Khoiri, Penulis dan Dosen FBS UNESA, mengungkapkan bahwa Budi Darma merupakan seorang pengarang besar. "Budi Darma berada dalam dunia intelektualitas yang luar biasa. Beliau dikenal di dunia internasional dengan sangat baik. Sebagai sastrawan besar dan juga ilmuwan yang disegani," ujarnya ketika ditanya kedudukan Budi Darma sebagai pengarang Indonesia.
Tidak hanya menjadi guru besar di bidang sastra, Budi Darma pun dikenal sebagai seniman yang menghasilkan banyak karya kreatif. Memulai proses coretan hitam di atas putih sejak tahun 1968, hingga kini banyak tulisan Budi Darma yang dikenal luas. Seperti Olenka (1983), Rafilus (1988), kumpulan cerita pendek dengan judul Orang-Orang Bloomington (1981), hingga berbagai kumpulan esai lainnya.
Pada presentasi sesi tiga yang menjelaskan tentang formulasi model esai Budi Darma, Much. Khoiri memberikan empat poin penting yang menunjukkan kekhasan Budi Darma dalam menciptakan suatu karya sastra. Hal yang dapat diperhatikan hingga menjadi sebuah pola unik yang terpatri adalah adanya awalan yang menimbulkan analisis hingga evaluasi pada setiap karya sastra Budi Darma, sampai akhirnya ditutup dengan cara untuk menyudahi sebuah karya.
Poin pertama adalah orientasi suatu karya. Pada bagian ini, Much. Khoiri menyampaikan bahwa Budi Darma menggunakan bahasa tertentu, bahasa yang mematikan. "Dari strukturnya, kalimat thesis atau ilustrasi di awal tulisan beliau itu selalu kuat dan memenjara. Yang kedua, tulisan beliau melibatkan pembacanya. Pembaca dianggap sudah dewasa dan siap untuk berpikir. Dan yang terakhir adalah gaya bertutur."
Poin kedua merupakan tubuh karya sastra yang mengangkut tafsiran atau evaluasi. "Adanya pandangan-pandangan kritis, blak-blakan, juga menampar yang secara langsung melibatkan pembaca untuk masuk," ungkap Much. Khoiri ketika membahas tafsiran karya Budi Darma. Dalam karyanya, Budi Darma mampu menyampaikan contoh kasus atau penggambaran dengan cermat dan memadai. Alur gagasan dalam esainya pun memiliki lapisan serta kumparan yang tidak biasa, berbeda dari yang lain.
Poin ketiga membahas tentang bagaimana Budi Darma selalu membuat simpulan linier yang menyisakan ruang terbuka untuk tanggapan atau penafsiran baru. Much. Khoiri menambahkan, "Hakikatnya, saya berangkat dari pemikiran bahwa esai beliau itu penuh kritik sosial yang halus. Bisa dikatakan semacam parodi karena penyampaiannya berupa ironi situasi."
Poin keempat berupa penggunaan bahasa dalam esai Budi Darma yang dinilai lugas, tegas, sekaligus tajam. Beberapa kutipan yang disematkan ketika presentasi pun menunjukkan bahwa ada penggunaan kata-kata yang berani. "Kita sering melihat orang-orang yang pandai berbicara tetapi bodoh dalam menulis. Memang kepandaian berbicara tidak selamanya identik dengan kecerdasan berpikir. (Budi Darma, 2007)"
Begitu pula dengan kutipan, "Untuk lebih meningkatkan wibawa penulisnya, banyak penulis yang ingin dianggap gagah ini mencantumkan sekian banyak gambar panas bersimpang-siur, gambar kotak-kotak, dan tanda-tanda lain yang sebetulnya malah mengungkapkan kebodohan serta keruwetan mereka. (Budi Darma, 2007)"